Mohon tunggu...
Syaifud Adidharta 2
Syaifud Adidharta 2 Mohon Tunggu... Kompasianer -

Hidup Ini Hanya Satu Kali. Bisakah Kita Hidup Berbuat Indah Untuk Semua ?

Selanjutnya

Tutup

Money

Etnis China Tionghoa Masih Nomor Satu Kuasai Bisnis dan Ekonomi Indonesia

4 Oktober 2013   13:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:00 12708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Roda perekonomian dan bisnes di Indonesia sampai saat ini masih 90 persen dikuasai oleh orang-orang maupun kelompok-kelompok keturunan dan pendatang (perantau) dari China Tionghoa. Hal ini bukanlah sesuatu berita aneh lagi di Indonesia. Memang kenyataannya demikian sejak zaman-zaman kerajaan di Nusantara ini sampai dengan sekarang. Itupun terbukti banyaknya orang-orang atau kelompok-kelompok keturunan dan perantau dari China Tionghoa menjadi konglomerat dan raja uang di Indonsia. Lalu bagaimana dengan orang-orang asli Indonesia sendiri, apakah juga ada yang dapat menjadi raja uang di negerinya sendiri ?. Atau artinya orang-orang pribumi Indonesia ada yang bisa menguasai roda perekonoian dan bisnes di negarinya ini ?.

Menurut sejarah ekonomi dan bisnis di dunia, ada pendapat bahwa Jalan Sutera yang terkenal dalam sejarah perniagaan dunia, di rintis mulai dari Xian, ibu kota provinsi Shaanxi China tengah sampai ke Rusia, Utara India, Afganistan, Persia dan berakhir di kota pelabuhan Tire di Libanon.

Ekspedisi dibidang perniagaan melalui jalan itu merupakan penanda hubungan pertama orang-orang Tiongkok dengan peradapan seluas dunia. Jalan itu kemudian menjadi jalur utama dan pusat perdagangan orang-orang Tiongkok. Dalam hal ini kaum perintis jalur perniagaan tersebut tidak dapat mengandalkan siapa-siapa kecuali orang-orang mereka sendiri. Sejak saat itulah orang-orang Tionghoa mulai di kenal sebagai kaum perantauan yang tangguh dan paling banyak di dunia. Orientasi mereka terutama pada perdagangan barang ataupun jasa.

Sementara itu orang-orang  keturunan dan perantau dari India yang Tinggal di Indonesia sesungguhnya dapat dilacak hingga periode non sejarah Indonesia (sebelum ditemukan bukti tertulis). Kini, orang India merupakan etnis imigran kedua terbanyak di Asia Tenggara setelah Cina. Dan pada awalnya, orang India yang berhubungan adalah kelas brahmana yang diundang oleh para elit lokal Indonesia. Mereka diundang karena para elit Indonesia menginginkan pengajaran ilmu-ilmu baru di bidang agama, teknologi, dan ketatanegaraan. Lewat pengaruh India, aneka bentuk kerajaan di nusantara berkembang. Raja lambat-laun dianggap penjelmaan para dewa. Mulailah kerajaan (pusat aktivitas raja) menjadi sentral wilayah-wilayah sekeliling. Dua bentuk kerajaan yang kental pengaruh India adalah Sriwijaya dan Majapahit. Pengaruh tersebut utamanya berlangsung di lingkup agama, bahasa, dan konsep-konsep ketatanegaraan (termasuk filsafat politik).

Hal ini kita bisa ketahui dari pengamatan dan penelitian yang dilakukan oleh Dr Anandi Mani ( A. Mani ) dari Associate Professor of Economics.

A. Mani sendiri  menganggap berdasarkan penelitiaannya bahwa orang-orang Asia Selatan, khususnya Tamil, telah bermigrasi ke Indonesia sekurangnya sejak pendudukan Belanda atas Indonesia, dan orang-orang keturunan mereka inilah yang kini banyak terdapat di Indonesia. Mani lalu mempresentasikan tabel perkembangan penduduk non pribumi seperti Cina, Eropa, Arab, dan Inggris-India di Indonesia 1815-1930.

Dan sementara itu China merupakan penduduk non Indonesia yang paling banyak. Pada tahun 1930 jumlahnya mencapai 1.233.000 orang. Sedangkan orang-orang India merupakan yang terkecil dalam masa periode 1920-1930 mereka hanya bertambah 11.000. Pertumbuhan ini merupakan yang terkecil ketimbang penduduk non Indonesia lainnya. Jika ditinjau dari persebaran domisili pulau, maka penduduk India di Indonesia dapat diklasifikasikan.

Menurut A. Mani selanjutnya, di tahun 1980-an, etnis India di Indonesia terutama terkonsentrasi di Sumatera Utara dan Jakarta. Di Sumatera Utara etnis India mayoritas berasal dari suku Tamil dan kelompok Sikh. Di Jakarta etnis India umumnya berkegiatan di lingkup bisnis dan berasal dari komunitas Sindh dan Sikh. Di Sumatera Utara, etnis India terkonsentarasi di Medan, Binjai, Sibolga, Tanjung Balai, Pematang Siantar, dan Tebing Tinggi. Pada perkembangannya hingga kini, terjadi migrasi etnis India dari Sumatera Utara dan India ke Jakarta. Ini diakibatkan Jakarta merupakan metropolis Indonesia, tempat kegiatan bisnis terpusat. Etnis India di Indonesia pun dapat dikategorikan menjadi tiga:

(1), keturunan India yang berasal dari periode kolonial. Mereka menganggap Indonesia tanah air mereka dan identitas keindiaannya relatif telah melemah.

(2), kelompok India yang berbisnis. Mereka datang ke Indonesia sebelum dan sesudah periode perang. Rata-rata mereka punya tingkat kehidupan yang cukup baik, percaya diri bahwa mereka adalah orang Indonesia, dan anak-anak mereka telah membentuk aspek-aspek identitas keindonesiaan.

(3), kelompok India yang masuk ke dalam kategori investor. Kedatangan mereka agak terlambat jika dibandingkan orang-orang Jepang dan Korea. Kepentingan utama mereka adalah pekerjaan (bisnis) sehingga berupaya mengadaptasi aturan-aturan dasar bermasyarakat yang dianut Indonesia. Mereka ini terdiri atas kaum profesional teknologi informasi, banker, operator dana bantuan, ahli asuransi, dan konsultan bisnis.

Dari kondisi diatas menggambarkan bahwa orang-orang perantau dari etnis India di Indonesia juga sangat dominan mengusai roda perekonomian dan bisnis di Indonesia yang masih terlihat kokoh sampai sekarang. Dan sementara itu, melejitnya perekonomian China sungguh mengagumkan banyak pihak. Siapa tidak kenal Haier, Huwaei, serta Levono ?.

Di daratan China tidak sedikit raksasa multinasional yang di paksa memperbaharui manajemen bisnisnya karena para pengusaha China daratan tersebut terang-terangan telah menantang para pendatang yang mencoba mengeruk keuntungan dari konsumen lokal yang besarnya luar biasa, baik di sektor migas, ritel, elektronik, hingga telekomunikasi.

Mayoritas perdagangan dan industri di wilayah Macan Asia, yakni Taiwan, Hongkong, dan Singapura pun di kuasai oleh para pengusaha keturunan Tionghoa perantauan. Perusahaan kecil dan menengahtelah mempekerjaan separuh tenaga kerja di banyak negara-negara asia, dan etnis China memilki 75 % dari perusahaan-perusahaan tersebut.

Menyimak semua fakta menarik ini banyak orang mulai bertanya-tanya, Apa rahasianya di balik kisah sukses para pelaku bisnis etnis Tionghoa tersebut?

Di dunia ini ada dua teori ekonomi raksasa yang sangat berpengaruh. Teori pertama kita sebut saja Ekonomi Liberal. Di dalam bukunya Adam Smith mengatakan bahwa, apabila manusia di biarkan mengejar keuntungannya sendiri-sendiri tanpa di campuri sedikitpun oleh pemerintah, masyarakat seluruhnya akan memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. Teori yang kedua kita sebut saja Ekonomi Sosialis. Di dalam teorinya Karl Marx mengusulkan agar negara melalui pemerintahnya ikut campur tangan dalam kegiatan ekonomi para warganya untuk menghindari penumpukan kekayaan di kalangan terbatas pemilik modal atau kaum borjuis ( kaum borjuis adalah sebuah kelas sosial dari orang-orang yang dicirikan oleh kepemilikan modal dan kelakuan yang terkait dengan kepemilikan tersebut. Mereka adalah bagian dari kelas menengah atau kelas pedagang, dan mendapatkan kekuatan ekonomi dan sosial dari pekerjaan, pendidikan, dan kekayaan.. Sistem ekonomi yang di anggap lebih adil dan tidak mengekang, jalan tengah atau modifikasi atas dua teori ekonomi besar itu antara lain di sebut Demokrasi Ekonomi).

Dan Adam Smith menulis manusia pada dasarnya adalah Homo Economicus yang selalu ingin memperoleh manfaat sebesar-besarnya dengan harga atau pengorbanan yang sekecil-kecilnya. Amerika adalah contoh utama yang mengadopsi teori pasar bebas ke dalam sistem ekonominya yang di tandainya dengan minimnya campur tangan pemerintah. Mereka selalu berusaha menekan harga produk sehingga selalu ada kemungkinan buruh yang bekerja di perusahaan, mereka di gaji dengan upah rendah walau di lengkapi dengan jaminan sosial. Sebagai dampak dari upah yang sangat rendah ini ekonomi secara keseluruhan meningkat karena barang yang di hasilkan menjadi sangat murah dan kompetitif. Ekspor meningkat sehingga devisa masuk.

Adam Smith sendiri menganjurkan persaingan bebas karena kapitalisme tidak akan berjalan tanpa persaingan bebas. Oleh karena itu setiap orang harus menanamkan pada diri mereka sendirimotif mencari keuntungan dan mengumpulkan kekayaan yang amat di butuhkan untuk kesuksesan usaha dan kemakmuran bangsa.

Orang dengan sendirinya akan terdorong untuk melakukan hal yang mulia apabila mereka dapat melihat suatu keuntungan pribadi di dalamnya. Maka Adam Smith menganjurkan biarlah orang yang bertindak sendiri. Pada saatnya, hati nurani mereka akan mengontrol segala tindakannya dan melakukan hal-hal yang baik. Sementara masyarakat akan mengikuti nasib hidupnya sendiri di atas materialisme, intelektualisme, dan individualisme.

Adam Smith menegaskan dalam orbit ekonomi global segala sumber daya harus di eksplorasi, segala potensi harus di gali dan di jual ke pasar global. Akan tetapi apa pun yang masiuk ke dalam orbit ekonomi global harus terlebih dahulu mengalami liberalisasi.

Kita tahu kemajuan ekonomi RRC hingga saat ini baru mulai setelah menangnya kelompok Deng Xiao-Ping atas Kelompok Empat.

Mulai tahun 2007 Pemerintah RRC telah berupaya memutuskan untuk menagdopsi UU Hak Properti yang menjamin hak kepemilikan properti individu maupun swasta, serta UU Pajak Perusahaan. Keputusan ntersebut merupakan suatu langkah maju di dalam sistem ekonomi sosialis yang di anutnya selama ini.

Faktor kultur etnik lebih-lebih di aplikasikan dalam rangka pembangunan dan perluasan jaringan bisnis serta pendukung usaha. Jaringan tersebut pada dasarnya bersifat kekeluargaan. Memang ini semacamkeunggulan pengusaha etnis Tionghoa yang tidak mudah di tiru oleh etnis lain. Walaupun demikian sikap kompetitif di antara mereka tetap terpelihara secara sehat. Hal ini semakin mempewrkuat kinerja bisnis di kalangan mereka bahkan saat terjadi krisisataupun munculnya tantangan besar, mereka akan saling bekerja sama. Oleh sebab itu bisnis keluarga sebagai penopang jaringan bisnis yang mereka bentuk dalam konteks ini sangatlah penting.

Saat masa kolonial penjajahan di Indonesia, berbagai peluang dalam jajaran birokrasi, ketentaraan dan pendidikan umumnya tertutup bagi orang timur asing etnis Tionghoa. Di tenagh-tengah politik kolonial yang diskriminatif itu, bidang yang relatif terbuka bagi etnis Tionghoa adalah perdagangan. Pada awal sampai pertengahan abad ke-19, perdagangan eceran menjadi tumpuan utama bisnis etnis China Tionghoa. Dan Sumatera banyak dari kalangan etnis China Tionghoa yang menjadi tengkulak, pedagang ikan, penjaja keliling kecil-kecilan, atau pemilki penggilingan beras. Dari titik bawah ini mereka mulai membangun bisnisnya, di samping aktif pula memperluas jaringan bisnisnya sendiri. Perlahan-lahan mereka pun akhirnya sanggup bersaing dan menyisihkan para pedagang serta usahawan kecil pribumi, tetapi tidak usahawan-usahawan Belanda.

Sementara itu pada zaman Republik saat ini, peran ekonomi etnis China Tionghoa pada awal kemerdekaan RI sedikit demi sedikit memasuki usaha grosir dan ekspor impor yang waktu itu masih di dominasi Belanda. Kalangan etnis Tionghoa pada bidang jasa dan profesi secara kuantitatif meningkat.

Peran etnis China Tionghoa di bidang ekonomi semakin meluas pada zaman perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia dan Demokrasi Terpimpin. Keberhasilan usaha mereka dalam menagmbil alih perusahaan-perusahaan besar belanda yang di nasionalisasikan juga tidak kalah memiliki arti strategis bagi kelanjuatan dan pertumbuhan bisnis mereka di Indonesia.

Kemudian pada era Pemerintahan Ode Baru kepemimpinan Soeharto (Presiden RI Ke Dua), etnis China Tionghoa kelas menengah telah melakukan Huaman Capital besar-besaran di bidang pendidikan, terutama yang bersifat teknis dan manajerial. Politik rasial masih di jalankan secara terang-terangan di masa pemerintahan Orde Baru.

Pada saat yang sama sejak awal Orde Baru, Soeharto bersama rezimnya menggunakan etnis China Tionghoa sebagai kuda beban yang menarik kereta Orde Baru untuk mengejar tingkat kemakmuran sesuai dengan keyakinan pemerintah. Pusat Data Bisnis Indonesia antara tahun 1992-1996 mencatat 300 konglomerat yang mayoritas keturunan China Tionghoa menguasai penjualan Rp.227,2 triliun dengan aset Rp. 425 triliun.

Walau dengan catatan ekonomi yang spektakuler dari kalangan pebisnis etnis China Tionghoa pemerintah Orde Baru tetap melancarkan politik rasialnya dengan memasang rambu-rambu yang membuat pebisnis etnis China Tionghoa tidak dapat berbuat banyak. Kendali etnis China Tionghoa terhadap kegiatan perekonomian bagaimana pun akhirnya memicu kecemburuan dan kebencian dari kalangan pribumi Indonesia. Demonstrasi justru berakhir dengan penyerangan dan penghancuran rumah-rumah etnik China Tionghoa.

Gaya pembangunan ekonomi elitisme yang di pertontonkan Orde Baru ternyata memang rapuh. Di picu oleh krisis moneter yang berlarut-larut kalangan masyarakat lalu bergerak dengan sejuta amarah dan ketidakpuasan terahdap situasi dan kondisi kehidupan sosialnya. Akhirnya terjadilah kerusushan Mei 1998 sudah tentu sangat berpengaruh pada pelaku bisnis etnis China Tionghoa.

Diantara mereka banyak yang lari keluar negeri, dan sebagian ada yang melarikan modalnya juga. Usaha perniagaan etnis China Tionghoa di kota-kota besar secara umum vakum. Mereka baru berani bangkit setelah ada jaminan keamanan dari Presiden Habibie (Pengganti Presiden Soeharto setelah langser di lengserkan oleh mahasiswa).

Selanjutnya era Reformasi di Indonesia ditadain dengan komitmen bersama untuk membangun sistem demokrasi yang substantif, demokrasi yang melahirkan kesejahteraan. Reformasi dibayangkan akan menghasilkan perubahan dan kemajuan setahap demi setahap karena memang sangat berlainan artinya dengan revolusi.

Di dunia bisnis, krisis ekonomni 1998 memang memicu ambruknya banyak konglomerat terutama keturunan etnis China Tionghoa karena menggunakan bank sendiri untuk mendanai proyek bisnis dengan rentabilitas rendah.

Sedangkan menurut catatan di Bursa Efek setelah krisis Moneter 1997-1998, kekuatan ekonomi konglomerat keturunan China Tionghoa rupanya tidak serta merta meredup. Hingga saat ini tampaknya penguasaan bisnis konglomnerat keturunan etnis China Tionghoa masih kuat.

Sesungguhnya yang paling terpukul langsung akibat krisis moneter Asia adalah perekonomian nasional yang begitu rapuhnya karena di gerogoti oleh bisnis para pejabat dan pengurus partainya. “Wait and see” adalah satu-satunya sikap yang di anggap lebih bijaksana untuk merespons kampanye pebaikan ekonomi di pemerintahan orde Reformasi yang silih berganti ini.

Pelaku ekonomi etnis China Tionghoa sesungguhnya masih menunggu langkah-langkah konkret pemerintah dalam memperbaiki situasi perekonomian dan usaha nasional. Namun demikian bisnis harus berjalan terus. Dalam situasi negara yang di warnai oleh berbagai bentuk kampanye anti KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) ini pelaku ekonomi etnis China Tionghoa tampaknya menjadi lebih terfokus dan bahkan cukup merasa aman memilih berbasis di sektor hilir denagn tingkat resiko yang kecil namun masih dapat menguntungkan.

****

Dilasir Oleh : Syaifud Adidharta (edisi : 2) - Artikel dikaji dan disari dari berbagai sumber terkait (dbs).

****

Ikuti Artikel lain Klik >> : Syaifud Adidharta (edisi : 1)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun