Mohon tunggu...
Syahtila Rajabi
Syahtila Rajabi Mohon Tunggu... Lainnya - Manusia Biasa.

Tak Akan Ada Rasa Cukup Dalam Menulis. Terus Berusaha Membuat Tulisan Yang Bagus Dan Enak Dibaca.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Maheswara: Dendam Ratu Siluman (Chap 6)

21 Desember 2023   12:00 Diperbarui: 21 Desember 2023   12:24 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dokumen Pribadi

Chapter 6: Misi Penyelamatan

"Sadarlah Nyai!!" Maheswara berteriak agar Dyah Asih sadar namun kebencian dan amarah sudah melahap Dyah Asih. "Aaaahhh!!" Maheswara membelokkan serangan Dyah Asih dan berhasil lepas dari tekanannya.

"Nyai sadarlah! Aku tidak mau melukai mu. Akh." Maheswara menahan serangan bertubi-tubi dari Dyah Asih.

Dyah Asih yang masih dikuasai kekuatan hitam terus mengamuk dan menyerang Maheswara. "Bunuh. Bunuh. Bunuh." gumam Dyah Asih. "Grraahh!" Dyah Asih mengerang kesakitan.

"Khh dia kuat sekali, jika aku terus bertahan mungkin saja aku yang akan mati disini. Hal itu tidak boleh terjadi. Hyaah!" Maheswara berlari ke arah Dyah Asih.

"Cukup sampai disitu Maheswara." sebuah suara yang lembut berbicara pada Maheswara.

"Ba-Baginda Raja Astrasoca? Eeh! Khh! Tolong sadarkan Nyai Dyah Asih." Maheswara masih berusaha menahan serangan Dyah Asih.

Raja Astrasoca melangkah semakin dekat dengan Dyah Asih, "Kembalilah Dyah Asih." Raja Astrasoca menepuk pundak Dyah Asih, membuat Dyah Asih seketika pingsan, "Bawa dia ke istana. Biar tabib kerajaan yang akan merawatnya. Hmm? Kenapa? Jangan bilang kamu terlalu banyak mengeluarkan tenaga sehingga tak kuat berjalan?" tanya Raja Astrasoca.

"Eh hehehe kurang lebih seperti itu Yang Mulia.." jawab Maheswara.

"Ki Wiryo." Raja Astrasoca memanggil keris Ki Wiryo yang sedari tadi bersembunyi di ikat pinggang Maheswara, "Eh eh eh apa itu? Ki Wiryo? Bukankah dia seekor unta?" tanya Maheswara bingung.

"Ki Wiryo adalah keris sakti yang dapat berubah wujud. Ki Wiryo ubahlah dirimu jadi seekor burung besar dan bawalah Maheswara." Keris Ki Wiryo terbang dari genggaman Raja Astrasoca dan berubah menjadi burung elang besar.

"Naiklah Maheswara. Cepat bawa Dyah Asih agar segera diobati." ujar Raja Astrasoca.

"Baik.. Yang Mulia sendiri bagaimana?" tanya Maheswara sebelum menaiki Ki Wiryo.

"Aku ada urusan sebentar." ucap Raja Astrasoca dengan senyum.

"Ah baiklah Yang Mulia. Terimakasih banyak atas pertolongan anda." Maheswara pun pergi membawa Dyah Asih kembali ke Istana dengan Ki Wiryo.

Raja Astrasoca mendatangi mayat Varthasur yang sudah tercerai-berai dan terbakar api hitam, "Sungguh kekuatan yang mengerikan." Raja Astrasoca menyatukan kedua tangannya, mendoakan jasad Varthasur.

Sementara itu Maheswara yang sudah sampai di Istana segera memanggil tabib untuk mengobati Dyah Asih, "Tolong! Aku butuh tabib!" teriak Maheswara yang langsung disambut oleh Sang Jaka yang menghampirinya.

"Paman Maheswara. Nyai Dyah Asih?! Apa yang sudah terjadi?" tanya Sang Jaka khawatir.

"Ceritanya panjang. Tolong panggilkan tabib Jaka." pinta Maheswara.

"Ah iya iya baiklah!" Sang Jaka berlari mencari tabib.

Maheswara melihat seorang pelayan kerajaan lalu menghampirinya, "Maafkan aku, apa aku boleh meminjam sebuah kamar? Temanku sedang kesakitan." tanya Maheswara.

Pelayan itu menjawab dengan gugup, "Eh tapi itu harus dengan izin Raja."

"Sebenarnya Raja Astrasoca yang memerintahkan aku membawanya kesini." balas Maheswara.

"Eeh kalau begitu kesini silahkan ayo." pelayan itu langsung mengantarkan Maheswara ke sebuah kamar.

***

Di sebuah kamar, Dyah Asih terbaring tak sadarkan diri, terlihat Maheswara duduk disampingnya dengan risau. "Sebelah sini Guru." suara Sang Jaka mengarahkan seseorang kedalam ruangan.

"Paman aku sudah membawakan tabib, dia adalah Mpu Sudarsana. Silahkan guru." Sang Jaka mempersilahkan Mpu Sudarsana.

"Baiklah." jawab Mpu Sudarsana.

Maheswara pun menggeser tubuhnya agar Mpu Sudarsana dapat dengan mudah memeriksa Dyah Asih. "Hei Jaka, Mpu Sudarsana itu Mpu Sudarsana yang itu kan?" tanya Maheswara.

"Iya Mpu Sudarsana yang itu." jawab Sang Jaka.

Mpu Sudarsana memeriksa Dyah Asih dengan telaten, sementara Maheswara tak bisa tenang terlihat wajahnya resah dan gelisah membuat Sang Jaka ikut khawatir kepada dirinya.

"Hmm hhh sudah..." Mpu Sudarsana menyelesaikan pemeriksaan nya lalu berdiri.

"Bagaimana keadaannya Guru? Nyai masih hidup kan?" tanya Maheswara.

"Tenanglah, dia masih hidup. Saat ini dia hanya tak sadarkan diri, seperti tertidur. Aku merasakan sebuah energi jahat yang menahan dirinya untuk sadar, untuk menyadarkan nya kita harus mengusir energi jahat itu." terang Mpu Sudarsana.

"Mengusir energi jahat? Bagaimana caranya Guru? Aku akan siap melakukan apa saja." tanya Maheswara.

"Untuk mengusir energi jahat itu aku membutuhkan seikat daun kelor, sayangnya aku tidak memilikinya karena kemunculan Varthasur yang membuat para pedagang tidak ada yang datang ke Tirtapura." jawab Mpu Sudarsana.

"Tanpa kemunculan Varthasur pun daun kelor itu sudah sulit didapatkan. Untuk mendapatkannnya kau harus pergi ke Hutan Tengkorak, hutan Tengkorak itu adalah hutan yang dipenuhi makhluk-makhluk berbahaya. Dan konon katanya disana ada seorang Penyihir yang memakan manusia. Tentu saja hal itu membuat daun kelor menjadi barang yang mahal." jelas Sang Jaka.

"Pengetahuan mu hebat juga ya." puji Maheswara.

"Kau boleh memuji ku lagi." Sang Jaka tersenyum bangga.

"Kalau tidak ada daun kelor itu akan cukup sulit untuk mengusirnya. Aku bisa mengusir nya tanpa daun kelor, tapi aku tidak bisa menjamin kalau energi itu takkan kembali. Daun kelor menambah persentase keberhasilan pengusiran ini." terang Mpu Sudarsana.

"Persentase keberhasilan? Orang ini yang benar saja." gumam Maheswara.

"Paman Maheswara, apa kau saat ini sedang memikirkan untuk pergi ke Hutan Tengkorak?" tanya Sang Jaka.

"Eh? Ah.. Kalau memang itu bisa menyembuhkan Nyai. Aku akan pergi." jawab Maheswara yakin.

"Hoo.. Aku suka semangat mu, anak muda, siapa namamu?" tanya Mpu Sudarsana.

"Perkenalkan Guru, nama ku Maheswara. Salam." jawab Maheswara.

"Maheswara... Kau, murid si Arya itu kan?" tanya Mpu Sudarsana sambil menunjuk Maheswara.

"Ah iya Guru bagaimana Guru tahu?" tanya Maheswara.

"Ternyata benar, Arya itu adalah saudara seperguruan ku. Aku titip salam untuk guru mu." jawab Mpu Sudarsana.

"Saudara seperguruan? Pantas tingkahnya tidak jauh beda." gumam Maheswara. "Baiklah Guru, aku akan pergi sekarang ke Hutan Tengkorak." Maheswara memberikan salam lalu berbalik pergi, namun belum sampai pintu dia berhenti.

"Hmm? Kenapa paman?" tanya Sang Jaka yang kebingungan.

Maheswara berbalik badan, "E... Aku tidak tahu jalan ke Hutan Tengkorak..." jawab Maheswara.

"Lah..." Sang Jaka dan Mpu Sudarsana menepuk jidat.

"Kalau begitu aku akan menemanimu pergi. Aku akan menyiapkan perbekalan." ujar Sang Jaka.

"Aku tidak mengizinkan mu pergi, Maheswara." sebuah suara yang tidak asing.

"Raja Astrasoca? Tapi kenapa?" tanya Maheswara.

Suara itu semakin dekat yang ternyata adalah Raja Astrasoca, " Aku tidak mengizinkan mu pergi hari ini, setidaknya beristirahat lah terlebih dahulu. Pergilah besok pagi." jawab Raja Astrasoca.

"Tapi..." balas Maheswara.

"Aku tidak menerima penolakan. Ini adalah perintah." ujar Raja Astrasoca dengan tegas.

"Baiklah." balas Maheswara lemas.

"Mpu Sudarsana, terima kasih sudah memenuhi panggilan ku."

"Sebuah kehormatan bagiku bisa berguna bagi yang mulia." jawab Mpu Sudarsana.

"Darsih, Sumi." Raja Astrasoca memanggil pelayan nya.

"Hadir yang mulia." jawab pelayannya.

"Siapkan kamar untuk Sang Jaka dan Maheswara. Berikan mereka kamar terbaik." perintah Raja Astrasoca.

"Baik yang mulia."

"Nah, mereka akan mengantarkan kalian ke kamar. Beristirahat lah. Aku akan berbincang sebentar dengan Mpu Sudarsana." ujar Raja Astrasoca.

"Baik yang mulia, ayo paman." jawab Sang Jaka sambil mengajak Maheswara yang terlihat lemas.

***

Hari ini sudah banyak hal yang terjadi hingga malam ini, Maheswara yang tak bisa tidur hanya melamun memandangi bintang bintang. Pikirannya tidak bisa lepas dari Dyah Asih, dia masih mencemaskan keadaannya.

"Sial aku tidak bisa tidur. Aku harus bagaimana.." Maheswara bangkit dari ranjangnya, berjalan mondar-mandir seperti orang linglung.

"Aku tidak bisa diam saja disini. Aku harus pergi." pikir Maheswara sambil terus mondar-mandir, "Tapi bagaimana caranya ya? Hmm?" ditengah kebingungan dia melihat jendela yang terbuka lebar, jendela itu seperti memanggil dirinya. "Iya juga ya, jendela disini sangat besar. Aku bisa keluar lewat sini. Maafkan aku Jaka aku harus meninggalkan mu, aku akan kembali secepatnya. Hop." Maheswara melompat keluar lewat jendela kamar nya yang berada di lantai empat.

"Hop." Maheswara mendarat dengan selamat. "Nah sekarang. Lari!!" Maheswara berlari meninggalkan istana untuk pergi ke Hutan Tengkorak.

"Berhenti disana." sebuah suara memberhentikan langkah Maheswara, sebuah suara yang tidak asing.

Maheswara membalikkan badannya untuk melihat siapa yang memintanya berhenti, "Raja Astrasoca? Kenapa yang mulia disini?" yang ternyata pemilik suara itu adalah Raja Astrasoca.

"Aku sudah memperkirakan ini semua. Pergi dari istana di malam hari seperti ini, mengira bahwa tidak ada yang menyadari kepergian mu."

"Tapi yang mulia, aku harus segera pergi mencari obat untuk Nyai. Aku-" Maheswara kehabisan kata-kata.

"Aku tahu itu. Kau tidak bisa meremehkan Hutan Tengkorak, walaupun kau adalah murid dari Ki Arya. Hutan Tengkorak tetaplah tempat yang berbahaya." terang Raja Astrasoca.

"Tapi aku harus tetap pergi. Demi Nyai." balas Maheswara.

"Aku sudah menebak jawaban mu. Kalau begitu hadapi aku dulu. Biar aku lihat seberapa kuat dirimu. Maheswara." Raja Astrasoca mengangkat tangannya, jarinya menunjuk langit malam.

"A-Apa itu?! Yang benar saja?!" Maheswara terkejut tatkala bulan yang tadinya berada di langit kini berada di ujung jari Raja Astrasoca.

"Jika kau kuat menahan bulan ini, aku akan memperbolehkan mu pergi ke Hutan Tengkorak malam ini. Jika tidak, kau harus menunggu sampai pagi." ujar Raja Astrasoca.

"Jika itu memang mau yang mulia. Maka aku akan membuktikannya!" Maheswara menguatkan kuda-kuda nya, mengerahkan seluruh kekuatannya sampai sampai membuat tanah yang dia pijak retak.

Sementara Raja Astrasoca membiarkan bulan di jari nya melayang dan ketika tepat diatas kepala Maheswara, bulan itu kembali ke ukuran aslinya dan perlahan mendarat di Maheswara, "Hwaahhh!!!" Maheswara menahannya dengan sekuat tenaga.

Maheswara bisa menahannya namun tanah yang dia pijak tidak dapat menahan nya sehingga semakin lama Maheswara semakin tenggelam kedalam tanah.

Raja Astrasoca hanya menonton apa yang sedang dilakukan Maheswara. "Dasar keras kepala."

***

Maheswara terbangun dari tidurnya, dia merasa sangat segar dan bugar. Dia membangunkan Sang Jaka untuk bersiap karena hari ini mereka akan pergi ke Hutan Tengkorak.

"Jaka! Ayo bangun dan bersiap!" teriak Maheswara membangunkan Sang Jaka.

"Ah iya.." Jaka baru bangun dari tidurnya.

Maheswara dan Jaka pun menyiapkan perbekalan nya dan pergi menghadap Raja Astrasoca untuk meminta izin berangkat ke Hutan Tengkorak.

Sesampainya di hadapan Raja Astrasoca, mereka bersimpuh dan meminta izin Raja. Raja Astrasoca pun memberi mereka izin dan memberkahi perjalanan mereka.

"Semoga Dewa melindungi kalian."

Maheswara dan Sang Jaka yang sudah mendapatkan izin pun pergi ke Hutan Tengkorak, diantar oleh Ki Wiryo menggunakan bentuk burung elang besar agar mereka cepat sampai.

"Kami berangkat." Maheswara melambaikan tangannya kepada Raja Astrasoca.

Maheswara dan Sang Jaka pun terbang menuju Hutan Tengkorak, entah apa yang sudah menunggu mereka disana. Yang pasti misi kali ini tidaklah mudah.

Bersambung...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun