Mohon tunggu...
Syamsuddin
Syamsuddin Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar sejati, praktisi dan pemerhati pendidikan

Pembelajar sejati, praktisi dan pemerhati pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Nostalgia Masa Kecil di Bulan Ramadan; dari Selamatan Haroa sampai Pesantren Ramadan

2 April 2023   13:35 Diperbarui: 3 April 2023   17:00 1747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ramadhan, beribadah di masjid. (sumber: UNSPLASH/JIM PAVE via kompas.com)  

Nostalgia Ramadan di Masa Kecil; dari Selamatan Haroa sampai Pesantren Ramadan

"lan tarjia' al-ayyam allati madhat", kata sebuah pepatah Arab yang berarti takkan kembali hari-hari yang telah lalu. Tapi hari, pekan, sampai tahun yang telah berlalu tetap indah untuk dikenang. Termasuk kenangan nostalgia Ramadan di masa kecil.

Saya terlahir di awal 80-an menginjak remaja di pertengahan 90-an dan dewasa di awal 2000-an. Kini  usia memasuki kepala empat. Ramadan kali merupakan Ramadan 43 dalam hidup saya. 

Walau baru 37 kali menjalani puasa Ramadan. Kebetulan mulai menjalani puasa di usia 6 tahun. Walau sebelumnya sudah mulai belajar secara bertahap.

Banyak kenangan indah yang jadi nostalgia Ramadan di masa kecil. Mulai dari nostalgia bersama ayah, ibu, adik, kawan sepermaian, teman sekeolah, guru ngaji, dan sebagainya.

Selametan ''Haroa" jelang Ramadan

Ramadan bulan suci yang dinanti. Kedatangannya disambut suka cita. Di kampung halaman saya Pulau Muna Sulawesi Tenggara terdapat tradisi menyambut Ramadan dengan menggelar selametan atau doa bersama.

Dalam bahasa Muna tradisi ini disebut haroa. Tradisi ini biasa digelar pada moment sakral dan penting seperti menyambut Ramadan, dua haria raya, malam lailatul qadr, syukuran atas keberhasilan anggota keluarga seperti lulus kuliah, menikah, dan sebagainya. 

Bagi anak kecil seusia kami kala itu yang menarik tentu makan-makannya. Kalau doa hanya ikut-ikut meramaikan dan mengaminkan.

Semalametan haroa menjelang Ramadan biasa disebut tembaha wula (bahasa Muna). Artinya syukuran menyambut awal bulan (Ramadan). 

Ilustrasi: menu selamatan haroa/Photo:suaraknedari.com 
Ilustrasi: menu selamatan haroa/Photo:suaraknedari.com 

Haroa tembaha wula menjadi  momentum yang indah bagi anak-anak seperti kami. Karena bagi kami anak desa acara haroa menjadi momentum ''makan enak" yang tidak didapatkan setiap hari. Karena biasanya ada menu khusus yang disajikan untuk acara haroa. 

Seperti lapa-lapa (semacam lontong yang dibungkus daun janur), ketupat, cucur, waje (kue yang terbuat dari beras ketan+gula merah/aren), ayam kaparende (semacam sop ayam dengan bumbu tradisional khas Muna), dll. 

Walau sebagian menu selametan haroa bisa dibuat dan dapat ditemukan di luar acara haroa, tapi tetap saja makanan dan panganan acara haroa terasa lebih nikmat. 

Kesan lain dari acara haroa tembaha wula adalah ketika ikut ayah keliling ke rumah-rumah tetangga memimpin do'a haroa. Biasanya ''tukang baca do'a" mendapatkan jatah menu khusus dan atau porsinya lebih banyak. 

Ini mungkin termasuk etika memuliakan orang berilmu yang memimpin doa. Kalau ikut ayah biasa tuan rumah memberikan bingkisan saat pulang usai acara haroa. Ini yang menjadikan nostalgia Ramadan masa kecil terus indah dikenang.

Do'a Penangkal Haus dari Ayah

Puasa bagi anak kecil usia 6 tahun atau kelas 1 Sekolah Dasar (saya masuk SD usia 6 tahun lebih) bukan hal yang mudah. 

Bagi saya yang berat bukan menahan lapar, tapi menahan hasrat ingin minum karena sangat haus.Sehingga kadang dikit-dikit minta izin ke ayah untuk mengguyur kepala dengan air. Bahkan pernah sekali sampai mewek karena tidak diizinkan mengguyurkan air ke kepala.

Hingga suatu pagi bakda sahur mengajarkan sebuah doa yang kata ayah bisa menangkal rasa haus. Doa itu kemudian saya amalkan setiap hari. Dan benar, seharian  tidak merasakan haus jika setelah makan sahur sebelum imsak membaca doa tersebut. 

Mungkin faktor sugesti, wallahu a'lam. Yang jelas faktanya saya tidak merasakan haus. Kalaupun dahaga melanda karena cuaca panas, saya berusaha menghibur diri J kamu tuh gak haus sebenarnya. Itu Cuma perasaan kamu aja. Kan tadi pagi dah baca doa penangkal haus.

Mungkin ini hanya cara ayah mendidik dan mensugesti, wallahu a'lam. Karena setelah nyantri di pondok pesantren dan belajar bahasa Arab, saya berusaha mencaritahu dalam buku do'a-do'a. Tapi saya tidak menemuka doa yang diajarkan oleh ayah tersebut. Bahkan tidak menemukan judul "doa penangkal haus saat puasa".

Kompasinae penasaran teks doa penangkal haus yang diajarkan ayah saya? Membaca surat al-Ikhlas 3 kali setelah sahur.

"Kalau kamu tidak mau merasakan haus nanti siang saat puasa baca qul huwallahu ahad 3 kali sebelum subuh", kata ayah suatu pagi usai kami makan sahur. 

"Iyakah bapak," jawab saya (di kampung aya anak memanggil ayah dengan sebutan bapak/bapakku). "Iya". Maka semenjak itu saya amalkan, bahkan mengajarkan doa tersebut kepada teman-teman sekolah.

Saya sendiri lupa mulai kapan tidak membaca tersebut sebagai penangkal haus. Mungkin karena tidak lagi merasa terbebani dengan rasa haus saat puasa. Lagian tujuan dan hikmah puasa untuk beribadah kepada Allah dengan lapar dan dahaga.

Tadarusan bareng Ayah

Kenangan nostalgia Ramadan di masa kecil yang juga sangat berkesan adalah ''tadaruan bareng ayah". Ayah memiliki kebiasaan khataman Qur'an setiap Ramadan. Biasa ayah membaca 1 juz/hari yang diciil 2-3 kali duduk. 

Ini pertengahan tahun 80an, 3 atau 4 dasa warsan sebelum gerakan One Day one Juz muncul. Seingat saya punya Mushaf Al-Qur'an khusus, yakni Mushaf per juz yang hanya dikeluarkan dari lemari pada bulan Ramadan. 

Jika di luar Ramadan ayah membaca mushaf al-Qur'an biasa. Ayah biasa membaca Al-Qur'an bakda subuh, bakda zuhur, bakd asar, dan kadang malam sebelum tidur.

Yang paling berkesan adalah ketika suatu pagi saya ikutan tadarus baca Qur'an di samping ayah, lalu salah baca. Ayah menyampaikan bahwa saya salah baca, tapi beliau juga tidak membetulkan, tapi menyuruh perbaiki sendiri. Karena menurut beliau, ''dah sudah tahu cara bacanya". 

Saya terus mengulang berkali-kali dan selalu salah. ''perbaiki lagi". Saya sampai nangis, sampai air mata saya jatuh menetes di lembaran al-Qur'an. saking banyaknya air mata yang menetes, hingga melobangi lembaran al-Qur'an. 

Dan alhamdulillah bisa baca dengan benar. Mushaf al-Qur'an tersebut menjadi barang berharga dalam hidup saya. Saya simpan terus hingga dewasa. Namun saat mudik tahun lalu tidak lagi saya temukan di rumah bapak.

Pesantren Ramadan

Pesantren Ramadan juga menjadi nostalgia Ramadan yang sangat berkesan. Dan yang paling bekesan adalah pesantren Ramadan yang berlangsung ketika saya kelas 5 SD. Kegiatan pesantren berjalan sekitar 20 hari. Mulai awal Ramadan sampai hari ke-20 Ramadan. 

Program ini diselenggarakan oleh tim safari Ramadan perguruan Darud Da'wah Wal-Irsyad yang dipimpin oleh KH. Roni Syafri Abdul Azis. Beliau datang bersama para santri yang tersebar di tiga kecataman. 

Kegiatan Pesantren Ramadan dibimbing oleh para santri binaan Kyai Roni. Kegiatan pembelajaran berupa bimbingan ibadah harian  seperti thaharah, salat, doa dan zikir harian, praktik azan, dan sebagainya.

Pesantren Ramadan ini  makin semarak ketika di pekan terakhir digelar berbagai perlombaan terkait penguasan materi pelajaran selama pesantren ramadan berlangsung. Mulai dari lomba hafalan do'a, lomba azan, praktik gerkan dan bacaan salat, cerdas cermas islami, dan sebagainya.

Kegitan pesantren Ramadan ini sangat berkesan bagi saya, karena Kyai Roni selaku pimpinan rombongan safari Ramadan tinggal di rumah kami. Di kemudian hari ayah menyekolahkan saya di pondok pesantren Khairu Ummah yang dipimpin oleh pak Kyai.

Ramadan  selalu melahirkan kenangan berkesan. Khususnya Ramadan yang dijalani di masa kecil dulu. Sepertinya Ramadan di masa kecil menjadi Ramadan paling berkesan selama perjalan hidup. 

Mungkin sebagian pengalaman nostalgia ramadan masa kecil tersebut turut mempengaruhi  dan mewarnai pola pikir, serta nilai-nilai kehidupan yang saya anut dalam perjalanan hidup selanjutnya.

Sebetulnya masih banyak kenangan lain, namun keterbatasan jumlah kata maksimal dalam lomba samber ini. Maka sementara saya cukupkan dengan  4 kenangan di atas. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun