Mohon tunggu...
Syamsul Alam
Syamsul Alam Mohon Tunggu... Wiraswasta - CODEV.id

Manusia normal

Selanjutnya

Tutup

Money

AFTA 2015, Berkah Terselubung untuk Pengusaha Kreatif Indonesia

26 Januari 2015   17:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:21 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sangat luar biasa banyak. Perhatikan betapa banyak pengunjung Japanese Culture Festival yang diselenggarakan Universitas di sekitar anda, atau coba lihat beberapa konser K-Pop di Indonesia, dan anda akan sadar tentang hal ini.

Di tempat tinggal saya di Sidoarjo, hanya ada satu restoran yang menyajikan makanan Jepang. Dan masakan Jepang bukanlah masakan super rumit seperti yang biasa anda lihat di acara TV MasterChef.

Masakan Jepang kebanyakan merupakan hal super simpel seperti campuran sayur, daging, seafood, dan bakso yang direbus bersamaan dalam pot besar dengan kuah tertentu (shabu-shabu), atau nasi plus lauk yang digulung jadi satu (sushi), atau daging yang dipanggang di atas bara api/arang (yakiniku).

Seberapa sulit coba membuat hal semacam itu? Beberapa hal yang mungkin menjadi 'bumbu rahasia' seperti kuah shabu-shabu bisa kita cari dengan mudah di Google, begitu juga bumbu kecap yang menjadi pelengkap yakiniku, dan lain sebagainya.

Dan restoran di tempat saya itu, yang menyajikan hal super simpel ini, dimana bahkan masakannya tidak dimasak oleh chef, melainkan dimasak sendiri oleh pengunjungnya, tiap harinya TIDAK PERNAH SEPI, meskipun harga tiap menunya juga tidak bisa dibilang murah.

Terakhir kali saya dan keluarga makan di sana, kami habiskan hampir Rp 600.000 untuk porsi makan shabu-shabu dan yakiniku 7 orang.

Sebagai perbandingan, saya bisa beli capjay pinggir jalan di tempat tak jauh dari situ, dengan harga kurang dari Rp 50.000 untuk porsi yang sama bahkan lebih dari yang dijual di restoran tersebut.

Dari dua kali berkunjung ke restoran Jepang tersebut, saya bahkan sudah mengingat semua yang diperlukan untuk membangun restoran yang minimal 70% sama. Mulai dari menunya, nuansanya, sistem harga tiap menunya, desain furniture nya, tempat dimana saya bisa dapatkan perkakas makan yang sama, hampir semuanya...

Saya bahkan tidak sebegitu memperhatikan, saya menikmati suasana makan saya waktu itu dengan keluarga saya dan tak ada niatan untuk mencoba meniru sistem restoran tersebut.

Total tagihan di akhir makan lah yang membuat insting wirausaha saya tertarik untuk membangun restoran serupa, karena saya bisa bayangkan betapa banyak keuntungan yang bisa saya peroleh untuk restoran dengan konsep dan menu sesederhana itu.

Wirausaha di Indonesia harus dilatih agar memiliki insting semacam ini. Insting wirausaha saya jujur tidak dan belum sempurna. Namun dengan insting seperti inipun, saya sudah bisa temukan BANYAK SEKALI peluang bertebaran di sekitar saya. Menunggu untuk saya jadikan uang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun