Bagas: "Opa, Oma, apa arti cahaya di usia senja? Apakah cinta tetap bersinar di saat segalanya mulai memudar?"
Opa Tjiptadinata (memandang Bagas dengan mata penuh kebijaksanaan): "Cahaya di usia senja, Bagas, bukan tentang terang benderang seperti di masa muda. Ia adalah cahaya yang tenang, seperti lilin di tengah malam. Ia tak lagi menyala dengan api besar, tetapi cukup untuk menerangi langkah-langkah kita."
Oma Roselina (menyeka air mata haru): "Cinta kami, Bagas, adalah cinta yang telah melalui banyak musim. Dan sekarang, di usia senja, cinta itu adalah cahaya yang menuntun kami pulang. Ia mungkin tidak seterang dulu, tetapi ia tak pernah padam."
Adegan 4: Warisan Cinta
(Lampu mulai meredup, hanya menyisakan cahaya lembut yang menerangi wajah Opa dan Oma. Sari dan Bagas berdiri di dekat mereka, menyaksikan keindahan cinta yang abadi.)
Narator: Dan di akhir perjalanan,
Cinta mereka adalah cahaya yang tak pernah padam,
Seperti mentari yang tenggelam di ufuk,
Namun kehangatannya tetap terasa,
Menyinari hati generasi berikutnya.
Sari (dengan suara penuh harapan): "Warisan cinta ini, Ayah, Ibu, akan terus kami jaga. Cahaya ini, akan kami bawa hingga waktu kami tiba."
Bagas (tersenyum tipis, menatap Opa dan Oma): "Kalian adalah cahaya kami. Dan aku berharap suatu hari nanti, aku bisa menemukan cinta yang seindah ini. Cinta yang bertahan, meski badai menerpa."
Oma Roselina (tersenyum, memegang tangan Opa): "Cinta itu, Bagas, ada di dalam hatimu. Temukanlah dengan kesabaran, seperti kami menemukan jalan kami."
Epilog: Cahaya yang Abadi
(Lampu perlahan padam, menyisakan satu cahaya lembut yang menyinari wajah Opa dan Oma. Narator melangkah maju, mengakhiri cerita dengan nada lembut dan penuh renungan.)