Sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) di Indonesia telah mengalami berbagai perubahan sejak awal pelaksanaannya. Salah satu yang paling kontroversial adalah wacana kembali ke mekanisme pemilihan kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).Â
Sistem ini sempat diterapkan pada masa Orde Baru, tetapi kemudian digantikan dengan pemilihan langsung oleh rakyat pasca reformasi.Â
Kini, ketika gagasan ini muncul kembali, pertanyaan yang mendasar adalah: bagaimana kepercayaan publik terhadap sistem pemilihan kepala daerah oleh DPRD?
Sejarah Sistem Pemilihan Kepala Daerah
Pada masa Orde Baru, kepala daerah dipilih oleh DPRD. Sistem ini dianggap efisien, tetapi dalam praktiknya, cenderung menjadi alat kepentingan politik pusat.Â
Reformasi tahun 1998 membawa perubahan besar, termasuk penerapan pilkada langsung pada tahun 2005. Sistem ini bertujuan meningkatkan partisipasi rakyat dan memastikan pemimpin yang dipilih lebih mewakili kehendak masyarakat.
Namun, pilkada langsung juga membawa tantangan seperti politik uang, konflik sosial, hingga beban anggaran yang besar. Dalam konteks ini, wacana pengembalian pemilihan kepala daerah oleh DPRD muncul sebagai solusi untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut.
Keunggulan dan Kritik terhadap Sistem oleh DPRD
Pendukung sistem pemilihan oleh DPRD sering mengajukan beberapa argumen utama. Pertama, sistem ini lebih hemat anggaran karena tidak melibatkan proses kampanye yang besar-besaran.Â
Kedua, risiko konflik horizontal yang sering terjadi dalam pilkada langsung dapat diminimalisasi. Ketiga, sistem ini dinilai dapat memperkuat peran partai politik dalam mengawal demokrasi, dengan harapan bahwa kepala daerah yang terpilih adalah tokoh yang kompeten dan dapat bekerja sama dengan DPRD.