Semua awalnya ragu, tetapi akhirnya setuju. Kak Firda, alumni yang kini menjadi mahasiswa seni teater di ISBI Bandung, datang ke sekolah kami sore itu. Ia mendengarkan keluhan kami, lalu memberikan masukan yang tajam tetapi penuh motivasi.
"Kalian harus belajar mengendalikan emosi. Dalam seni peran, kekompakkan itu nomor satu," nasihat Kak Firda di sela latihan terakhir. Kami semua terdiam, merasa bersalah atas konflik yang sempat terjadi.
Kak Firda membantu kami memperbaiki teknik peran, intonasi, dan penghayatan. Ia juga mengajarkan bagaimana menghadapi gugup di atas panggung. Dengan semangat baru, kami kembali fokus dan berhasil menyelesaikan latihan terakhir dengan baik.
Namun, malam sebelum perlombaan, sebuah insiden terjadi. Kostum yang sudah kami siapkan tiba-tiba rusak karena terkena air hujan saat disimpan di rumah Sabila. Panik melanda. Kami bahkan sempat berpikir untuk mundur dari perlombaan.
"Ini salahku! Aku lupa menutup jendela!" ujar Sabila sambil menangis.
"Kita tidak bisa menyalahkanmu, Sab," ujar Ayu, mencoba menenangkan. "Lebih baik kita pikirkan solusi."
Dengan bantuan Bu Ellin, wali kelas kami, kami berhasil menemukan penjahit yang bersedia memperbaiki kostum hingga larut malam. Walaupun lelah, kami merasa lega.
Namun, ada kejadian aneh saat kami memeriksa kostum itu di ruang kelas malam harinya. Ketika membuka salah satu kostum utama, aku menemukan secarik kertas tua yang kusam di balik lipatan kain. Tulisan di atasnya seperti mantra yang tidak aku mengerti.
"Apa ini?" tanyaku sambil menunjukkan kertas itu ke teman-teman. Rina bergidik.
"Kertas itu... aku merasa pernah melihatnya. Tapi aku lupa di mana," katanya pelan.
Kami mengabaikan hal itu dan tetap melanjutkan persiapan. Tapi, saat malam semakin larut, aku mulai merasa ada yang aneh. Di sudut ruang kelas, bayangan seseorang terlihat berdiri diam. Saat aku menoleh ke sana, bayangan itu menghilang.