Mohon tunggu...
Syahrul Chelsky
Syahrul Chelsky Mohon Tunggu... Lainnya - Roman Poetican

90's Sadthetic

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Cinta Gila

1 Agustus 2019   18:40 Diperbarui: 1 Agustus 2019   19:54 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya mengenal wanita ini sejak masih di sekolah menengah atas. Dia teman sekelas saya saat di kelas sebelas. Boleh dibilang wanita ini adalah cinta pertama saya. Dan saya juga berharap kelak dia akan menjadi yang terakhir. Saya sudah telanjur cinta dia. Sangat. Meski kadang-kadang dia agak lain dari kebanyakan orang. Kadang-kadang dia jadi sangat posesif. Dan kadang-kadang pula dia bisa marah hanya karena hal-hal yang sepele.

Misalnya saja, pernah suatu kali wanita ini memarahi saya sebab saya memotong kuku pada hari Sabtu. Dia bilang hal itu tidak baik. Karena memotong kuku di hari Sabtu akan membuat saya nanti  mati dan menjadi hantu, kata dia lagi. Sampai-sampai dia marah besar, sampai-sampai dia membuang pemotong kuku saya ke sungai. Dia bilang almarhumah ibunya yang mengatakan hal yang demikian itu kepadanya.

Atau apabila saya memakai parfum, dia pasti akan marah betul pada saya. Saya tidak tahu jelas apa penyebabnya. Tapi kata dia, orang-orang yang memakai parfum adalah termasuk orang yang tidak percaya diri. Dan dia sangat benci apabila saya tidak percaya diri.

Wanita ini, saya akui, tidak terlalu cantik. Wajahnya biasa saja. Agak bulat. Tidak putih juga. Hidungnya tidak mancung. Hanya saja perangai dia memang elok dan dia termasuk orang yang sangat disiplin.

Sudah lima tahun sejak kami lulus sekolah menengah atas itu, dan terhitung hampir tujuh tahun kami menjalin hubungan. Pasang-surut, pasti. Tapi saya dan dia berkomitmen untuk memperjuangkan cinta kami ini sampai ke pelaminan.

Selepasnya saya lulus sekolah, saya langsung mencari kerja dan mengumpulkan uang untuk meminang wanita ini. Sedang dia di rumah saja, dengan ayahya.

Meski nyaris tujuh tahun sudah, tapi belum sekali pun saya dipertemukan wanita ini dengan ayahnya yang katanya bekas dokter itu. Kata dia, ayahnya teramat pemarah. Kata dia lagi, ayahnya tidak suka apabila anaknya pacaran hanya untuk dipermainkan. 

Jawaban dia selalu begitu apabila saya menyinggung masalah orangtuanya, lebih tepatnya ayahnya. Sebab ibunya telah cukup lama tiada. Jadilah saya merasa ciut untuk menemui ayahnya tanpa bekal berupa jawaban kesiapan untuk menjadi suami anaknya.

Hari ini saya bermaksud mengajak wanita ini berjumpa di tempat kami biasa bertemu, di kursi panjang dekat taman kota, untuk membicarakan pertemuan dengan ayahnya tersebut. Saya berniat untuk bertemu dengan ayahnya. Untuk menyatakan keseriusan saya. Bahwa saya ingin mempersunting anaknya.

Saya berjanji akan datang pukul tiga sore tepat. Tapi sudah sepuluh menit berlalu, dia belum datang juga. Sependek yang saya tahu, biasanya dia tidak begini. Atau barangkali dia sedang ada kesibukan.

"Sudah menunggu lama?" Suara seseorang dari belakang punggung saya terdengar, sambil dia menutup mata saya dengan kedua tangannya. Agak keras sampai saya merasa sedikit kesakitan.

Saya tahu persis suara itu.

"Tidak juga," jawab saya.

"Saya terlambat karena harus menunggu ayah saya lengah. Ada apa?" tanya dia penasaran sambil perlahan duduk di sebelah saya.

"Saya sudah siap," jawab saya tegas.

"Kamu yakin?"

"Tentu." Saya menatap wajah dia pekat-pekat, "uang saya sudah terkumpul dan tekad saya sudah bulat."

"Oya," kata dia tersenyum, "kapan?"

"Bagaimana kalau malam ini?" kata saya memberi pilihan. Dia terdiam sebentar.

Akhirnya, setelah berbincang sedikit, saya dan wanita ini sepakat untuk menghadap ayahnya pada keesokan malamnya. Berhubung kata dia, ayahnya akan ada kesibukan malam ini.  Jadi dia menawarkan malam berikutnya. Saya pun mengiyakan.

***

Tibalah malam tersebut. Malam di mana saya akan bertemu ayah dari wanita ini untuk pertama kali. Jujur saja saya agak cemas dan takut.

Saya langsung memikirkan, mestilah ayah dari wanita ini tegas, dan orang tegas itu pada umumnya memiliki tampang yang ngeri. Tampang yang membuat saya ingin kabur saja. Saya membayangkan wajah dari ayahnya adalah memiliki kumis tebal, memiliki mata yang besar semacam hendak terlepas dari tempatnya, serta memiliki codet di pipinya yang berjerawat.

Tapi setelah saya pikir-pikir lagi, apabila dia seorang bekas dokter, tentu penampilannya tidak seperti yang ada di bayangan saya itu. Dia tegas, namun rapi. Mungkin begitu. Tapi entahlah. Saya harus membuang bayang-bayang ini untuk sementara waktu agar perasaan saya membaik. Agar saya lebih berani.

Saya akhirnya tiba di rumahnya. Sekitar satu jam jika di hitung dari jarak sekolah kami dulu. Rumahnya agak berjauhan dari rumah orang-orang. Terpisah sekiranya 50 meter dari tetangga sekitar.

Saya melihat wanita ini sedang duduk di kursi depan, dekat pot-pot yang berisi bunga yang saya tidak tahu jenis-jenisnya. Saya melihat dia seperti sedang ragu. Tatapan matanya kosong. Namun ekspresinya berubah saat dia melihat saya datang. Dia langsung tersenyum dan menyambut saya dengan hangat. Sedikit kalimat penyemangat sebelum dia bersegera mengajak saya masuk dan bertemu ayahnya.

Di ruang tamu, dalam rumah yang tidak terlalu luas itu, saya melihat ayahnya telah duduk menunggu saya. Dan rupanya tidak semengerikan yang saya pikir. Tampang dia tidak jauh beda dari rupa-rupa dokter yang ada di film; putih, bersih, bergigi rata dan berpakaian rapi.

Ayahnya mempersilakan saya duduk dengan isyarat tangan. Sementara wanita ini, saya perhatikan sedari masuk tadi, dia tidak berbicara. Hanya diam saja. Bahkan menunduk saja.

Tak lama setelah saya duduk, ayahnya langsung menanyai saya sewaktu saya masih celingak-celinguk.

"Siapa nama engkau, anak muda?"

Agaknya saya terkejut dan berdiam sesaat. Setelah saya menyebutkan nama, dia terus mencecar saya dengan  berbagai macam hal yang ingin dia ketahui tentang awal perkenalan saya dengan anaknya, hingga bagaimana saya bisa menjalin hubungan dengan dia. Serta tentunya lama hubungan kami yang kini nyaris menginjak angka tujuh.

Setelah bercakap berbagai hal yang mendasar itu, dia meminta anaknya yang sejak awal tadi duduk tertunduk di sebelah saya untuk pergi masuk ke kamarnya.

"Ini pembicaraan yang hanya boleh didengarkan laki-laki," kata dia.

Tanpa melawan atau berbicara sepatah kata pun, wanita ini langsung menuruti perintah ayahnya itu. Dia memandang saya sebentar. Namun tidak juga berbicara. Hanya matanya yang mengisyaratkan sesuatu yang tidak pernah sampai untuk diutarakan. Saya mengangguk dan tersenyum. Berpura-pura mengerti maksud tatapannya itu.

Ayahnya yang kiranya sepantaran orang empat puluhan ini menggandeng dia hingga benar-benar sampai ke dalam kamar. Setelah itu dia kunci. Setelah itu barulah dia kembali dan duduk di hadapan saya lagi.

"Seberapa serius anak muda ini mencintai puteri semata wayang saya?" suaranya memecah ketegangan di dalam batin saya.

"Sangat serius," terang saya. "Dia cinta pertama yang sekaligus ingin saya jadikan sebagai yang terakhir dalam hidup saya."

Dia tersenyum.

"Seberapa jauh anak muda mengenal puteri saya?"

Saya berdiam diri. Berpikir beberapa saat, tapi masih saja bingung akan menjawab apa.

"Selama hampir tujuh tahun, tentulah saya mengenal dia sudah sangat jauh. Saya kenal betul dengan dia. Dia orang yang berperilaku baik dan disiplin."

Dia tersenyum lagi.

"Saya percaya, anak muda, bahwa engkau adalah orang baik. Untuk itu..." dia memberi jeda sebentar, menengok ke arah kamar anak semata wayangnya yang adalah kekasih saya. "Untuk itu, saya akan terbuka padamu sebelum engkau benar-benar membulatkan tekad menikahi anak saya."

Saya menelan ludah. Terasa sekali ada hal yang sangat penting yang hendak disampaikan oleh orang ini. Saya mengangguk saja.

"Anak saya ini memiliki garis keturunan penyakit mental."

"Lantas?"

"Jadi, secara langsung atau pun tidak, anak saya ini adalah calon orang yang mengidap penyakit mental juga."

Dahi saya mengkerut. Masih kebingungan.

"Anak muda pernah dengar kalau penyakit mental, atau sebut saja penyakit gila ini, merupakan penyakit turunan?"

"Tidak," jawab saya singkat.

Saya hanya terperangah. Dada saya berdebar-debar sekali. Ada lebih dari setengah sekiranya batin saya ini tidak percaya.

"Saya, terus terang saja, tidak ingin menikahkan puteri saya dengan siapa pun juga. Karena yang saya tahu, sudah dari lima turunan sampai ke anak saya ini, mereka mengidap penyakit mental semua. Jadi, saya kira, hendaklah saya putuskan garis keturunan dia sampai di sini saja supaya ke depannya tidak ada lagi orang-orang yang menderita penyakit mental semacam ini. Cukuplah dia sendiri yang membusuk dalam kesepian. Cukuplah istri saya saja yang meninggal akibat penyakit ini. Saya tidak sanggup melihat keturunan saya menjadi orang-orang yang menderita akibat gangguan mental ini. Tapi, saya tidak pernah menduga kalau dia bisa memiliki seorang kekasih juga."

Saya tersenyum hampa. "Anda bercanda?" tanya saya memastikan. Mata saya tidak lepas sedikit pun dari orang ini.

"Terserah pada engkau, anak muda, apabila tidak percaya." Wajahnya datar tanpa ekspresi. Dan jadilah saya merasa kalau memang orang ini tidak bercanda. "Semua keputusan ada di tanganmu. Saya sangat menghargaimu karena engkau sudah mampu mencintai puteri saya sampai sejauh ini. Tapi perlu engkau tahu, anak muda, bahwasanya gejala penyakit ini sudah ada pada dia. Dan mungkin engkau tidak mampu menyadarinya."

"Maaf..." kata saya. Tapi tidak bisa meneruskan.

Setelahnya, saya memilih berpamitan dengan alasan untuk menenangkan pikiran. Sementara wanita ini tidak juga terlihat sesaat saya hendak pulang.

Semuanya berlangsung berat, saya masih sulit membuka hati untuk percaya. Selama lebih dari seminggu sejak malam itu, saya tidak lagi bertemu kekasih saya ini. Tidak juga saya berusaha untuk menghubungi apalagi menemuinya.

Kemudian sekitar tiga minggu berlalu, saya memperoleh kabar dari koran dan orang-orang sekitar, bahwasanya wanita ini sudah mati akibat dibunuh oleh ayahnya sendiri. Kata orang juga, sebab utamanya adalah penyakit mental dan depresi yang diderita ayahnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun