Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sapuan Warna Harapan

22 Januari 2025   10:33 Diperbarui: 22 Januari 2025   10:33 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Meta AI 

Senja itu, Mira duduk di bangku taman rumah sakit. Amplop cokelat di tangannya terasa berat, seolah isinya lebih dari sekadar kertas. Angin sore menyapa lembut wajahnya yang tirus. Langit Manggar diwarnai semburat jingga, memberikan pemandangan yang menenangkan, tetapi tak cukup untuk meredakan debar jantungnya.  

Tiga jam telah berlalu sejak dokter menyerahkan amplop itu padanya. Tiga jam ia duduk di sini, memandangi amplop itu tanpa berani membukanya. Ia tahu, menunda tidak akan mengubah hasilnya. Namun, ada sesuatu yang membuat tangannya enggan bergerak.  

Suara langkah kaki mendekat, memecah keheningan. Pak Karyo, tukang kebun rumah sakit, muncul dengan sapu lidi di tangan, topi lusuh menutupi sebagian wajah tuanya. Ia menyandarkan sapunya pada bangku di sebelah Mira dan memandangnya dengan tatapan penuh pengertian.  

"Sudah tiga jam, Bu Mira," katanya, melirik amplop di tangan Mira. "Kenapa belum dibuka juga? Bukankah Ibu ingin tahu hasilnya?"  

Mira mengangkat wajah, lalu tersenyum kecil, samar. "Saya takut, Pak," katanya pelan. "Hasil ini bisa mengubah semuanya."  

Pak Karyo duduk di sampingnya, melepaskan topinya dan mengusap keringat di dahinya. "Ibu sudah berjuang begitu keras. Apa pun hasilnya, yang penting Ibu sudah mencoba yang terbaik. Bukankah begitu?"  

Mira terdiam, membiarkan kata-kata Pak Karyo menggema di pikirannya. Meski terdengar benar, hatinya belum siap menerima. Pandangannya tertuju ke taman kecil di depannya, tempat kehidupan berjalan dengan caranya sendiri.  

Seorang anak perempuan berlari-lari kecil, tawa riangnya pecah di udara saat ia mengejar balon yang hampir terlepas dari genggamannya. Tak jauh darinya, sepasang lansia duduk di bangku kayu, berbagi roti tawar dengan burung-burung pipit yang berkumpul di sekitar kaki mereka. Di sudut lain, seorang pria muda terlihat sibuk menata tripod kameranya, mencari sudut terbaik untuk mengabadikan langit senja yang berwarna jingga keemasan.  

Tak jauh dari sana, dua remaja bermain gitar, melantunkan lagu sederhana yang terdengar lirih namun penuh semangat. Suaranya bercampur dengan suara gemerisik dedaunan dan tawa anak-anak yang bermain ayunan di bawah pohon rindang.  

Pemandangan itu seolah melukis fragmen-fragmen kehidupan yang bergerak tanpa henti. Mira tersenyum samar, tetapi bayangan itu membawa kenangan lama yang tak mampu ia hindari. Ia kembali teringat Deni---anak laki-lakinya yang dulu sering bermain di taman seperti ini, mengejar layangan, atau sibuk menggambar sketsa langit senja di buku gambarnya. Kenangan itu indah, tetapi juga menghantui, meninggalkan rasa kehilangan yang tak pernah benar-benar memudar.  

"Dulu, Deni suka main di taman seperti itu," ucap Mira, lebih kepada dirinya sendiri.  

"Deni? Putra Ibu yang pelukis itu?" tanya Pak Karyo, menatapnya dengan penasaran.  

Mira mengangguk pelan. "Dia anak yang penuh semangat. Dia selalu bilang ingin jadi pelukis terkenal. Katanya, 'Mama nggak usah kerja keras lagi, Deni nanti yang akan bikin Mama bahagia.' Bahkan saat ada ulangan, dia tetap melukis."  

Ia berhenti berbicara, membiarkan kenangan itu mengalir. Ia bisa membayangkan Deni duduk di lantai kamar, memegang kuas dan palet warna, sementara dirinya berdiri di pintu, memintanya makan malam.  

"Setiap kali saya memarahinya karena lupa makan, dia hanya tertawa," Mira melanjutkan. "'Kalau Deni jadi pelukis terkenal, Mama pasti bangga, kan?' katanya waktu itu."  

Pak Karyo tersenyum kecil. "Lalu, apa yang terjadi, Bu? Kenapa saya tidak pernah dengar tentang lukisannya lagi?"  

Mira terdiam sejenak. Suaranya berat ketika akhirnya ia berkata, "Kami kehilangan Deni ketika dia berusia lima belas tahun."  

Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gemuruh emosinya. Suaranya bergetar saat ia mulai bercerita, seolah setiap kata yang keluar membawanya kembali ke malam yang telah mengubah segalanya.  

"Malam itu..." Mira menghentikan sejenak, menatap ke kejauhan seperti melihat bayangan masa lalu. "Deni baru selesai dari les melukis. Ia menelepon saya, bilang akan pulang sedikit terlambat karena ingin menyelesaikan sketsa untuk tugasnya. Saya bilang, 'Hati-hati di jalan, Nak.' Saya tidak pernah tahu itu akan menjadi terakhir kalinya saya mendengar suaranya tanpa rasa sakit."  

Ia menelan ludah, matanya mulai berkaca-kaca. "Deni berjalan kaki malam itu. Katanya, ia ingin menghemat uang untuk membeli cat minyak baru. Tapi saat ia menyeberang jalan dekat persimpangan... sebuah mobil melaju kencang dan menabraknya."  

Pak Karyo terdiam, menunggu Mira melanjutkan dengan sabar.  

"Ketika saya sampai di rumah sakit, Deni sudah di ruang ICU," lanjut Mira, suaranya semakin parau. "Tubuhnya penuh luka, wajahnya pucat, tapi matanya... matanya masih memandang saya dengan hangat. Bahkan dalam keadaan seperti itu, dia mencoba tersenyum. Seolah ingin meyakinkan saya kalau semuanya akan baik-baik saja."  

Ia menghela napas panjang, air mata mulai mengalir di pipinya. "Dengan suara lemah, dia berkata, 'Ma... maaf ya, Deni belum bisa bikin Mama bangga.' Lalu dia menutup matanya..." Mira menutup mulutnya, menahan isak yang hampir keluar. "Itu... itu kata-kata terakhirnya. Setelah itu, dia pergi. Anak saya, satu-satunya, pergi meninggalkan saya."  

Keheningan menyelimuti mereka. Pak Karyo tidak berkata apa-apa, hanya menunduk dengan wajah yang penuh simpati. Sementara itu, Mira membiarkan air matanya mengalir, membasuh kepedihan yang tak pernah benar-benar pergi.  

"Deni... dia begitu muda. Masih punya begitu banyak mimpi. Tapi takdir tidak memberi kami cukup waktu," katanya lirih, seperti berbicara kepada dirinya sendiri. "Dia hanya ingin saya bangga... dan saya bahkan tidak sempat memberitahunya bahwa saya sudah sangat bangga sejak awal."

Pak Karyo hanya mengangguk perlahan, memahami kesedihan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.  

"Saya menyimpan semua lukisannya," lanjut Mira. "Di rumah, di dinding kamar saya, semua tergantung rapi. Kadang saya berdiri di depan salah satunya, mencoba membayangkan seperti apa lukisan itu jika dia sempat menyelesaikannya. Tapi... itu hanya mimpi. Takdir tidak memberi kami cukup waktu."  

Angin sore menyelinap lembut, membawa suara gemerisik dedaunan yang terasa seperti bisikan takdir.  

"Setahun lalu..." Mira menelan ludah, suaranya nyaris pecah. "Dokter bilang saya terkena kanker payudara stadium lanjut." Kata-kata itu keluar lirih, namun seolah menggema dalam hening. Ia memejamkan mata, mencoba menahan gelombang emosi yang mendesak keluar. "Semua tabungan... semua yang seharusnya untuk masa depan Deni, habis untuk pengobatan saya."  

Ia menunduk, menatap amplop di tangannya dengan pandangan yang berkabut oleh air mata. "Dan sekarang..." suaranya bergetar. "Saya takut, Pak. Takut kalau semua ini sia-sia. Takut kalau perjuangan ini tak berarti apa-apa."  

Pak Karyo terdiam sejenak, menatap wanita di sampingnya yang terlihat begitu rapuh, namun penuh keberanian yang tertahan. Dengan nada lembut, ia berkata, "Hidup ini seperti melukis, Bu. Kadang, sapuan warna pertama terlihat kacau, seperti tidak ada harapan. Tapi setiap sapuan, sekecil apa pun, punya arti. Begitu juga perjuangan Ibu. Tidak ada yang sia-sia, meskipun hasil akhirnya mungkin tidak seperti yang kita harapkan."  

Mira mengangkat wajahnya perlahan, menatap Pak Karyo dengan mata yang kini penuh kilau air mata. Senyum kecil muncul di bibirnya, meski beban di hatinya belum sepenuhnya pergi.  

"Kalau begitu..." Ia menarik napas dalam-dalam, seolah mengumpulkan keberanian terakhirnya. "Tolong buka amplop ini untuk saya, Pak." Tangannya gemetar saat menyerahkan amplop itu. "Saya terlalu pengecut untuk melakukannya sendiri."  

Pak Karyo menerima amplop itu dengan hati-hati, seperti memegang sesuatu yang begitu berharga. Ia membukanya perlahan, menyelipkan jari-jari tuanya untuk menarik keluar selembar kertas. Wajahnya berubah serius saat membaca, lalu perlahan, sebuah senyum muncul di wajahnya yang keriput.  

"Ibu..." suaranya terdengar bergetar, seperti mengandung harapan yang lama ditunggu. "Pengobatannya berhasil. Kankernya sudah mengecil. Ini hasil yang baik."  

Mira membeku. Kata-kata itu terasa seperti air di tengah gurun, menghujam relung hatinya yang lama tandus. Air mata yang selama ini tertahan kini tumpah tanpa bisa dihentikan. Tapi untuk pertama kalinya, air mata itu membawa kelegaan. Ada rasa syukur yang meluap-luap, seperti cahaya yang perlahan menembus kegelapan jiwanya.  

"Terima kasih, Pak..." bisiknya dengan suara lirih, hampir seperti doa. Ia mendongak, menatap langit yang kini berubah keunguan. Dalam hatinya, ia berbicara dengan lembut, "Terima kasih, Nak. Mama tahu, kamu juga ikut mendoakan Mama dari sana."  

Pak Karyo hanya tersenyum kecil, tidak mengucapkan sepatah kata pun lagi. Ia tahu, ada momen yang terlalu sakral untuk diisi dengan suara manusia.  

Langit senja perlahan menelan sisa cahaya. Namun bagi Mira, hari itu adalah awal yang baru. Ia merasa seperti seorang pelukis yang menemukan kembali kuasnya, siap menorehkan warna-warna harapan di atas kanvas kehidupannya.

Dengan amplop hasil tes di tangannya, Mira berdiri dari bangku taman. Langkahnya terasa lebih ringan saat ia berjalan menuju pintu rumah sakit. Dalam pikirannya, ia membayangkan Deni tersenyum, mendukungnya dari kejauhan.  

Hari itu, Mira menyadari bahwa hidup, meskipun tidak sempurna, selalu memberikan alasan untuk terus melukis harapan. Dan ia akan terus berjuang, satu sapuan warna demi sapuan warna, melengkapi lukisan kehidupannya.  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun