Mohon tunggu...
Syaiful Anwar
Syaiful Anwar Mohon Tunggu... Dosen - Dosen FEB Universitas Andalas Kampus Payakumbuh

Cara asik belajar ilmu ekonomi www.unand.ac.id - www.eb.unand.ac.id https://bio.link/institutquran

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Diamond Wedding Opa Tjiptadinata Effendi dan Oma Roselina Tjiptadinata : Cahaya di Usia Indah

10 Oktober 2024   19:52 Diperbarui: 12 Oktober 2024   07:21 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Roman. Sumber ilustrasi: pixabay.com/qrzt

Naskah Teater: "Cahaya di Usia Indah"

Tema: Diamond Wedding Opa Tjiptadinata Effendi dan Oma Roselina Tjiptadinata

Tokoh:

  1. Opa Tjiptadinata Effendi -- Pria tua yang bijak, berusia 85 tahun, membawa ketenangan dalam setiap kata.
  2. Oma Roselina Tjiptadinata -- Istri yang lembut namun penuh dengan kekuatan batin, berusia 82 tahun.
  3. Sari -- Putri mereka, berusia 50 tahun, tengah merenungi kehidupan dan warisan cinta orang tuanya.
  4. Bagas -- Cucu mereka, pemuda berusia 25 tahun, dalam pencarian makna hidup dan cinta sejati.
  5. Narator -- Suara yang hadir sebagai jiwa dari kenangan, memandu dengan untaian kata puitis.

Setting: Sebuah ruang keluarga klasik, di mana aroma kenangan memenuhi udara. Dinding-dindingnya dihiasi foto keluarga dari masa ke masa, dengan cahaya lampu remang, menciptakan suasana intim. Sebuah kursi goyang di sudut ruangan, di mana Opa sering duduk. Sebuah piano tua yang pernah dimainkan Oma di hari-hari yang penuh kegembiraan.

Adegan 1: Kilau Senja di Mata Opa

(Lampu perlahan menyala, memperlihatkan Opa Tjiptadinata Effendi duduk di kursi goyang. Di depannya, meja kecil dengan dua cangkir teh yang mengepul. Oma Roselina duduk di sofa, memandang Opa dengan senyuman tenang. Sari berdiri di dekat jendela, memperhatikan cahaya senja yang masuk dari celah tirai. Bagas duduk di lantai, menatap Opa penuh rasa ingin tahu. Narator berdiri di sisi panggung, membuka kisah dengan suara lembut dan puitis.)

Narator: Dalam kilau senja yang mulai meredup,
Ada cinta yang tak pernah pudar.
Cinta yang telah berjalan melewati badai,
Namun tetap teguh, tetap menyala,
Seperti cahaya di ujung hari.

Sari (dengan nada renungan, mendekat ke jendela): "Ayah, Ibu, sering aku bertanya-tanya, bagaimana cinta bisa bertahan begitu lama? Apa rahasia di balik keabadian ini?"

Opa Tjiptadinata (tersenyum tipis, pandangannya penuh ketenangan): "Rahasia, Sari? Tidak ada rahasia. Cinta itu seperti mentari di senja hari. Kau tahu ia akan tenggelam, tapi kehangatannya tak pernah benar-benar hilang. Cinta kami telah melalui masa-masa sulit, tapi kami selalu menemukan jalan untuk kembali satu sama lain."

Oma Roselina (mengangguk pelan, memandang Sari dengan tatapan penuh kasih): "Tidak semua hari dipenuhi sinar terang, Sari. Ada masa-masa ketika awan menutupi langit, ketika hujan turun tanpa henti. Tapi itulah cinta. Ia bukan tentang kesempurnaan, melainkan tentang kebersamaan, bahkan dalam kegelapan."

Bagas (masih duduk di lantai, suaranya lirih): "Tapi, Opa, bagaimana mungkin cinta bertahan sedemikian lama? Di zaman sekarang, segalanya tampak rapuh. Aku merasa cinta itu mudah terpecah."

Opa Tjiptadinata (tertawa kecil, memandang Bagas dengan lembut): "Ah, Bagas... Cinta tidak rapuh, hanya kita yang seringkali tidak sabar. Cinta butuh waktu, dan waktu kadang penuh cobaan. Ketika dua hati berjalan bersama, cinta itu tumbuh. Setiap tantangan, setiap ujian, adalah kesempatan untuk membuatnya lebih kuat."

Adegan 2: Bayang-Bayang Masa Lalu

(Narator melangkah maju, suaranya berubah menjadi lebih dalam, seolah membawa penonton ke masa lalu.)

Narator: Di setiap perjalanan, ada luka yang tersembunyi,
Ada tawa yang tersimpan dalam ingatan.
Namun cinta, ia seperti pohon tua,
Akar-akar yang menjalar dalam, menembus tanah hati.

(Lampu sedikit meredup, dan seolah bayangan dari masa lalu muncul di panggung. Opa dan Oma muda berdiri di tengah panggung, berhadapan satu sama lain. Bayangan mereka yang lebih muda berbicara tentang cinta dengan semangat yang masih menyala.)

Opa Muda (menggenggam tangan Oma Muda): "Kita akan melalui ini bersama, apa pun yang terjadi. Dunia mungkin berubah, tapi aku percaya kita akan bertahan."

Oma Muda (tersenyum lembut, suaranya penuh keyakinan): "Aku tahu. Setiap langkah kita, setiap luka yang kita terima, hanya akan membuat kita lebih kuat. Aku bersamamu, selalu."

(Bayangan Opa dan Oma muda menghilang seiring dengan lampu yang perlahan menyala kembali. Kembali ke masa kini, Opa dan Oma duduk dengan tenang di tempat mereka, senyuman tipis di bibir.)

Sari (menghela napas, suara lirih): "Aku bisa merasakan cinta yang pernah kau bagi, Ayah, Ibu. Cinta itu terasa dalam setiap sudut rumah ini, dalam setiap napas yang kalian ambil bersama."

Adegan 3: Cahaya yang Tak Pernah Padam

(Cahaya lembut menyelimuti panggung, memperlihatkan keintiman antara Opa dan Oma. Bagas berdiri, mendekati Opa dengan rasa penasaran yang masih tersisa.)

Bagas: "Opa, Oma, apa arti cahaya di usia senja? Apakah cinta tetap bersinar di saat segalanya mulai memudar?"

Opa Tjiptadinata (memandang Bagas dengan mata penuh kebijaksanaan): "Cahaya di usia senja, Bagas, bukan tentang terang benderang seperti di masa muda. Ia adalah cahaya yang tenang, seperti lilin di tengah malam. Ia tak lagi menyala dengan api besar, tetapi cukup untuk menerangi langkah-langkah kita."

Oma Roselina (menyeka air mata haru): "Cinta kami, Bagas, adalah cinta yang telah melalui banyak musim. Dan sekarang, di usia senja, cinta itu adalah cahaya yang menuntun kami pulang. Ia mungkin tidak seterang dulu, tetapi ia tak pernah padam."

Adegan 4: Warisan Cinta

(Lampu mulai meredup, hanya menyisakan cahaya lembut yang menerangi wajah Opa dan Oma. Sari dan Bagas berdiri di dekat mereka, menyaksikan keindahan cinta yang abadi.)

Narator: Dan di akhir perjalanan,
Cinta mereka adalah cahaya yang tak pernah padam,
Seperti mentari yang tenggelam di ufuk,
Namun kehangatannya tetap terasa,
Menyinari hati generasi berikutnya.

Sari (dengan suara penuh harapan): "Warisan cinta ini, Ayah, Ibu, akan terus kami jaga. Cahaya ini, akan kami bawa hingga waktu kami tiba."

Bagas (tersenyum tipis, menatap Opa dan Oma): "Kalian adalah cahaya kami. Dan aku berharap suatu hari nanti, aku bisa menemukan cinta yang seindah ini. Cinta yang bertahan, meski badai menerpa."

Oma Roselina (tersenyum, memegang tangan Opa): "Cinta itu, Bagas, ada di dalam hatimu. Temukanlah dengan kesabaran, seperti kami menemukan jalan kami."

Epilog: Cahaya yang Abadi

(Lampu perlahan padam, menyisakan satu cahaya lembut yang menyinari wajah Opa dan Oma. Narator melangkah maju, mengakhiri cerita dengan nada lembut dan penuh renungan.)

Narator: Di usia senja,
Cinta mereka adalah cahaya,
Yang tak pernah padam,
Yang terus menyala,
Dalam hati kita semua.

(Tirai perlahan turun, menutup kisah tentang cinta yang abadi, yang terus bersinar meski usia senja telah tiba.)

TAMAT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun