"Ketika saya sampai di rumah sakit, Deni sudah di ruang ICU," lanjut Mira, suaranya semakin parau. "Tubuhnya penuh luka, wajahnya pucat, tapi matanya... matanya masih memandang saya dengan hangat. Bahkan dalam keadaan seperti itu, dia mencoba tersenyum. Seolah ingin meyakinkan saya kalau semuanya akan baik-baik saja."Â Â
Ia menghela napas panjang, air mata mulai mengalir di pipinya. "Dengan suara lemah, dia berkata, 'Ma... maaf ya, Deni belum bisa bikin Mama bangga.' Lalu dia menutup matanya..." Mira menutup mulutnya, menahan isak yang hampir keluar. "Itu... itu kata-kata terakhirnya. Setelah itu, dia pergi. Anak saya, satu-satunya, pergi meninggalkan saya."Â Â
Keheningan menyelimuti mereka. Pak Karyo tidak berkata apa-apa, hanya menunduk dengan wajah yang penuh simpati. Sementara itu, Mira membiarkan air matanya mengalir, membasuh kepedihan yang tak pernah benar-benar pergi. Â
"Deni... dia begitu muda. Masih punya begitu banyak mimpi. Tapi takdir tidak memberi kami cukup waktu," katanya lirih, seperti berbicara kepada dirinya sendiri. "Dia hanya ingin saya bangga... dan saya bahkan tidak sempat memberitahunya bahwa saya sudah sangat bangga sejak awal."
Pak Karyo hanya mengangguk perlahan, memahami kesedihan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Â
"Saya menyimpan semua lukisannya," lanjut Mira. "Di rumah, di dinding kamar saya, semua tergantung rapi. Kadang saya berdiri di depan salah satunya, mencoba membayangkan seperti apa lukisan itu jika dia sempat menyelesaikannya. Tapi... itu hanya mimpi. Takdir tidak memberi kami cukup waktu."Â Â
Angin sore menyelinap lembut, membawa suara gemerisik dedaunan yang terasa seperti bisikan takdir. Â
"Setahun lalu..." Mira menelan ludah, suaranya nyaris pecah. "Dokter bilang saya terkena kanker payudara stadium lanjut." Kata-kata itu keluar lirih, namun seolah menggema dalam hening. Ia memejamkan mata, mencoba menahan gelombang emosi yang mendesak keluar. "Semua tabungan... semua yang seharusnya untuk masa depan Deni, habis untuk pengobatan saya."Â Â
Ia menunduk, menatap amplop di tangannya dengan pandangan yang berkabut oleh air mata. "Dan sekarang..." suaranya bergetar. "Saya takut, Pak. Takut kalau semua ini sia-sia. Takut kalau perjuangan ini tak berarti apa-apa."Â Â
Pak Karyo terdiam sejenak, menatap wanita di sampingnya yang terlihat begitu rapuh, namun penuh keberanian yang tertahan. Dengan nada lembut, ia berkata, "Hidup ini seperti melukis, Bu. Kadang, sapuan warna pertama terlihat kacau, seperti tidak ada harapan. Tapi setiap sapuan, sekecil apa pun, punya arti. Begitu juga perjuangan Ibu. Tidak ada yang sia-sia, meskipun hasil akhirnya mungkin tidak seperti yang kita harapkan."Â Â
Mira mengangkat wajahnya perlahan, menatap Pak Karyo dengan mata yang kini penuh kilau air mata. Senyum kecil muncul di bibirnya, meski beban di hatinya belum sepenuhnya pergi. Â