Aku membaca dengan saksama, setiap angka dan grafik seperti petunjuk yang mengarahkanku ke satu hal: selama ini, mungkin aku salah mencari arah. Apa yang kubutuhkan ternyata selalu ada di sekitarku. Â
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk mendekati para nelayan di dermaga. Tapi seperti yang kuduga, sambutan mereka jauh dari ramah. Beberapa hanya melirikku sekilas sebelum kembali sibuk dengan jaring mereka. Yang lain terang-terangan mencemoohku. Â
"Mau ngajarin kami soal laut?" salah satu dari mereka berkata sambil tertawa sinis. "Kamu bahkan nggak tahu cara bedain tongkol sama tenggiri!"Â Â
Cibiran mereka menusuk, tapi aku tidak menyerah. Setiap pagi aku kembali ke dermaga, mencatat hasil tangkapan mereka, mendengarkan cerita-cerita pahit tentang tengkulak yang mempermainkan harga, tentang mesin kapal yang sering rusak, dan cuaca buruk yang kadang menghancurkan segalanya. Perlahan, kehadiranku tidak lagi dianggap gangguan. Ayah, dengan pengaruhnya sebagai pelaut senior, membantuku mendapatkan kepercayaan mereka. Â
"Sistem perdagangan mereka terlalu tradisional," kataku pada Ayah suatu malam setelah mencatat semua keluhan itu. "Aku ingin buat koperasi dengan sistem yang lebih modern, tapi aku harus belajar dulu. Aku harus paham dari mana masalah ini sebenarnya dimulai."Â Â
Ayah menatapku lama, seperti menilai apakah aku benar-benar serius. "Kalau kamu mau belajar," katanya akhirnya, "ikut melaut. Rasakan dulu bagaimana sulitnya hidup mereka."Â Â
Aku mengikuti saran Ayah. Selama tiga bulan, aku melaut bersama para nelayan. Dari gelapnya subuh hingga teriknya siang, aku mendayung, menarik jaring, dan menghitung hasil tangkapan dengan tangan yang perlahan menjadi kasar. Kulitku yang dulunya bersih kini menghitam terbakar matahari. Tapi lebih dari itu, aku belajar memahami: bagaimana cara membaca angin dan ombak, menghitung risiko di tengah laut, dan betapa rapuhnya hidup mereka yang menggantungkan segalanya pada kemurahan hati alam. Â
Namun, perjuangan itu bukan tanpa rintangan. Ketika aku mulai memperkenalkan ide koperasi, resistensi muncul, baik dari nelayan maupun tengkulak. Â
"Kalau koperasi itu jalan, harga bakal anjlok. Kita nggak bakal beli dari kalian lagi!" ancam salah satu tengkulak di depan para nelayan. Suaranya berat, penuh tekanan, membuat beberapa nelayan langsung memalingkan wajah, takut. Â
Aku merasa dadaku mengencang, tapi Ayah menepuk bahuku sebelum aku bisa menjawab. "Zal, jangan terpancing," bisiknya pelan. Â
Namun, ancaman itu membuatku berpikir ulang. Malam-malam berikutnya, aku dihantui keraguan. Apakah semua ini layak diperjuangkan? Bagaimana jika perjuangan ini justru menghancurkan hidup mereka? Â