Tanpa melawan atau berbicara sepatah kata pun, wanita ini langsung menuruti perintah ayahnya itu. Dia memandang saya sebentar. Namun tidak juga berbicara. Hanya matanya yang mengisyaratkan sesuatu yang tidak pernah sampai untuk diutarakan. Saya mengangguk dan tersenyum. Berpura-pura mengerti maksud tatapannya itu.
Ayahnya yang kiranya sepantaran orang empat puluhan ini menggandeng dia hingga benar-benar sampai ke dalam kamar. Setelah itu dia kunci. Setelah itu barulah dia kembali dan duduk di hadapan saya lagi.
"Seberapa serius anak muda ini mencintai puteri semata wayang saya?" suaranya memecah ketegangan di dalam batin saya.
"Sangat serius," terang saya. "Dia cinta pertama yang sekaligus ingin saya jadikan sebagai yang terakhir dalam hidup saya."
Dia tersenyum.
"Seberapa jauh anak muda mengenal puteri saya?"
Saya berdiam diri. Berpikir beberapa saat, tapi masih saja bingung akan menjawab apa.
"Selama hampir tujuh tahun, tentulah saya mengenal dia sudah sangat jauh. Saya kenal betul dengan dia. Dia orang yang berperilaku baik dan disiplin."
Dia tersenyum lagi.
"Saya percaya, anak muda, bahwa engkau adalah orang baik. Untuk itu..." dia memberi jeda sebentar, menengok ke arah kamar anak semata wayangnya yang adalah kekasih saya. "Untuk itu, saya akan terbuka padamu sebelum engkau benar-benar membulatkan tekad menikahi anak saya."
Saya menelan ludah. Terasa sekali ada hal yang sangat penting yang hendak disampaikan oleh orang ini. Saya mengangguk saja.