Mohon tunggu...
Syaiful Anwar
Syaiful Anwar Mohon Tunggu... Dosen - Dosen FEB Universitas Andalas Kampus Payakumbuh

Cara asik belajar ilmu ekonomi www.unand.ac.id - www.eb.unand.ac.id https://bio.link/institutquran

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Jangan 100% Cashless

20 September 2024   08:28 Diperbarui: 20 September 2024   09:02 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah kenapa pagi ini Saya ada ide saja menulis bahwa nampaknya Kita jangan sampai 100% cashless. Era memang digital telah membawa kita ke dalam lanskap ekonomi yang semakin terhubung secara global. Dengan perkembangan teknologi finansial (fintech) yang pesat, transaksi tunai mulai beralih ke transaksi non-tunai atau cashless. E-wallet, QR code, dan berbagai aplikasi pembayaran digital kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, terutama di kota-kota besar. Namun, di tengah semarak kampanye untuk masyarakat yang seratus persen cashless, muncul pertanyaan yang layak kita renungkan bersama: Apakah kita siap meninggalkan uang tunai sepenuhnya?

Berbagai negara maju, termasuk beberapa kawasan di Indonesia, telah mengadopsi sistem pembayaran cashless secara masif. Namun, sebelum tergesa-gesa menuju transisi penuh, penting untuk mempertimbangkan dampak sosial, ekonomi, dan inklusi keuangan dari langkah ini. Sistem pembayaran yang sepenuhnya cashless mungkin terlihat modern dan efisien, tetapi apakah ini benar-benar solusi terbaik bagi semua lapisan masyarakat?

Kesenjangan Digital dan Inklusi Keuangan

Salah satu tantangan terbesar dari transisi ke sistem cashless adalah kesenjangan digital yang masih signifikan di Indonesia. Meskipun penetrasi internet terus meningkat, tidak semua wilayah dan kelompok masyarakat memiliki akses yang memadai terhadap teknologi. Di pedesaan dan daerah terpencil, infrastruktur digital belum sepenuhnya tersedia. Hal ini membuat masyarakat di wilayah tersebut rentan tertinggal apabila transaksi tunai dihapuskan sepenuhnya.

Di samping itu, kelompok lansia atau mereka yang belum terbiasa dengan teknologi mungkin mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan sistem pembayaran digital. Bagaimana dengan para pedagang kecil yang sehari-hari hanya mengandalkan transaksi tunai karena keterbatasan pengetahuan tentang e-wallet atau bank digital? Mengharuskan semua transaksi menjadi non-tunai berarti mengeksklusi mereka dari sistem ekonomi yang seharusnya inklusif.

Inklusi keuangan merupakan salah satu pilar penting dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan. Kebijakan yang memaksa masyarakat untuk sepenuhnya cashless justru dapat menciptakan ketidaksetaraan baru di antara mereka yang sudah terhubung dengan teknologi dan yang belum. Dalam hal ini, penggunaan uang tunai masih memiliki peran penting untuk menjembatani kesenjangan digital yang ada.

Keamanan dan Ketahanan Ekonomi

Salah satu argumen yang sering diajukan dalam mendukung sistem cashless adalah faktor keamanan. Memang benar bahwa transaksi digital dapat mengurangi risiko pencurian fisik, seperti perampokan atau kehilangan uang tunai. Namun, sistem cashless juga tidak bebas risiko. Serangan siber, peretasan data, atau kegagalan sistem dapat menyebabkan kerugian yang lebih besar daripada kehilangan uang tunai.

Bayangkan skenario di mana terjadi pemadaman listrik atau gangguan jaringan internet. Dalam kondisi seperti ini, transaksi cashless akan lumpuh sepenuhnya. Sementara itu, uang tunai tetap dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Ketergantungan total pada sistem digital dapat menjadi bumerang ketika infrastruktur tidak berjalan dengan baik. Oleh karena itu, mempertahankan uang tunai sebagai alternatif dalam situasi darurat atau ketidakpastian adalah langkah bijaksana.

Privasi dan Kontrol Finansial

Sistem cashless juga menimbulkan kekhawatiran terkait privasi dan kontrol individu terhadap keuangan mereka. Setiap transaksi non-tunai meninggalkan jejak digital yang dapat dilacak oleh pihak ketiga, seperti lembaga keuangan, pemerintah, atau bahkan perusahaan teknologi. Meskipun hal ini berguna untuk tujuan keamanan, seperti pencegahan pencucian uang atau pendeteksian aktivitas ilegal, privasi individu dalam hal pengelolaan keuangan juga perlu dilindungi.

Uang tunai, di sisi lain, memberikan kebebasan kepada individu untuk melakukan transaksi secara anonim, tanpa perlu khawatir data pribadinya disalahgunakan. Dalam dunia di mana data pribadi menjadi aset berharga, perlindungan terhadap privasi finansial adalah isu yang tak boleh diabaikan. Mempertahankan opsi tunai dalam transaksi sehari-hari memberikan masyarakat kendali lebih besar atas privasi mereka.

Keseimbangan: Kuncinya adalah Fleksibilitas

Bukan berarti kita harus menolak perkembangan teknologi atau kembali ke zaman kuno. Sistem pembayaran digital jelas membawa banyak manfaat, seperti kemudahan, efisiensi, dan akses yang lebih luas. Namun, penting untuk diingat bahwa tidak semua perubahan harus diadopsi secara mutlak. Keseimbangan antara pembayaran tunai dan cashless adalah pendekatan yang lebih realistis dan inklusif.

Fleksibilitas dalam sistem pembayaran memungkinkan masyarakat untuk memilih cara transaksi yang paling sesuai dengan kebutuhan mereka. Beberapa orang mungkin lebih nyaman menggunakan uang tunai, sementara yang lain lebih memilih pembayaran digital karena kemudahan dan kecepatan. Kebijakan ekonomi yang mendorong opsi keduanya, alih-alih memaksa salah satu sistem, akan lebih mampu merangkul seluruh lapisan masyarakat.

Membangun Infrastruktur yang Tangguh

Jika Indonesia ingin benar-benar bergerak menuju masyarakat cashless, langkah yang lebih strategis harus diambil. Pertama, perlu ada peningkatan infrastruktur digital yang merata di seluruh wilayah Indonesia, termasuk pedesaan dan daerah terpencil. Hal ini memastikan bahwa tidak ada kelompok yang tertinggal dalam proses digitalisasi. Edukasi teknologi juga menjadi prioritas, terutama bagi kelompok rentan seperti lansia dan pelaku usaha mikro.

Kedua, pengembangan sistem keamanan digital harus menjadi perhatian utama. Setiap kali kita meningkatkan ketergantungan pada teknologi, kita juga membuka peluang lebih besar bagi serangan siber. Oleh karena itu, peningkatan keamanan siber dan ketahanan terhadap gangguan teknis harus menjadi bagian integral dari setiap inisiatif cashless.

Ketiga, perlindungan data dan privasi individu harus diatur dengan ketat. Pemerintah perlu menetapkan regulasi yang melindungi data finansial masyarakat dari penyalahgunaan, baik oleh pihak ketiga maupun lembaga keuangan. Dengan demikian, masyarakat bisa merasa lebih aman dalam menggunakan pembayaran digital tanpa khawatir tentang privasi mereka.

Jadi, Cashless; tapi Tidak 100%

Indonesia tidak bisa dan tidak harus menjadi 100% cashless. Meskipun transaksi non-tunai menawarkan banyak keuntungan, seperti kemudahan dan efisiensi, ada banyak alasan untuk mempertahankan uang tunai sebagai bagian dari sistem pembayaran yang fleksibel dan inklusif. Dalam menjaga keseimbangan antara teknologi dan kebutuhan masyarakat, kita harus mengadopsi pendekatan yang lebih seimbang, yang memungkinkan masyarakat untuk memilih metode pembayaran yang paling sesuai dengan situasi dan preferensi mereka.

Sebagai masyarakat yang sedang berada di tengah gelombang transformasi digital, kita harus bijak dalam menavigasi perubahan ini. Uang tunai masih memiliki tempat yang penting, baik dalam hal inklusi keuangan, ketahanan ekonomi, maupun perlindungan privasi. Oleh karena itu, alih-alih bergerak menuju seratus persen cashless, mari kita membangun ekosistem keuangan yang inklusif, fleksibel, dan tangguh, di mana setiap orang bisa berpartisipasi dengan cara yang paling sesuai bagi mereka.

Pengalaman Buruk dengan 100% Cashless: Ketika Digitalisasi Menjadi Bumerang

Teknologi finansial (fintech) dan pembayaran digital kini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Dari belanja online hingga transaksi di warung kopi, pembayaran digital seperti e-wallet dan QR code sudah sangat umum digunakan, terutama di perkotaan. Namun, di tengah optimisme menuju masyarakat yang sepenuhnya cashless, ada sisi lain dari pengalaman ini yang sering kali luput dari perhatian: kesulitan dan risiko yang muncul ketika kita bergantung sepenuhnya pada sistem digital.

Bayangkan ini: seorang teman saya yang tinggal di sebuah kota besar baru-baru ini mengalami kejadian tak terduga ketika sistem cashless yang digunakannya tiba-tiba lumpuh. Saat itu, ia berada di tengah perjalanan bisnis dan, seperti biasa, hanya membawa sedikit uang tunai karena hampir semua transaksi dapat dilakukan secara digital. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Di bandara, sistem e-wallet yang digunakan mendadak bermasalah karena gangguan server. Semua pembayaran dari transportasi hingga makanan tak dapat dilakukan. Dengan saldo digital yang "terkunci", ia terpaksa mencari cara lain, tetapi tidak semua tempat menerima kartu kredit, apalagi uang tunai.

Pengalaman ini mungkin terdengar ekstrem, tetapi kenyataannya banyak orang yang mengalami situasi serupa. Ketika semua sistem bergantung pada teknologi digital, kita rentan terhadap gangguan teknis yang mungkin di luar kendali kita. Berikut adalah beberapa pelajaran penting yang bisa kita ambil dari pengalaman buruk ini, khususnya terkait transisi menuju 100% cashless.

Ketergantungan Berlebihan pada Teknologi

Salah satu masalah terbesar dengan adopsi sistem pembayaran yang sepenuhnya cashless adalah ketergantungan yang berlebihan pada teknologi. Memang benar bahwa transaksi digital menawarkan kemudahan dan efisiensi, namun risiko yang ditimbulkan ketika teknologi mengalami gangguan atau kerusakan tidak bisa diabaikan. Gangguan server, kegagalan jaringan, atau serangan siber bisa menyebabkan sistem cashless tiba-tiba tidak berfungsi.

Dalam skenario di atas, ketika e-wallet atau aplikasi pembayaran digital tidak bisa digunakan, banyak orang merasa terjebak. Mereka tidak bisa membeli kebutuhan pokok, membayar transportasi, atau bahkan mengakses layanan kesehatan yang mendesak. Pada saat-saat seperti ini, uang tunai justru menjadi penyelamat yang sering kali diabaikan dalam dunia yang semakin digital.

Selain itu, ada risiko bahwa tidak semua orang siap atau mampu untuk beradaptasi sepenuhnya dengan sistem digital. Masyarakat pedesaan atau mereka yang tidak terbiasa dengan teknologi bisa merasa tertinggal dan terkucilkan jika dipaksa untuk menggunakan sistem cashless. Ketika segala sesuatu berpindah ke ranah digital, kelompok-kelompok ini berisiko kehilangan akses terhadap layanan ekonomi yang penting.

Kesenjangan Digital dan Inklusi Keuangan

Masalah berikutnya yang kerap muncul dalam masyarakat yang berusaha menjadi 100% cashless adalah kesenjangan digital yang masih lebar di Indonesia. Meskipun kita sering mendengar kabar tentang pertumbuhan pengguna internet dan aplikasi digital, kenyataannya masih ada banyak daerah di Indonesia yang belum memiliki akses internet yang memadai. Infrastruktur digital yang belum merata ini berarti bahwa sebagian masyarakat masih sangat bergantung pada uang tunai untuk kebutuhan sehari-hari.

Masyarakat di wilayah terpencil atau pedesaan sering kali tidak memiliki akses ke layanan keuangan formal, apalagi teknologi pembayaran digital. Menghapus uang tunai dalam transaksi di wilayah ini sama saja dengan memutus akses mereka terhadap ekonomi formal. Alih-alih mendorong inklusi keuangan, kebijakan 100% cashless justru dapat menciptakan ketimpangan yang semakin dalam antara daerah perkotaan dan pedesaan, serta antara kelompok masyarakat yang melek teknologi dan yang tidak.

Keamanan Data dan Privasi

Sistem cashless, di satu sisi, menawarkan kemudahan bagi konsumen. Namun, ada juga sisi gelap yang sering terabaikan, yaitu risiko terhadap keamanan data pribadi. Setiap kali kita melakukan transaksi non-tunai, kita meninggalkan jejak digital yang dapat dilacak oleh penyedia layanan keuangan, perusahaan teknologi, atau bahkan pihak-pihak yang tidak berwenang. Informasi ini, jika tidak dikelola dengan baik, dapat dimanfaatkan untuk tujuan yang merugikan konsumen.

Sudah banyak kasus pencurian data yang mengakibatkan kerugian finansial yang sangat besar bagi individu maupun perusahaan. Di era digital ini, data pribadi menjadi aset yang sangat berharga, dan melindungi privasi konsumen harus menjadi prioritas. Jika tidak ada regulasi yang ketat mengenai perlindungan data, masyarakat akan semakin rentan terhadap penyalahgunaan informasi yang disebabkan oleh ketergantungan pada sistem cashless.

Selain itu, penggunaan uang tunai masih memberikan tingkat privasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan transaksi digital. Uang tunai memungkinkan konsumen untuk melakukan transaksi tanpa perlu khawatir tentang siapa yang memantau atau mengakses informasi pribadi mereka. Dalam dunia yang semakin terbuka dan terkoneksi, privasi menjadi isu penting yang sering kali diabaikan dalam diskusi tentang digitalisasi ekonomi.

Fleksibilitas dalam Situasi Darurat

Pengalaman buruk dengan sistem cashless juga sering kali muncul dalam situasi darurat atau ketidakpastian. Seperti yang disebutkan sebelumnya, gangguan teknis atau kegagalan sistem dapat menyebabkan seseorang kehilangan akses terhadap dana digital mereka. Ini bisa menjadi masalah serius ketika seseorang berada dalam situasi mendesak, seperti saat harus membayar layanan medis atau transportasi di tengah keadaan darurat.

Kehilangan akses ke uang digital dalam situasi seperti ini bisa sangat menyulitkan, terutama jika tidak ada alternatif lain seperti uang tunai yang bisa digunakan. Hal ini menekankan pentingnya fleksibilitas dalam sistem pembayaran, di mana konsumen memiliki pilihan untuk menggunakan uang tunai atau non-tunai tergantung pada situasi yang dihadapi. Fleksibilitas ini tidak hanya memberikan kenyamanan, tetapi juga jaminan bahwa mereka tetap bisa memenuhi kebutuhan dasar meskipun terjadi gangguan pada sistem digital.

Pentingnya Keseimbangan

Dari semua pengalaman buruk yang muncul dalam konteks transisi menuju 100% cashless, satu hal yang bisa kita simpulkan adalah pentingnya menjaga keseimbangan antara penggunaan teknologi dan kebutuhan masyarakat yang beragam. Sistem cashless memang membawa banyak manfaat, seperti efisiensi dan kemudahan, tetapi tidak seharusnya menjadi satu-satunya pilihan yang tersedia.

Masyarakat membutuhkan sistem yang fleksibel dan inklusif, di mana mereka bisa memilih metode pembayaran yang paling sesuai dengan situasi dan preferensi mereka. Uang tunai masih memiliki peran yang penting, terutama dalam konteks ketahanan ekonomi, inklusi keuangan, dan perlindungan privasi. Alih-alih memaksakan masyarakat untuk sepenuhnya beralih ke sistem cashless, kebijakan yang lebih bijaksana adalah menciptakan ekosistem di mana uang tunai dan digital bisa berjalan berdampingan.

Pengalaman buruk dengan sistem 100% cashless telah membuka mata kita tentang risiko yang mungkin timbul ketika terlalu bergantung pada teknologi dalam transaksi ekonomi. Dalam upaya menuju digitalisasi, penting bagi kita untuk tidak melupakan peran uang tunai sebagai penyeimbang yang masih sangat relevan. Dalam menghadapi masa depan, mari kita membangun sistem ekonomi yang inklusif, tangguh, dan fleksibel, di mana setiap orang dapat berpartisipasi dengan cara yang paling sesuai bagi mereka.

Lebih Baik 50% Cashless dan 50% Cash? Menjaga Keseimbangan di Era Digital

Kemajuan teknologi digital telah mengubah berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk cara kita bertransaksi. Dengan kemunculan dompet digital, pembayaran QR code, hingga platform e-commerce, penggunaan uang tunai kini mulai tergantikan oleh transaksi non-tunai atau cashless. Indonesia bahkan mulai bergerak menuju era yang sepenuhnya cashless, seiring dengan dorongan pemerintah untuk mempercepat inklusi keuangan dan efisiensi ekonomi.

Namun, di tengah arus digitalisasi yang semakin kuat, muncul pertanyaan penting: apakah kita benar-benar siap untuk beralih sepenuhnya ke masyarakat tanpa uang tunai? Atau mungkin ada hikmah dalam menjaga keseimbangan antara transaksi digital dan tunai? Dalam pandangan saya sebagai seorang ekonom, jawaban yang lebih bijaksana adalah menerapkan pendekatan seimbang: 50% cashless dan 50% cash. Kombinasi ini tidak hanya akan menciptakan ekosistem pembayaran yang lebih inklusif, tetapi juga lebih tangguh dalam menghadapi berbagai tantangan di masa depan.

Kemudahan Cashless: Efisiensi yang Tak Terbantahkan

Tidak bisa dipungkiri, sistem cashless menawarkan berbagai keuntungan yang signifikan. Dengan transaksi digital, proses pembayaran menjadi jauh lebih cepat dan mudah. Pengguna tidak perlu repot-repot membawa uang tunai dalam jumlah besar, apalagi menghadapi risiko kehilangan atau pencurian. Teknologi finansial juga memungkinkan transaksi lintas batas yang lebih efisien, yang pada gilirannya mempercepat pertumbuhan ekonomi digital.

Selain itu, transaksi non-tunai memberikan jejak digital yang lebih transparan, memudahkan pengawasan dan penegakan hukum. Dalam upaya memberantas korupsi dan kejahatan ekonomi, sistem cashless memberikan peluang untuk meningkatkan akuntabilitas keuangan. Pelaku ekonomi informal, yang sebelumnya sulit dijangkau oleh lembaga keuangan, juga dapat dengan mudah masuk ke dalam ekosistem formal melalui dompet digital dan e-wallet, mempercepat inklusi keuangan.

Namun, di balik semua keunggulan tersebut, sistem cashless juga membawa beberapa tantangan yang tidak bisa diabaikan. Masyarakat yang sepenuhnya mengandalkan transaksi digital akan lebih rentan terhadap gangguan teknologi, ketidakmerataan akses internet, dan masalah privasi data. Di sinilah peran uang tunai masih sangat penting.

Uang Tunai sebagai Jaring Pengaman

Meskipun tren cashless terus meningkat, uang tunai tetap memainkan peran vital dalam perekonomian. Ada beberapa alasan mengapa uang tunai sebaiknya tidak sepenuhnya dihilangkan. Pertama, uang tunai menjadi alat transaksi yang universal dan inklusif. Di wilayah-wilayah yang belum terjangkau oleh infrastruktur digital yang memadai, uang tunai masih menjadi pilihan utama untuk bertransaksi. Terutama di pedesaan dan daerah terpencil, infrastruktur digital yang belum merata membuat akses terhadap pembayaran digital menjadi sulit.

Kedua, uang tunai menawarkan fleksibilitas dan ketahanan yang tidak dimiliki oleh transaksi digital. Ketika terjadi gangguan jaringan atau masalah teknis pada sistem pembayaran digital, uang tunai menjadi penyelamat. Bayangkan jika kita berada di situasi darurat, di mana kita tidak bisa mengakses rekening bank atau saldo e-wallet karena gangguan teknis atau pemadaman listrik. Uang tunai dapat berfungsi sebagai cadangan yang dapat diandalkan dalam situasi seperti ini.

Di samping itu, uang tunai memberikan rasa privasi yang lebih tinggi. Transaksi dengan uang tunai tidak meninggalkan jejak digital, sehingga lebih sulit untuk dilacak oleh pihak ketiga. Dalam dunia yang semakin digital dan terkoneksi, privasi menjadi isu yang semakin penting, terutama ketika data konsumen sering kali disalahgunakan untuk tujuan komersial atau bahkan untuk tindak kejahatan.

Kombinasi Ideal: 50% Cashless, 50% Cash

Melihat keunggulan dan kelemahan dari kedua metode pembayaran ini, kita sebaiknya tidak mengambil langkah ekstrem dengan memilih salah satu secara mutlak. Pendekatan yang lebih bijak adalah menciptakan keseimbangan antara penggunaan uang tunai dan non-tunai. Kombinasi 50% cashless dan 50% cash menawarkan fleksibilitas yang ideal dalam menghadapi berbagai kebutuhan transaksi yang berbeda-beda.

Dalam ekosistem ini, pembayaran digital bisa dimanfaatkan untuk transaksi yang membutuhkan kecepatan dan efisiensi, seperti pembayaran tagihan, belanja online, atau transfer antarbank. Di sisi lain, uang tunai tetap bisa digunakan untuk transaksi harian yang lebih kecil, atau sebagai cadangan ketika sistem digital tidak bisa diakses.

Dengan memadukan kedua sistem ini, kita juga dapat meminimalisir risiko yang muncul dari ketergantungan berlebihan pada satu sistem saja. Transaksi non-tunai membawa risiko keamanan data, sedangkan uang tunai memiliki risiko kehilangan fisik. Dengan memanfaatkan keduanya secara proporsional, kita bisa menciptakan sistem yang lebih tangguh, di mana kelemahan satu sistem bisa ditutupi oleh kekuatan sistem lainnya.

Inklusi Keuangan yang Lebih Merata

Salah satu keuntungan utama dari pendekatan 50% cashless dan 50% cash adalah inklusi keuangan yang lebih merata. Masyarakat yang tinggal di daerah terpencil, atau mereka yang belum familiar dengan teknologi digital, tetap bisa berpartisipasi dalam ekonomi tanpa perlu terhambat oleh ketidakmampuan mengakses layanan digital. Di sisi lain, masyarakat perkotaan yang sudah lebih terbiasa dengan teknologi bisa terus menikmati kemudahan yang ditawarkan oleh pembayaran cashless.

Pendekatan ini juga memberikan ruang bagi semua kelompok masyarakat untuk bertransisi secara bertahap menuju ekosistem digital, tanpa harus meninggalkan mereka yang masih bergantung pada uang tunai. Edukasi dan literasi keuangan digital tetap penting, tetapi hal ini perlu dilakukan secara bertahap dan disesuaikan dengan kemampuan akses masyarakat.

Kebijakan yang Fleksibel untuk Masa Depan

Dalam konteks kebijakan, pemerintah dan regulator keuangan juga perlu menerapkan pendekatan yang fleksibel untuk mendukung transisi ini. Regulasi yang mendorong adopsi teknologi pembayaran digital harus diimbangi dengan kebijakan yang tetap mendukung peran uang tunai dalam perekonomian. Ini bisa dilakukan dengan memastikan bahwa uang tunai tetap mudah diakses oleh semua kalangan, termasuk di daerah-daerah terpencil.

Di saat yang sama, upaya untuk meningkatkan literasi digital dan keuangan perlu terus dilakukan, agar masyarakat semakin siap untuk memanfaatkan teknologi pembayaran non-tunai secara optimal. Namun, dalam proses ini, kebijakan yang melindungi konsumen dari risiko keamanan data juga harus menjadi prioritas, mengingat semakin banyaknya transaksi yang dilakukan secara digital.

Keseimbangan adalah Kunci

Dalam dunia yang semakin terhubung secara digital, tidak ada keraguan bahwa pembayaran cashless akan terus berkembang pesat. Namun, penting untuk diingat bahwa digitalisasi bukanlah solusi satu-satunya. Uang tunai masih memiliki peran penting sebagai jaring pengaman dalam perekonomian, terutama di tengah ketidakpastian yang bisa muncul dari gangguan teknologi atau akses yang tidak merata.

Pendekatan yang lebih bijak adalah menjaga keseimbangan antara cashless dan cash. Kombinasi 50% cashless dan 50% cash memberikan fleksibilitas yang lebih besar bagi konsumen, memastikan inklusi keuangan yang lebih luas, serta meminimalisir risiko dari ketergantungan pada satu sistem saja. Dengan demikian, kita bisa menciptakan sistem ekonomi yang lebih tangguh, inklusif, dan berkelanjutan di era digital ini.

Jadi, alih-alih berlari menuju 100% cashless, mungkin saatnya kita mempertimbangkan jalan tengah: 50% cashless dan 50% cash---sebuah keseimbangan yang menjaga fleksibilitas dan ketahanan ekonomi bagi semua pihak. Bagaimana menurut sidang pembaca?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun