KPK Jangan TerjebakÂ
Selain kasus-kasus di atas, KPK juga dianggap terlalu memaksakan penangkapan, tanpa didahului penyidikan dan bukti-bukti yang tak bis dibantah. Hal ini, seperti terjadi pada kasus  "Skandal Meikarta".
Proyek properti yang "heboh" dengan iklan dan promosi yang begitu masif ini, ternyata menyimpan banyak ketidakberesan. Dalam kasus ini, KPK lalu mencokok Bupati Bekasi (ketika itu), Neneng Hassanah Yasin (NHY) sebagai tersangka dalam kasus suap perizinan Meikarta di Cikarang, Kabupaten Bekasi. Oleh pengadilan, ia dinyatakan terbukti bersalah dan diganjar hukuman 6 tahun penjara.
Selain NHY, kasus ini juga menyeret sejumlah nama lain, yakni Sekda Provinsi Jawa Barat IK, dan juga mantan Dirut Lippo Cikarang BT. Keduanya disangkakan dengan tuduhan yang berbeda. IK disangka menerima suap sebesar Rp 1 miliar terkait proyek Meikarta. Sedangkan BT disangka menyuap mantan Bupati NYH Rp 10,5 miliar dalam beberapa tahap.
Oleh karena itu, BT menunjuk  Supriyadi SH sebagai kuasa hukumnya untuk mengajukan langkah hukum praperadilan.Â
Mungkinkah KPK kembali kalah dalam praperadilan? Seperti diketahui, penangkapan terhadap BT ini didasari keterangan palsu dan fitnah. Dengan kata lain, ada dugaan, penyelidik dan penyidik KPK sepertinya kurang teliti, atau bahkan tertipu kesaksian palsu.
Alasannya, jika ditelisik hingga ke belakang, terkait hubungan BT dengan PT Mahkota Sentosa Utama (MSU) selaku pengembang Meikarta.
Seperti diketahui, saat itu BT menjabat sebagai Presdir Lippo Cikarang, sehingga secara administratif menjadi terlibat. Namun, kenyataanya BT tidak mengetahui secara mendetail bagaimana pengaturan kerjasama antara Lippo dengan partner China.
BT hanya mengetahui bahwa Lippo melalui LC memiliki saham di MSU sekitar 50%. Bentuk kontribusi sahamnya  berupa lahan milik LC, sedangkan pihak China 50% berupa dana tunai.
Setelah itu, BT tidak lagi terlibat dengan proyek Meikarta, sedangkan Manajemen MSU memiliki otoritas independen tidak terkait dengan LC.