"Kakek saya adalah salah seorang pejuang kemerdekaan," terang Camat ketika tidak ada seorang pun yang berani menjawab.
"Nama beliau mungkin memang tidak setenar pahlawan-pahlawan nasional. Juga tidak tercetak dalam buku-buku pelajaran sekolah kalian. Namun itu tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk melupakan jasanya, bukan?
“Tidak sepatutnya juga beliau dilupakan oleh orang-orang yang diperjuangkannya, meski hanya sebatas wilayah daerah. Apalagi hingga dilupakan negaranya sendiri yang seolah menutup mata usai timah panas yang dulu didapatnya di medan pertempuran, membuat kepalanya benar-benar tidak bisa diajak berpikir lagi." Mata Camat terlihat berkaca-kaca sewaktu mengenang cerita kakeknya.
"Bahkan sekali pun tidak ada orang yang percaya, atau mungkin bagi orang lain, beliau hanyalah orang gila biasa," kata Camat itu lagi, "untuk saya, kakek saya tetaplah seorang pejuang negara yang hingga hari ini, semangat kemerdekaannya masih mengalir dan mendidih di dalam darah saya."
Sementara para peserta upacara atau pun tokoh-tokoh penting yang ada di dalam upacara itu masih hening tanpa suara. Mereka semua hanya saling memandang pada diri masing-masing. Tanpa bicara sepatah kata.
Selesainya pidato itu, selepas pembacaan doa, dan sehabisnya upacara, seluruh orang yang berada di halaman itu bertepuk tangan untuk Pak Camat, dan tentunya untuk sang lelaki tua, yang adalah kakeknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H