Mohon tunggu...
Syaifud Adidharta 2
Syaifud Adidharta 2 Mohon Tunggu... Kompasianer -

Hidup Ini Hanya Satu Kali. Bisakah Kita Hidup Berbuat Indah Untuk Semua ?

Selanjutnya

Tutup

Money

Etnis China Tionghoa Masih Nomor Satu Kuasai Bisnis dan Ekonomi Indonesia

4 Oktober 2013   13:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:00 12708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mulai tahun 2007 Pemerintah RRC telah berupaya memutuskan untuk menagdopsi UU Hak Properti yang menjamin hak kepemilikan properti individu maupun swasta, serta UU Pajak Perusahaan. Keputusan ntersebut merupakan suatu langkah maju di dalam sistem ekonomi sosialis yang di anutnya selama ini.

Faktor kultur etnik lebih-lebih di aplikasikan dalam rangka pembangunan dan perluasan jaringan bisnis serta pendukung usaha. Jaringan tersebut pada dasarnya bersifat kekeluargaan. Memang ini semacamkeunggulan pengusaha etnis Tionghoa yang tidak mudah di tiru oleh etnis lain. Walaupun demikian sikap kompetitif di antara mereka tetap terpelihara secara sehat. Hal ini semakin mempewrkuat kinerja bisnis di kalangan mereka bahkan saat terjadi krisisataupun munculnya tantangan besar, mereka akan saling bekerja sama. Oleh sebab itu bisnis keluarga sebagai penopang jaringan bisnis yang mereka bentuk dalam konteks ini sangatlah penting.

Saat masa kolonial penjajahan di Indonesia, berbagai peluang dalam jajaran birokrasi, ketentaraan dan pendidikan umumnya tertutup bagi orang timur asing etnis Tionghoa. Di tenagh-tengah politik kolonial yang diskriminatif itu, bidang yang relatif terbuka bagi etnis Tionghoa adalah perdagangan. Pada awal sampai pertengahan abad ke-19, perdagangan eceran menjadi tumpuan utama bisnis etnis China Tionghoa. Dan Sumatera banyak dari kalangan etnis China Tionghoa yang menjadi tengkulak, pedagang ikan, penjaja keliling kecil-kecilan, atau pemilki penggilingan beras. Dari titik bawah ini mereka mulai membangun bisnisnya, di samping aktif pula memperluas jaringan bisnisnya sendiri. Perlahan-lahan mereka pun akhirnya sanggup bersaing dan menyisihkan para pedagang serta usahawan kecil pribumi, tetapi tidak usahawan-usahawan Belanda.

Sementara itu pada zaman Republik saat ini, peran ekonomi etnis China Tionghoa pada awal kemerdekaan RI sedikit demi sedikit memasuki usaha grosir dan ekspor impor yang waktu itu masih di dominasi Belanda. Kalangan etnis Tionghoa pada bidang jasa dan profesi secara kuantitatif meningkat.

Peran etnis China Tionghoa di bidang ekonomi semakin meluas pada zaman perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia dan Demokrasi Terpimpin. Keberhasilan usaha mereka dalam menagmbil alih perusahaan-perusahaan besar belanda yang di nasionalisasikan juga tidak kalah memiliki arti strategis bagi kelanjuatan dan pertumbuhan bisnis mereka di Indonesia.

Kemudian pada era Pemerintahan Ode Baru kepemimpinan Soeharto (Presiden RI Ke Dua), etnis China Tionghoa kelas menengah telah melakukan Huaman Capital besar-besaran di bidang pendidikan, terutama yang bersifat teknis dan manajerial. Politik rasial masih di jalankan secara terang-terangan di masa pemerintahan Orde Baru.

Pada saat yang sama sejak awal Orde Baru, Soeharto bersama rezimnya menggunakan etnis China Tionghoa sebagai kuda beban yang menarik kereta Orde Baru untuk mengejar tingkat kemakmuran sesuai dengan keyakinan pemerintah. Pusat Data Bisnis Indonesia antara tahun 1992-1996 mencatat 300 konglomerat yang mayoritas keturunan China Tionghoa menguasai penjualan Rp.227,2 triliun dengan aset Rp. 425 triliun.

Walau dengan catatan ekonomi yang spektakuler dari kalangan pebisnis etnis China Tionghoa pemerintah Orde Baru tetap melancarkan politik rasialnya dengan memasang rambu-rambu yang membuat pebisnis etnis China Tionghoa tidak dapat berbuat banyak. Kendali etnis China Tionghoa terhadap kegiatan perekonomian bagaimana pun akhirnya memicu kecemburuan dan kebencian dari kalangan pribumi Indonesia. Demonstrasi justru berakhir dengan penyerangan dan penghancuran rumah-rumah etnik China Tionghoa.

Gaya pembangunan ekonomi elitisme yang di pertontonkan Orde Baru ternyata memang rapuh. Di picu oleh krisis moneter yang berlarut-larut kalangan masyarakat lalu bergerak dengan sejuta amarah dan ketidakpuasan terahdap situasi dan kondisi kehidupan sosialnya. Akhirnya terjadilah kerusushan Mei 1998 sudah tentu sangat berpengaruh pada pelaku bisnis etnis China Tionghoa.

Diantara mereka banyak yang lari keluar negeri, dan sebagian ada yang melarikan modalnya juga. Usaha perniagaan etnis China Tionghoa di kota-kota besar secara umum vakum. Mereka baru berani bangkit setelah ada jaminan keamanan dari Presiden Habibie (Pengganti Presiden Soeharto setelah langser di lengserkan oleh mahasiswa).

Selanjutnya era Reformasi di Indonesia ditadain dengan komitmen bersama untuk membangun sistem demokrasi yang substantif, demokrasi yang melahirkan kesejahteraan. Reformasi dibayangkan akan menghasilkan perubahan dan kemajuan setahap demi setahap karena memang sangat berlainan artinya dengan revolusi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun