Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mencari Makna di Tanah Kelahiran

20 Januari 2025   05:06 Diperbarui: 20 Januari 2025   05:06 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bau amis ikan bercampur aroma karat menusuk hidungku, memaksa ingatanku kembali ke masa kecil di dermaga ini. Kapal-kapal kayu tua berderit pelan saat ombak menghantam lambungnya, seperti menyanyikan lagu lama yang tak pernah selesai. Langit pagi berwarna abu-abu, melukiskan suasana hatiku yang tak kalah kusam. Namaku Rizal, 25 tahun, seorang sarjana ekonomi yang baru saja pulang ke Belitung setelah empat tahun merantau di Yogyakarta. Dulu, aku berdiri di podium wisuda dengan bangga, tetapi kini gelar itu terasa seperti beban yang lebih berat daripada jaring penuh ikan yang diangkat para nelayan di hadapanku.  

"Masih betah bengong, Zal?" Suara berat Pak Rustam membuyarkan lamunanku. Nelayan tua itu menepuk bahuku dengan tangan kasarnya, yang seakan menyimpan cerita puluhan tahun melawan laut. Kulitnya legam, keriputnya dalam, dan tatapannya tajam namun penuh kehangatan.  

"Udah tiga bulan balik, kerjaan belum dapat juga?" tanyanya dengan nada setengah bercanda.  

Aku memaksakan senyum. "Belum, Pak. Rasanya gelar saya cuma jadi penghias dinding saja."  

Pak Rustam terkekeh kecil, suaranya serak seperti tiang kapal yang bergesekan dengan angin. "Dulu bapakmu juga keras kepala, Zal. Pengen jadi pelaut, padahal kakekmu maunya dia tetap di darat. Semua ada waktunya, nak. Jangan keburu patah semangat."  

Kata-katanya terasa seperti angin dingin yang menembus dadaku. Aku hanya bisa mengangguk, tak sanggup menjawab. Hubunganku dengan Ayah selalu terasa seperti dua kapal yang berlayar di jalur berbeda---sama-sama di laut, tapi tak pernah benar-benar bertemu. Sejak aku memilih kuliah ekonomi, hubungan kami lebih sering diisi keheningan yang membentang seperti lautan tanpa ujung.  

Pagi ini di rumah terasa seperti rutinitas biasa, tapi ada sesuatu di udara yang sulit kujelaskan. Aku duduk di beranda rumah kayu warisan kakek, mengamati cat putih di dinding yang mulai mengelupas. Setiap retakan dan tambalan di rumah ini seperti merefleksikan hidupku---penuh keraguan dan cerita yang tak selesai.  

"Kak Rizal!" Suara Dina memecah lamunanku. Adikku yang masih SMA itu muncul dengan langkah cepat, memeluk buku tebal di dadanya. Matanya berbinar, tapi nadanya tegas seperti hakim yang siap memberi vonis. "Sore nanti temani aku ke perpustakaan, ya? Aku ada tugas bikin proposal tentang ekonomi lokal."  

"Maaf, Din. Kakak ada---"  

"---janji ketemu teman buat kerjaan?" Dina memotong cepat. Ia memiringkan kepalanya, memberi tatapan penuh tuduhan yang membuatku seperti terdakwa tanpa pembela. "Kakak selalu bilang begitu, tapi aku tahu Kakak cuma nongkrong di dermaga, nunggu angin sore!"  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun