Siapapun, harus berani memaafkan. Atas aniaya yang terjadi pada diri kita. Karena sifat ghodhob atau marah terlalu mudah menjadi gumpalan dendam yang berkarat. Dan jika hati berkarat dendam, maka akan merusak jiwa. Hingga, tumbuh jadi kemunafikan. Maka, obat paling mujarab untuk menyembuhkan ghodhobus syaitan, tidak lain adalah meminta maaf atau memaafkan.
####
Tepat pukul 20.40 WIB semalam, sholat tarawih baru saja usai di Masjid dekat rumah Surti. Ia berjalan kaki pulang, sambil menyingkap sajadah. Bulan suci Ramadhan telah tiba. Tanda ibadah puasa dimulai esok.
Setiba di rumah, belum lagi sajadah Surti diletakkan. Mukena pun urung dilepaskan. Ia menghampiri suaminya, Tono. Mendekat dan menatap dengan sendu. Surti menggapai tangan suaminya, sambil berkata, “Mas, selamat puasa ya. Maafkan saya lahir batin” ujar Surti sambil mencium tangan Tono.
“Iya Bu, sama-sama maafkan saya juga lahir batin. Semoga puasa tahun ini lebih berkah” jawab Tono sambil mengamini dalam hati. Kemudian, Tono memeluk dan mencium kening Surti.
Tak berapa lama, Surti dan Tono menghampiri ketiga anak mereka yang sedang asyik ngobrol. Di ruang tengah. Sambil menciumi kening anak-anaknya, Surti berucap, “Mohon maaf lahir batin ya Nak. Selamat ibadah puasa” tutur Surti penuh cinta. Tono pun mengikutinya. Secara bergiliran, keluarga Surti saling meminta maaf satu sama lainnya. Menyambut datangnya bulan puasa.
Saling meminta maaf. Itu hanya tradisi kecil di rumah Surti. Tiap jelang bulan puasa. Ya, meminta maaf. Saling mengakui pernah berbuat salah di antara mereka. Sekalipun satu keluarga, pasti ada kesalahan yang pernah dibuat. Entah berupa kata-kata atau perbuatan. Karena Surti sadar, salah dan khilaf akan ada pada tiap diri manusia. Siapapun dia….
Tiap jelang puasa, keluarga Surti saling meminta maaf. Mencium tangan dan memeluk di antara mereka. Sebagai tanda cinta dan ketulusan. Sekali lagi, untuk meminta maaf.
Tradisi meminta maaf? Karena hakikatnya, manusia tak lepas dari salah dan dosa. Tiap manusia, pasti dan pernah berbuat salah. Disadari atau tidak. Kepada suami atau istri. Kepada anak atau orang tua. Bahkan salah kepada saudara, tetangga, teman. Meminta maaf, sungguh tak sulit bagi yang mau. Tapi tak mudah bagi yang enggan.
####
“Bu, kok Ibu minta maaf sama aku?” tanya Farah, anak Surti tiba-tiba.
Surti agak terkejut. Tak menyangka. “Iya Nak. Ibu kan sehari-hari dengan kamu di rumah. Ibu suka marahin kamu. Kesal sama kamu, lalu marah-marah karena kamu gak belajar. Membentak karena belum kerjakan PR sekolah. Itu semua salah Ibu, Nak. Karena itu, Ibu harus minta maaf. Dan, kamu juga harus mau memaafkan” jawab Surti.
Anak Surti pun mengangguk. Tanpa tanya lagi. Tono, suami Surti pun tergelitik. Mendengar obrolan Surti dan anaknya. Ia ikut nimbrung. Ada pesan yang ingin disampaikannya. Untuk anak perempuannya.
“Satu lagi Nak, meminta maaf atau memaafkan itu perbuatan baik. Dan bisa dilakukan kapan saja. Tapi yang paling baik adalah meminta maaf dengan segera. Di saat kita tahu telah berbuat salah. Kalo kamu mengambil uang tanpa izin Ibu. Segeralah meminta maaf. Jangan berlama-lama. Kita diajarkan untuk tidak boleh berlama-lama dalam salah” terang Tono.
Surti pun tertegun. Memikirkan kata-kata suaminya.
Surti merasa heran. Mengapa banyak orang sekarang gak mau meminta maaf ketika berbuat salah. Apa yang salah kalau kita memulai meminta maaf. Saling tuding, saling menjelekkan, bahkan saling menebar fitnah. Tapi setelah tahu salah, masih gak mau meminta maaf? Sungguh, manusia memang rajanya gengsi. Sok egois. Atau mereka memang pengecut. Jika sudah terjadi dan tahu salah, mengapa gak meminta maaf? Pikir Surti.
Disengaja atau tidak, salah adalah sifat dasar manusia. Surti merasa pantas meminta maaf kepada siapapun, atas sebab apapun. “Aku harus meminta maaf. Tanda aku berjiwa besar” tekad Surti. Itulah tradisi kecil di rumah Surti jelang bulan puasa yang masih dipertahankan.
####
MEMINTA MAAF jelang puasa, bisa jadi bukan hanya tradisi. Tapi bagian dari ikhtiar untuk membersihkan diri. Sebelum datangnya bulan suci. Tono teringat sebuah kisah, di bulan puasa.
Suatu kali, Malaikat Jibril pernah berdoa, “Ya Allah, tolong abaikan puasa umat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal ini: 1) tidak meminta maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya, 2) tidak saling memaafkan terlebih dahulu antara suami istri; dan 3) tidak bermaafan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya”.
Surti tertegun. Ada tanya di pikirannya. “Tapi, mengapa masih banyak orang yang sulit meminta maaf, Mas?” tanya Surti ingin tahu.
“Entahlah Bu. Mungkin karena gengsi. Atau merasa harga dirinya terlalu tinggi untuk meminta maaf. Banyak dari kita yang gak mau mulai meminta maaf. Seperti yang sering kita saksikan. Betapa banyak orang telah berbuat salah. Malah sibuk mencari alasan atau “kambing hitam”. Gak mau secara terbuka mengakui kesalahan. Seperti para politisi kita. Mereka bertikai, saling menyalahkan. Namun tidak mau meminta maaf. Bahkan kepada rakyat yang memilihnya sekalipun” papar Tono penuh semangat.
“Lalu, apa artinya kondisi itu semua bagi kita?” tanya Surti lanjut.
“Artinya, minta maaf tidak akan pernah terjadi pada diri orang yang angkuh. Meminta maaf itu sulit, Bu. Tidak mudah. Kita sering gak sadar saja. Bahwa gak ada hubungan yang bisa diperbaiki. Tanpa ada yang mau memulai minta maaf. Maka, tradisi minta maaf harus ditanamkan pada diri kita. Di rumah, kantor, di lingkungan, di organisasi, bahkan dalam negara sekalipun. Karena minta maaf, bisa mencairkan dendam, bisa menyelesaikan konflik. Dan mampu menumbuhkan rasa percaya di antara kita lagi” papar Tono.
Surti dan anak-anaknya tertegun. Menyimak celoteh sang ayah. Seperti khutbah. Seperti kultum di bulan puasa. Tono pun bangkit dari tempat duduknya. Meneruskan khuutbahnya, lalu berkata:
“Ketahuilah Bu, meminta maaf itu tradisi baik. Tidak salah pun gak ada ruginya kita meminta maaf. Hubungan orang tua-anak, suami-istri, atasan-bawahan, dan di mana-mana pasti bisa khilaf dan salah. Dan minta maaf adalah bagian dari ikhtiar untuk memperbaiki hubungan. Suatu saat, kita harus “menelan” rasa jumawa, gengsi, dan tidak mau ngalah. Agar terbiasa berucap MAAF” tambah Tono dengan bijak.
“Lalu, apa untungnya kita minta maaf, Mas?” tukas Surti kepada suaminya.
“Bu, minta maaf bukan soal untung rugi. Minta maaf itu perbuatan baik. Itu saja. Let’s gone be by gone, yang lalu biarlah berlalu. Hidup kita itu sementara, hidup kita itu sebentar di dunia.Kita wajib ikhtiar untuk lebih baik sebelum sampai di akhirat. Masa depan kita itu ada di akhirat. Untuk itu, kita juga harus memperlakukan semuanya secara seimbang. Membaikkan spirit hidup, lebih tulus, dan membangun harmoni. Gak boleh ada kata-kata “tiada maaf bagimu” pada diri tiap-tiap orang.”
Seratus persen, Surti setuju ungkapan suaminya. Dia mengangguk. “Betul sekali Mas, aku teringat ahli hikmah yang bilang, lupakan 2 hal dan ingatlah 2 hal. Lupakan kebaikanmu kepada orang lain dan lupakan kesalahan orang lain kepadamu. Ingatlah kesalahanmu pada orang lain, dan ingatlah kebaikan orang lain kepadamu” tegas Surti.
Kini, Tono yang mengangguk tanda setuju. Sungguh luar biasa istriku, dalam hati Tono.
####
Malam pun semakin larut. Surti melepaskan mukenanya. Meletakkan sajadah, sambil menonton TV. Obrolan pun masih berlanjut. Surti sambil mendekap anak perempuannya. Tanda gembira menyambut bulan suci Ramadhan.
Tiba-tiba, anak Surti kembali bertanya, “Bu, kalo gitu apa yang harus kita lakukan saat berpuasa?”
Agak susah, Surti menjawabnya. Maklum, ia hanya seorang ibu biasa. Surti hanya tahu puasa adalah perintah Agama. Tak ada pikiran lain. Tapi kini, ia harus menjawab pertanyaan anaknya.
“Nak, yang ibu tahu, puasa itu berarti menahan diri. Menahan diri dari makan dan minum. Menahan diri dari hawa nafsu. Karena di luar bulan puasa, kita merasa boleh semuanya. Maka di bulan puasa, kita belajar untuk menahan diri. Tidak boleh makan, tidak minum dari subuh hingga maghrib. Al imsaku 'anil muftiraati min thulu'il fajri ilaa ghuruubisy syamsyi. Yang halal saja tidak boleh, apalagi yang haram” jelas Surti seadanya.
“Betul kata ibumu Nak” Tono ikut menyahut.
“Dengan puasa, kita menahan diri dari perbuatan yang dilarang Allah SWT. Paling minimal, menahan diri agar puasa kita tidak batal. Percuma kan kita puasa, tidak makan, tidak minum tapi kita tidak mendapat pahala-Nya. Menahan diri dari hiruk-pikuk dunia, yang sering membuat kita sulit menahan diri” papar Tono.
Ya. Menahan Diri. Dengan menahan diri, kita pada akhirnya dapat mencapai tujuan puasa. Secara vertikal. Agar menjadi orang yang bertaqwa, meningkatkan keimanan, dan semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Secara horizontal, ikut merasakan apa yang dialami orang miskin, yang hanya bisa makan satu kali sehari. Karena mereka tidak mampu untuk membeli makanan.
Maka puasa. Bisa kita katakan momentum untuk istirahat sejenak dari keduniaan. Lebih dekat pada Allah SWT dengan mengerjakan yang sunnah. Apalagi yang wajib. Sambil kita menambah energi kepedulian sosial untuk berbagi kepada mereka yang kelaparan. Atau yang ekonominya miskin dan kurang beruntung.
“Berpuasalah Nak. Setidaknya ada dua yang baik di situ. MINTA MAAF dan MAU MENAHAN DIRI. Karena apa yang kita kerjakan di bulan puasa, sering kita lupakan di bulan yang lain” nasehat Tono pada anaknya.
Tono sambil merenung. Berpikir. “Seandainya mereka tahu, puasa adalah perisai yang akan membentengi diri seseorang dari api neraka. Maka, sangat pantas tiap orang optimalkan ibadah puasa. Lalu, mengapa kita sering bosan bila imam sholat tarawih kelamaan bacaannya. Sementara di waktu yang sama, kita gak pernah bosan menonton serunya laga sepakbola walau hingga perpanjangan waktu sekalipun”.
Surti mulai merasa ngantuk. Bersiap tidur agar bisa bangun dini hari, menyiapkan makan sahur suami dan anak-anaknnya. Surti hanya berharap, puasa kali ini bisa menjadikan dirinya lebih mampu menahan diri, dari apapun dan untuk apapun. Agar ia bisa meraih pencapaian tertinggi dari puasa; "terbukanya hijab batin dan berjumpa dengan Allah SWT dalam ketakwaan”.
“Sungguh, hidup harus berani meminta maaf dan mau menahan diri. Agar hari-hari ke depan lebih baik dari hari-hari yang sudah terlewatkan” begitu doa Surti menutup obrolan malam jelang puasa. Sebuah tradisi kecil di rumah Surti....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H