Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mencari Makna di Tanah Kelahiran

20 Januari 2025   05:06 Diperbarui: 20 Januari 2025   05:06 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku terdiam, tertohok oleh kebenaran yang keluar dari mulutnya. Dina mendengus kecil, lalu berbalik, meninggalkanku terperangkap dalam rasa bersalah. Dari sudut ruangan, aku melihat Ibu yang sedang menyapu lantai dapur.  

"Ayah pulang hari ini," kata Ibu lirih, suaranya hampir tenggelam oleh suara sapu yang menyapu debu. Tangannya gemetar saat ia menyandarkan sapu di dinding. Mata kami bertemu, dan ada sesuatu di dalam tatapan itu---sebuah keheningan yang terasa lebih keras daripada kata-kata.  

Sore itu, seperti ada magnet yang menarikku ke dermaga. Langit mulai merona jingga, dan deburan ombak kecil terdengar seperti bisikan rahasia. Dari kejauhan, aku melihat Ayah turun dari kapal tongkangnya. Seragam kerjanya yang bau solar tampak lusuh, seolah menyimpan lelah dari perjalanan panjang. Kerutan di wajahnya terlihat lebih dalam---peta waktu yang sulit diabaikan.  

"Yah," sapaku pelan saat dia mendekat.  

Dia hanya mengangguk singkat, tanpa senyum, lalu duduk di sebelahku di ujung dermaga. Kami memandang laut yang berkilauan oleh cahaya senja, seperti layar bioskop raksasa yang memutar cerita diam-diam.  

"Ayah dengar dari Ibu, kamu masih cari kerja," katanya, memecah keheningan. Suaranya tenang, seperti ombak yang baru menyentuh karang. "Kamu tahu, Zal, dulu Ayah jadi pelaut karena pikir itu cara terbaik untuk melihat dunia. Tapi bertahun-tahun di laut, yang Ayah lihat cuma langit yang sama, ombak yang sama." Ia berhenti, menarik napas dalam-dalam. "Kamu punya kesempatan lebih besar dari Ayah."  

Aku menoleh, terpaku oleh nada suaranya yang jarang kudengar---lembut, namun penuh makna.  

"Kamu kuliah ekonomi, kan?" lanjutnya, masih memandang laut. "Kalau mau kerja, lihat sekelilingmu. Jangan terlalu jauh memandang. Kadang peluang itu ada di depan mata."  

Kata-katanya terasa seperti ombak yang menghantam pikiranku. Aku hanya mengangguk, membiarkan keheningan kembali mengisi ruang di antara kami.  

Malam itu, kata-kata Ayah masih menggaung di kepalaku. Dina, yang akhirnya bersedia berbicara denganku lagi, menyerahkan buku tugasnya dengan senyum kecil.  

"Ini, Kak. Hasil laut Belitung," katanya, menunjuk data-data yang dia kumpulkan.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun