Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mencari Makna di Tanah Kelahiran

20 Januari 2025   05:06 Diperbarui: 20 Januari 2025   05:06 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ayah dulu juga takut, Zal," katanya suatu malam. Kami duduk berdua di dermaga. "Tapi kamu tahu apa yang bikin Ayah bertahan? Karena Ayah tahu, kalau kita berhenti, kita nggak akan ke mana-mana. Laut itu nggak akan diam untuk kita. Dia terus bergerak."  

Kata-kata Ayah membuatku kembali yakin. Perlahan, aku mulai menguatkan sistem koperasi dengan dukungan beberapa nelayan senior.

Aku memperkenalkan pemasaran digital yang memungkinkan mereka menjual hasil tangkapan langsung ke pembeli di luar pulau. Awalnya, butuh kesabaran ekstra untuk mengajari para nelayan menggunakan smartphone. Ada seorang nelayan yang sudah berusia 50 tahun bahkan hampir menyerah ketika berkali-kali salah menekan tombol di layar sentuh.

"Aduh, Zal... tangan saya kan kasar begini. Layarnya nggak mau nurut," keluhnya sambil menggaruk kepala. Tapi setelah latihan intensif, dia mulai bisa memotret hasil tangkapannya dan mengunggahnya ke platform digital yang sudah kusiapkan.

Kami menghabiskan berjam-jam di balai desa, berlatih cara memotret ikan yang menarik - bagaimana mencari sudut yang tepat, memastikan cahaya cukup, dan menata ikan-ikan segar itu agar terlihat menggiurkan di foto. "Lihat, kalau difoto dari atas seperti ini, sirip merahnya kelihatan jelas. Pembeli suka ikan dengan warna cerah," jelasku pada sekelompok nelayan yang mengerumuni smartphone-ku.

Setiap prosesnya panjang dan sulit. Dari urusan packaging yang harus rapi dan higienis, sistem pengiriman yang harus tepat waktu, hingga komunikasi dengan pembeli yang kadang berbelit-belit. Pernah satu kali pengiriman terlambat karena cuaca buruk, dan kami harus menghadapi kemarahan pembeli dari Jakarta. Tapi justru dari kesalahan-kesalahan itu kami belajar dan memperbaiki sistem.

Setelah beberapa lama, hasilnya mulai terlihat. Pesanan mulai mengalir dari restoran-restoran di Surabaya dan Jakarta. Mata para nelayan berbinar ketika melihat harga jual yang bisa dua kali lipat dari harga tengkulak. Bahkan ada nelayan yang dulu paling pesimis dengan teknologi, kini justru yang paling bersemangat mengecek notifikasi pesanan di smartphone-nya.

Orang yang dulu mencemoohku, kini menjadi pendukung utama koperasi. "Ternyata gelarmu ada gunanya juga," candanya suatu hari sambil menepuk pundakku. "Tapi bukan gelarnya yang penting. Kemauanmu belajar yang bikin beda."  

Malam itu, aku kembali duduk di beranda rumah kayu warisan kakek, memandangi dindingnya yang catnya masih mengelupas. Tapi malam ini, ada rasa bangga yang pelan-pelan mengisi celah-celah keraguan yang dulu selalu menghantuiku.  

Dina duduk di sebelahku, wajahnya berbinar penuh semangat. "Kalau koperasi ini sukses, apa rencanamu selanjutnya, Kak?" tanyanya.  

Aku tersenyum, lalu memandang ke arah laut yang gelap. "Rencana selanjutnya? Membuktikan bahwa mimpi, sekecil apa pun, bisa mengubah dunia."  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun