Di pagi hari yang cerah itu, di halaman kantor camat, ada banyak orang berkumpul untuk melaksanakan upacara bendera tujuh belas Agustus. Terlihat sosok-sosok mereka, dari yang berdiri hingga yang duduk: Camat, Sekretaris Camat, guru-guru serta murid-murid SD sampai SMA, hingga para Kepala Desa, dan Ibu-ibu PKK.
Di sudut lain juga terdapat anggota koramil yang memantau kirab penaikan Sang Saka yang akan dilakukan oleh siswa SMA. Semuanya nampak sangat bersemangat.
Siswa-siswa yang bertugas sebagai paskibra dalam upacara penaikan bendera itu memang terlihat agak gugup. Sementara Camat yang baru beberapa bulan dipindahtugaskan ke tempat itu memerhatikan mereka satu demi satu dengan agak tersenyum. Meski begitu, masih ada cukup banyak peserta upacara yang malah berbicara satu sama lain.
Sesudahnya, pembaca acara upacara mulai berkomat-kamit sendiri —barangkali merapal doa-doa anti gugup atau lemah hati— sebelum mendekatkan bibirnya ke permukaan mikrofon. Namun belum sempat dia membuka acara, terlihat ada seorang lelaki tua di tengah jalanan yang lengang sedang berlarian sambil berteriak-teriak kencang. Tidak ada yang tahu dari mana lelaki tua itu datang.
Ia berlari terus sambil berteriak-teriak, "Merdeka! Merdeka!" beberapa kali.
Peserta upacara yang hadir di halaman kantor camat itu ada yang tertawa terbahak-bahak, tapi ada juga yang terlihat takut.
Bentuk kepala lelaki tua itu agak aneh. Seperti tidak rata, atau semacam memiliki lubang dan benjolan. Ia memakai baju berwarna abu-abu dengan model prajurit zaman penjajahan dulu, serta topi yang menyerupai peci, yang dimasukkannya ke dalam saku. Ia masih saja berlari. Berputar-putar beberapa lama di depan sebuah kios buah yang terletak di pertigaan, sekitar tujuh puluh meter dari halaman kantor camat itu.
Pemilik kios buah itu mengusirnya dengan menyiramkan air kepadanya. Sementara ia masih saja berlari sambil berteriak "Merdeka! Merdeka!".
Sebagian banyak peserta upacara nampak masih terdiam memandangi kelakuan absurd orang tua itu. Komandan upacara melirik ke arah pembaca acara, bermaksud mengingatkan dia bahwa jam upacara seharusnya sudah dimulai. Tetapi fokus mereka yang ada di halaman terbagi dengan lelaki tua yang berlari-larian itu.
Bahkan Camat juga terlihat memandangi orang tua yang rambutnya putih semua dan tersisa sedikit itu dari jauh. Sambil ia menggeleng-gelengkan kepalanya, tertawa kecil.
Tak lama kemudian, lelaki tua itu berlari ke arah halaman kantor camat. Ia semakin mendekat sampai-sampai membuat peserta upacara —yang khususnya adalah anak-anak sekolahan— berlari berhamburan karena terlihat juga lelaki tua itu tengah memegang sebuah pistol kokang sambil menodongkannya ke muka siapa-siapa saja yang dilihatnya.
"Merdeka! Merdeka!" masih teriak lelaki tua itu.
Peserta upacara yang lainnya juga kocar-kacir berusaha menyelamatkan diri mereka masing-masing. Komandan Upacara yang awalnya nampak tegas berjalan perlahan mundur ke belakang. Dua anggota koramil mendekati Camat, bermaksud memberikan perlindungan. Sementara beberapa polisi dan tentara ada juga yang nampak waspada.
Namun tetiba Camat yang sedari tadi berdiri di teras kantor camat itu turun menuju halaman, ke arah lelaki tua itu. Ia memberikan isyarat dengan gerakan tangan untuk meminta semuanya bersikap tenang. Ia berjalan gontai mendekati lelaki tua yang masih memegang pistol kokang itu.
Tak lama setelahnya, datang berlarian dua orang lelaki tegap dengan pakaian serba biru gelap. Menembus kerumunan di mana orang-orang yang tadi sempat berhamburan, kini kembali berkumpul. Mereka berlari menuju lelaki tua itu ketika Camat juga berada di sana. Mereka senyum hormat kepada Camat. Kedua orang itu, bersama-sama Camat memegangi dan membangunkan lelaki tua yang sempat terjatuh. Matanya masih terlihat kalap. Pistol kokang masih betah di tangannya. Tapi mereka bertiga sama sekali tidak kelihatan takut.
Camat nampak mengucapkan beberapa patah kata, kemudian disusul kedua orang itu pergi sambil menggandeng si lelaki tua. "Merdeka! Merdeka!" terdengar ia masih sempat berteriak saat dirinya digiring keluar dari halaman.
Setelah kejadian itu, situasi yang sempat mencekam kembali tenang. Tidak berselang lama, upacara pengibaran bendera tujuh belas Agustus itu dimulai dan berlangsung damai seperti biasa. Seperti kebanyakan upacara yang berlangsung normal.
Lalu ketika tiba Camat memberikan pidato, ia membukanya dengan biasa juga. Seperti kebanyakan pidato Camat lain, yang terlebih dahulu mengomentari persiapan upacara, serta suasana saat upacara berlangsung dan tentunya tentang semangat kemerdekaan yang harus tetap dijaga serta pertahankan. Namun di seperempat bagian akhir pidatonya, ia menyampaikan sesuatu yang agaknya membuat orang-orang yang berhadir di sana —yang semula-mulanya masih saling berbicara— jadi semakin tertuju pada apa yang disampaikan olehnya.
"Lelaki tua yang tadi adalah kakek saya," kata Camat.
"Saya atas nama pribadi dan keluarga ingin meminta maaf apabila dari kalian yang berhadir di tempat ini, ada yang merasa takut atau terganggu," kata dia lagi.
Kebanyakan dari peserta upacara di halaman itu menunjukkan ekspresi terkejut, meragu, atau tak percaya.
Kemudian Camat kembali meneruskan pidatonya seusai melihat sepintas ekspresi dari mereka.
"Hal terpenting yang perlu kalian tahu, pistol yang dibawa beliau tadi adalah pistol mainan," kata Camat sambil tersenyum. Keringat mulai nampak menyucur dari pori-pori dahinya. Matahari juga sudah semakin terik dan meninggi.
Peserta upacara yang terdiri dari banyak golongan orang itu jadi berdiam penuh. Masih agak terkaget dengan ucapan Camat barusan.
"Kakek saya memang selalu begitu apabila memasuki bulan Agustus. Apalagi kalau sudah tanggal tujuh belas. Beliau selalu merengek-rengek untuk di bawa ke tempat orang-orang melakukan upacara. Kalau tidak dituruti, beliau bisa menangis dan mengamuk," jelasnya lagi.
"Sudah bertahun-tahun saya mengajak beliau melihat prosesi upacara bendera di tempat-tempat saya dahulu ditugaskan. Tapi hanya dari balik kaca dalam mobil saja. Dan rupanya, hari ini, kebetulan sopir dan pengawal kakek saya agak lengah hingga beliau bisa kabur dan menjajah keberlagsungan upacara kita ini." Camat tersenyum.
Beberapa orang yang mendengar ucapan Camat tersebut juga ikut tersenyum bahkan ada pula yang ketawa.
"Adakah dari kalian yang mengenal atau tahi tentang kakek saya?" tanya camat kepada seluruh peserta upacara. Membuat sebagian besar dari mereka semakin berdiam. Semakin hening. Hanya saling memandang.
Ada beberapa anggota polisi atau pun tentara yang nampaknya tahu, namun mereka memilih tetap diam saja sambil menyimpan jawaban dalam senyuman yang menyimpulkan tanda tanya di mata orang-orang.
Kebanyakan dari peserta upacara menggeleng. Camat nampak masih menunjukkan senyum sambil menunjuk kepada seorang peserta wanita yang sedang membetulkan posisi jilbabnya. Wanita itu kelabakan.
“Saya?” Barangkali begitu yang ingin diperjelas oleh wanita itu. Namun ia tidak mampu bersuara hingga yang ada hanya isyarat jari telunjuknya yang dihadapkannya ke arah dirinya sendiri. Membuat Camat serta beberapa orang di sana tertawa.
“Ada yang mau angkat tangan? Ada yang bisa menjawab?” Camat memberikan tantangan.
Beberapa peserta upacara masih menggeleng. Beberapa yang lain ada yang tersenyum, tertawa, bahkan tersipu malu akibat didorong oleh teman atau rekan mereka untuk menjawab pertanyaan tersebut.
“Kamu saja.” Suara yang pelan dan samar sedikit terdengar di antara kerumunan orang banyak yang kelimpungan.
"Kakek saya adalah salah seorang pejuang kemerdekaan," terang Camat ketika tidak ada seorang pun yang berani menjawab.
"Nama beliau mungkin memang tidak setenar pahlawan-pahlawan nasional. Juga tidak tercetak dalam buku-buku pelajaran sekolah kalian. Namun itu tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk melupakan jasanya, bukan?
“Tidak sepatutnya juga beliau dilupakan oleh orang-orang yang diperjuangkannya, meski hanya sebatas wilayah daerah. Apalagi hingga dilupakan negaranya sendiri yang seolah menutup mata usai timah panas yang dulu didapatnya di medan pertempuran, membuat kepalanya benar-benar tidak bisa diajak berpikir lagi." Mata Camat terlihat berkaca-kaca sewaktu mengenang cerita kakeknya.
"Bahkan sekali pun tidak ada orang yang percaya, atau mungkin bagi orang lain, beliau hanyalah orang gila biasa," kata Camat itu lagi, "untuk saya, kakek saya tetaplah seorang pejuang negara yang hingga hari ini, semangat kemerdekaannya masih mengalir dan mendidih di dalam darah saya."
Sementara para peserta upacara atau pun tokoh-tokoh penting yang ada di dalam upacara itu masih hening tanpa suara. Mereka semua hanya saling memandang pada diri masing-masing. Tanpa bicara sepatah kata.
Selesainya pidato itu, selepas pembacaan doa, dan sehabisnya upacara, seluruh orang yang berada di halaman itu bertepuk tangan untuk Pak Camat, dan tentunya untuk sang lelaki tua, yang adalah kakeknya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI