“Artinya, minta maaf tidak akan pernah terjadi pada diri orang yang angkuh. Meminta maaf itu sulit, Bu. Tidak mudah. Kita sering gak sadar saja. Bahwa gak ada hubungan yang bisa diperbaiki. Tanpa ada yang mau memulai minta maaf. Maka, tradisi minta maaf harus ditanamkan pada diri kita. Di rumah, kantor, di lingkungan, di organisasi, bahkan dalam negara sekalipun. Karena minta maaf, bisa mencairkan dendam, bisa menyelesaikan konflik. Dan mampu menumbuhkan rasa percaya di antara kita lagi” papar Tono.
Surti dan anak-anaknya tertegun. Menyimak celoteh sang ayah. Seperti khutbah. Seperti kultum di bulan puasa. Tono pun bangkit dari tempat duduknya. Meneruskan khuutbahnya, lalu berkata:
“Ketahuilah Bu, meminta maaf itu tradisi baik. Tidak salah pun gak ada ruginya kita meminta maaf. Hubungan orang tua-anak, suami-istri, atasan-bawahan, dan di mana-mana pasti bisa khilaf dan salah. Dan minta maaf adalah bagian dari ikhtiar untuk memperbaiki hubungan. Suatu saat, kita harus “menelan” rasa jumawa, gengsi, dan tidak mau ngalah. Agar terbiasa berucap MAAF” tambah Tono dengan bijak.
“Lalu, apa untungnya kita minta maaf, Mas?” tukas Surti kepada suaminya.
“Bu, minta maaf bukan soal untung rugi. Minta maaf itu perbuatan baik. Itu saja. Let’s gone be by gone, yang lalu biarlah berlalu. Hidup kita itu sementara, hidup kita itu sebentar di dunia.Kita wajib ikhtiar untuk lebih baik sebelum sampai di akhirat. Masa depan kita itu ada di akhirat. Untuk itu, kita juga harus memperlakukan semuanya secara seimbang. Membaikkan spirit hidup, lebih tulus, dan membangun harmoni. Gak boleh ada kata-kata “tiada maaf bagimu” pada diri tiap-tiap orang.”
Seratus persen, Surti setuju ungkapan suaminya. Dia mengangguk. “Betul sekali Mas, aku teringat ahli hikmah yang bilang, lupakan 2 hal dan ingatlah 2 hal. Lupakan kebaikanmu kepada orang lain dan lupakan kesalahan orang lain kepadamu. Ingatlah kesalahanmu pada orang lain, dan ingatlah kebaikan orang lain kepadamu” tegas Surti.
Kini, Tono yang mengangguk tanda setuju. Sungguh luar biasa istriku, dalam hati Tono.
####
Malam pun semakin larut. Surti melepaskan mukenanya. Meletakkan sajadah, sambil menonton TV. Obrolan pun masih berlanjut. Surti sambil mendekap anak perempuannya. Tanda gembira menyambut bulan suci Ramadhan.
Tiba-tiba, anak Surti kembali bertanya, “Bu, kalo gitu apa yang harus kita lakukan saat berpuasa?”
Agak susah, Surti menjawabnya. Maklum, ia hanya seorang ibu biasa. Surti hanya tahu puasa adalah perintah Agama. Tak ada pikiran lain. Tapi kini, ia harus menjawab pertanyaan anaknya.