Mohon tunggu...
Syaira Najlalivia
Syaira Najlalivia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UPI Bandung

Saya adalah seseorang yang cenderung nyaman menikmati waktu sendiri atau bersama lingkaran kecil orang-orang terdekat. Sebagai seorang introvert, saya lebih suka suasana yang tenang dan mendalam untuk mengeksplorasi hobi serta minat saya. Hobi nonton film menunjukkan bahwa saya punya rasa ingin tahu yang tinggi terhadap cerita, ide, atau sudut pandang baru. Saya menyukai berbagai genre, mulai dari drama yang penuh emosi, petualangan yang seru, hingga film kuliner yang menggugah selera. Waktu menonton film bagi saya adalah momen relaksasi sekaligus cara untuk belajar hal-hal baru tanpa harus keluar dari zona nyaman. Ketertarikan saya pada konten kuliner menunjukkan apresiasi terhadap seni dan budaya makanan. Saya gemar menonton acara memasak, mencoba resep-resep baru, atau sekadar menikmati tayangan yang menampilkan makanan dengan visual yang menggiurkan. Kuliner bagi saya bukan sekadar makanan, tapi juga cerita di baliknya seperti tradisi, teknik memasak, atau eksplorasi rasa yang beragam.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Misteri Pentas Drama

24 Januari 2025   16:43 Diperbarui: 24 Januari 2025   16:43 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suasana pagi ini meriah sekali. Matahari bersinar cerah, tidak terlalu terik karena waktu masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Hari ini berbeda dari biasanya. Aula sekolah yang biasa kosong kini disulap menjadi sebuah panggung teater  megah lengkap dengan bangku-bangku penonton yang disusun sedemikian rupa mirip dengan bangku di sebuah Gedung pertunjukkan. Hari ini sekolah siap menyambut perlombaan pentas drama antar kelas.

Aku, Syaira, bersama tujuh teman sekelasku tengah bersiap di salah satu ruang kelas. Kami adalah perwakilan dari kelas 9D yang telah berlatih keras selama sebulan terakhir demi tampil maksimal dalam perlombaan ini. Tapi, suasana kelompok kami tidak seceria pagi yang cerah di luar sana.

Semua berawal tiga hari lalu, saat latihan di rumah Ayu.

"Rina, kamu kok masih lupa dialog di bagian ini?" tanyaku, mencoba menahan kesal. Rina terlihat kebingungan sambil membuka naskahnya.

"Aku sudah mencoba, Syaira. Tapi naskah ini sulit sekali!" balas Rina dengan suara frustrasi.

"Susah gimana? Kamu cuma tinggal menghapal dan menghayati! Kita semua juga sudah berusaha keras," sahut Anida dengan nada sinis.

"Hentikan, Anida! Jangan cuma menyalahkan orang lain," ujar Sabila dengan suara keras, membela Rina.

Ketegangan pun memuncak. Kami mulai saling menyalahkan satu sama lain, bahkan sampai Ayu yang biasanya tenang ikut terpancing emosi.

"Kalau begini terus, jangan harap kita bisa menang!" ucapku, menengahi dengan nada tegas. Tapi, suasana sudah terlanjur panas, dan latihan hari itu berakhir tanpa kemajuan berarti.

Hari berikutnya, ketegangan di antara kami belum juga reda. Bahkan saat kami berkumpul di kelas, suasana masih terasa canggung. Ayu akhirnya mengusulkan ide.

"Bagaimana kalau kita undang Kak Firda untuk membantu? Dia kan sudah pengalaman di teater," katanya.

Semua awalnya ragu, tetapi akhirnya setuju. Kak Firda, alumni yang kini menjadi mahasiswa seni teater di ISBI Bandung, datang ke sekolah kami sore itu. Ia mendengarkan keluhan kami, lalu memberikan masukan yang tajam tetapi penuh motivasi.

"Kalian harus belajar mengendalikan emosi. Dalam seni peran, kekompakkan itu nomor satu," nasihat Kak Firda di sela latihan terakhir. Kami semua terdiam, merasa bersalah atas konflik yang sempat terjadi.

Kak Firda membantu kami memperbaiki teknik peran, intonasi, dan penghayatan. Ia juga mengajarkan bagaimana menghadapi gugup di atas panggung. Dengan semangat baru, kami kembali fokus dan berhasil menyelesaikan latihan terakhir dengan baik.

Namun, malam sebelum perlombaan, sebuah insiden terjadi. Kostum yang sudah kami siapkan tiba-tiba rusak karena terkena air hujan saat disimpan di rumah Sabila. Panik melanda. Kami bahkan sempat berpikir untuk mundur dari perlombaan.

"Ini salahku! Aku lupa menutup jendela!" ujar Sabila sambil menangis.

"Kita tidak bisa menyalahkanmu, Sab," ujar Ayu, mencoba menenangkan. "Lebih baik kita pikirkan solusi."

Dengan bantuan Bu Ellin, wali kelas kami, kami berhasil menemukan penjahit yang bersedia memperbaiki kostum hingga larut malam. Walaupun lelah, kami merasa lega.

Namun, ada kejadian aneh saat kami memeriksa kostum itu di ruang kelas malam harinya. Ketika membuka salah satu kostum utama, aku menemukan secarik kertas tua yang kusam di balik lipatan kain. Tulisan di atasnya seperti mantra yang tidak aku mengerti.

"Apa ini?" tanyaku sambil menunjukkan kertas itu ke teman-teman. Rina bergidik.

"Kertas itu... aku merasa pernah melihatnya. Tapi aku lupa di mana," katanya pelan.

Kami mengabaikan hal itu dan tetap melanjutkan persiapan. Tapi, saat malam semakin larut, aku mulai merasa ada yang aneh. Di sudut ruang kelas, bayangan seseorang terlihat berdiri diam. Saat aku menoleh ke sana, bayangan itu menghilang.

Hari perlombaan tiba. Suasana aula sekolah penuh dengan sorak-sorai penonton. Aku dan teman-teman mendapat giliran tampil sebagai peserta nomor lima. Kelas 9F yang tampil pertama, berhasil menampilkan drama komedi. Dialog mereka penuh humor, disertai properti panggung yang sangat kreatif, seperti rumah mini yang bisa dibongkar pasang. Penonton terus tertawa sepanjang pertunjukan mereka. Aku merasa kami harus berusaha ekstra keras untuk bersaing dengan mereka.

Kelompok berikutnya, kelas 9H, naik ke panggung. Mereka tampil luar biasa dengan kostum tradisional lengkap dan tarian pembuka yang memukau. Salah satu aktris mereka, Liana, berhasil memainkan perannya dengan begitu emosional hingga banyak penonton yang menitikkan air mata. Penampilan mereka terasa seperti ancaman nyata bagi kami.

Saat nama kami dipanggil, aku melihat wajah tegang teman-temanku, terutama Sabila yang tampak gemetar.

"Sabila, tarik napas dalam-dalam. Kita sudah latihan keras. Percaya diri, oke?" bisikku, mencoba menenangkannya.

Kami naik ke panggung dengan hati berdebar. Di awal penampilan, aku bisa merasakan kegugupan kami, tetapi perlahan semuanya membaik. Salwa, yang biasanya pendiam, tiba-tiba menghidupkan suasana dengan improvisasi lucunya yang membuat penonton tertawa. Ayu tampil sangat memukau, sementara Rina, yang sempat diragukan, akhirnya mampu menghayati perannya dengan sempurna. Kekompakkan kami yang sempat goyah kini terasa utuh.

Namun, sebuah momen kritis terjadi di tengah penampilan. Lampu panggung tiba-tiba mati, menyisakan kami dalam kegelapan selama beberapa detik. Dalam kegelapan itu, aku mendengar suara pelan, seperti bisikan.

"Pergi... jangan ganggu..."

Aku merasakan tubuhku merinding. Tapi Ayu dengan sigap melanjutkan dialognya, diikuti oleh kami semua. Improvisasi itu berhasil mengalihkan perhatian dari gangguan teknis, dan kami mendapatkan tepuk tangan meriah.

Namun, ketegangan belum selesai di situ. Saat kami turun panggung, Bu Ellin datang dengan wajah khawatir. "Anak-anak, aku baru dapat kabar kalau ada isu dari panitia. Ada kelompok peserta lain yang mencoba mencuri naskah kita."

Aku terkejut mendengarnya. "Apa? Bagaimana mungkin?"

"Salah satu panitia menemukan salinan naskah kita di ruang penyimpanan, tapi aku sudah memastikan bahwa itu tidak bocor ke juri. Tetap tenang, ya," kata Bu Ellin.

Berita itu membuat kami gelisah. Ada pihak yang ingin menjatuhkan kami. Aku mencoba menenangkan teman-teman. "Kita sudah tampil dengan maksimal. Jangan biarkan hal ini merusak semangat kita. Kita serahkan semuanya pada keputusan juri."

Saat pengumuman pemenang, jantungku berdegup kencang. MC mulai membacakan hasilnya.

"Juara ketiga adalah kelas 9F!" teriak MC, disambut sorak sorai penonton.

"Juara kedua adalah kelas 9H!" lanjutnya. Aku menggenggam tangan Ayu yang dingin. Saat itu, aku hanya bisa berdoa.

"Dan juara pertama lomba pentas drama adalah... kelas 9D!" seru MC dengan penuh semangat.

Kami berteriak kegirangan dan saling berpelukan. Di atas panggung, aku mewakili kelompok untuk memberikan sepatah dua patah kata.

"Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak, terutama Kak Firda dan Bu Ellin, yang telah mendukung kami. Kemenangan ini kami raih berkat kekompakkan dan kerja keras kami. Terima kasih!" ucapku penuh haru, diiringi tepuk tangan meriah dari penonton.

Ketika kami kembali ke kelas, Bu Ellin memberikan pesan penting yang selalu akan aku ingat: "Kalian telah menunjukkan arti persatuan dan kerja keras. Ingatlah, kemenangan ini bukan akhir, tetapi awal dari perjalanan kalian untuk menjadi pribadi yang lebih baik."

Malamnya, aku kembali ke aula untuk mengambil barang yang tertinggal. Ketika aku melangkah menuju panggung, aku merasakan hawa yang berbeda, hawa dingin yang aneh. Aku menoleh ke belakang, dan tiba-tiba aku melihat sesuatu yang mengejutkan. Di dekat tiang panggung yang baru dibangun, ada sebuah ukiran yang hampir tidak terlihat oleh banyak orang. Ukiran itu berbentuk simbol yang aku kenali, seperti simbol yang ada di kertas mantra yang kami temukan sebelumnya.

Aku merasa seolah ada sesuatu yang terhubung dengan sejarah lama. Ternyata, setelah berbicara dengan Bu Ellin keesokan harinya, aku mendapat penjelasan mengejutkan.

"Aula ini, dulu pernah digunakan untuk pertunjukan seni pada zaman dulu, sebelum renovasi dilakukan. Banyak cerita tentang tragedi yang terjadi di sana," kata Bu Ellin. "Kabar yang aku dengar, panggung yang ada sekarang memang baru dibangun, tapi ada pihak yang mengatakan bahwa seolah-olah roh seorang siswi teater yang pernah berlatih di sini masih tetap menjaga panggung itu."

Aku terkejut. "Jadi, ini bukan hanya kebetulan?"

"Entahlah, Syaira. Mungkin apa yang kita alami adalah sebuah pertanda atau semacam peringatan. Tapi satu hal yang pasti, kalian sudah membawa kembali semangat yang pernah ada di sini."

Kami semua merasa lega setelah mendengar penjelasan Bu Ellin, namun entah kenapa, saat aku memandang panggung itu untuk terakhir kalinya, aku merasakan seulas senyuman mengembang dari bayangan samar di balik tirai. Seolah-olah, kami telah memenuhi harapan yang tak terucapkan dari sosok yang menjaga panggung itu dan kami tahu, semangatnya akan terus hidup di sana.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun