Dalam pidato kenegaraannya menyambut HUT Ke-74 Kemerdekaan RI dalam Sidang Bersama DPD-DPR di Kompleks Parlemen, Presiden Joko Widodo (Jokowi) seakan menyinggung peranan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut Jokowi, keberhasilan penegakan hukum, semestinya tidak hanya berdasarkan jumlah kasus dan berapa orang yang dihukum, melainkan juga pada pencegahan dan berapa potensi kerugian negara yang bisa diselamatkan.
Hal ini penting, karena selama ini KPK dianggap begitu mudahnya menangkap orang, sehingga upaya pemberantasan korupsi bisa dibilang berjalan di tempat, karena tidak mampu membersihkan korupsi hingga ke akar-akarnya dan belum menjadikan antikorupsi sebagai budaya di negeri ini.
Apa yang dikatakan Jokowi, nyatanya  diamini juga oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Oleh karena itu, JK juga berharap pimpinan KPK yang terpilih mendatang,  memiliki kecakapan dalam memberantas tindak pidana korupsi. Selain itu, Pimpinan KPK nantinya merupakan sosok yang memiliki pengetahuan tentang hukum sekaligus masalah kenegaraan. Dengan demikian, JK berharap, pimpinan KPK mendatang tidak asal tangkap dalam pemberantasan korupsi.
"Jangan asal juga, orang yang asal ambil tangkap, tentu juga harus dilihat efek-efeknya," kata JK di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Kamis (4/7).
Jika kita menoleh ke belakang, nyatanya KPK tidak cukup digdaya seperti yang kita bayangan selama ini, karena KPK masih juga dipenuhi kekeliruan.
Setidaknya, KPK berulang kali mengalami kekeliruan yang mengakibatkan turunnya kredibilitas lembaga, karena harus menghadapi gugatan praperdilan, dan KPK kalah.
Di antaranya, KPK digugat secara praperadilan oleh Setya Novanto, mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo, Bupati Nganjuk Taufiqurrahman.
Kasus lainnya, yang begitu menyita perhatian publik, yaitu ketika melibatkan petinggi Polri, Komjen Pol Budi Gunawan (BG). Sebagai calon tunggal Kapolri, BG mendadak ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam dugaan suap dan korupsi. Kemudian BG dan kuasa hukumnya pun mengajukan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
Gugatan BG dikabulkan Ketua Majelis Hakim Sarpin Rizaldi pada Senin, 16 Februari 2017. Hakim menilai hadiah yang diterima BG tidak terkait dengan kerugian negara, sehingga penetapannya sebagai tersangka dinilai tidak sah dan tidak mengikat hukum.
KPK Jangan TerjebakÂ
Selain kasus-kasus di atas, KPK juga dianggap terlalu memaksakan penangkapan, tanpa didahului penyidikan dan bukti-bukti yang tak bis dibantah. Hal ini, seperti terjadi pada kasus  "Skandal Meikarta".
Proyek properti yang "heboh" dengan iklan dan promosi yang begitu masif ini, ternyata menyimpan banyak ketidakberesan. Dalam kasus ini, KPK lalu mencokok Bupati Bekasi (ketika itu), Neneng Hassanah Yasin (NHY) sebagai tersangka dalam kasus suap perizinan Meikarta di Cikarang, Kabupaten Bekasi. Oleh pengadilan, ia dinyatakan terbukti bersalah dan diganjar hukuman 6 tahun penjara.
Selain NHY, kasus ini juga menyeret sejumlah nama lain, yakni Sekda Provinsi Jawa Barat IK, dan juga mantan Dirut Lippo Cikarang BT. Keduanya disangkakan dengan tuduhan yang berbeda. IK disangka menerima suap sebesar Rp 1 miliar terkait proyek Meikarta. Sedangkan BT disangka menyuap mantan Bupati NYH Rp 10,5 miliar dalam beberapa tahap.
Oleh karena itu, BT menunjuk  Supriyadi SH sebagai kuasa hukumnya untuk mengajukan langkah hukum praperadilan.Â
Mungkinkah KPK kembali kalah dalam praperadilan? Seperti diketahui, penangkapan terhadap BT ini didasari keterangan palsu dan fitnah. Dengan kata lain, ada dugaan, penyelidik dan penyidik KPK sepertinya kurang teliti, atau bahkan tertipu kesaksian palsu.
Alasannya, jika ditelisik hingga ke belakang, terkait hubungan BT dengan PT Mahkota Sentosa Utama (MSU) selaku pengembang Meikarta.
Seperti diketahui, saat itu BT menjabat sebagai Presdir Lippo Cikarang, sehingga secara administratif menjadi terlibat. Namun, kenyataanya BT tidak mengetahui secara mendetail bagaimana pengaturan kerjasama antara Lippo dengan partner China.
BT hanya mengetahui bahwa Lippo melalui LC memiliki saham di MSU sekitar 50%. Bentuk kontribusi sahamnya  berupa lahan milik LC, sedangkan pihak China 50% berupa dana tunai.
Setelah itu, BT tidak lagi terlibat dengan proyek Meikarta, sedangkan Manajemen MSU memiliki otoritas independen tidak terkait dengan LC.
Namun, untuk masa transisi, hal-hal yang bersifat administratif terkait dengan LC, seperti kepemilikan lahan memang oleh pihak LC dilakukan penyelesaian administrasinya.
Dalam persidangan, EDS mengaku melaporkan permintaan fee dari NHY ini pada BT, dan BT menyetujuinya. Dan BT mengatakan akan disiapkan uangnya.
Dari sinilah, BT merasa dirinya benar-benar ditikam dari belakang. Menurut pengakuannya, BT tidak pernah mendengar permintaan fee untuk NHY dari EDS. Bahkan, BT pun tidak pernah menjanjikan untuk menyiapkan uang untuk free tersebut.
Semuanya sudah dibantah BT. Â Sayangnya, penyidik maupun majelis hakim tidak menanyakan lebih mendetail, misalnya kapan EDS meminta fee kepada BT, kapan BT pernah menyatakan kesanggupan memberikan fee, kapan fee diserahkan, siapa saja saksinya, dan seterusnya.
Siapakah dalang sesungguhnya? KPK harus berani mengungkapkannya! Karena kalau tidak, KPK hanya berjalan di tempat dalam pemberantasan korupsi, karena aktor utama dalam kasus korupsi yang sesungguhnya tidak pernah tersentuh!
sumber:
1. Republika.co.id (04/7/2019): "JK: Pimpinan KPK ke Depan Jangan Asal Tangkap, Lihat Efeknya"
2. JayakartaNews.com (04/9/2019): "Yang Tersembunyi di Balik Skandal Meikarta"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H