Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Warung Kopi Tiga Generasi

14 Januari 2025   00:01 Diperbarui: 14 Januari 2025   05:10 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Meta AI 

Aroma kopi robusta yang menguar dari warung tua itu membawa Verdi kembali ke masa kecilnya. Bangunan kayu sederhana dengan cat biru yang mulai memudar berdiri kokoh di sudut jalan Manggar, seperti saksi bisu perguliran waktu. Dinding-dindingnya yang ditempeli foto-foto lawas seolah berbisik, menceritakan kisah tiga generasi yang telah berlalu.

"Kau sudah pulang, Ver?" Suara serak Pak Tua membuyarkan lamunannya. Pelanggan setia itu duduk di kursi rotan kesayangannya, yang telah aus di bagian pinggirnya karena terlalu sering diduduki. Secangkir kopi hitam mengepul di hadapannya, memancarkan aroma khas sangrai tradisional.

"Sudah, Pak. Baru sampai tadi subuh," jawab Verdi, mendekati meja Pak Tua. Matanya menyapu sekeliling warung, mencoba mencari perubahan, tetapi semuanya tetap sama---bahkan hingga ke noda kopi yang membentuk pola samar di sudut dinding.

"Dulu bapakmu juga begitu," Pak Tua menyesap kopinya perlahan. "Pergi ke Jakarta untuk kuliah, tapi akhirnya memilih pulang. Sayangnya..." Pak Tua tidak melanjutkan kalimatnya. Mereka berdua tahu bagaimana kecelakaan laut lima belas tahun lalu telah merenggut nyawa kedua orang tua Verdi.

Kepergian kakeknya sebulan lalu membawa Verdi pulang ke Manggar. Surat wasiat sang kakek menjadi kejutan besar: warung kopi ini, dengan segala kenangan dan sejarahnya, kini menjadi miliknya. Namun yang lebih mengejutkan adalah sebaris kalimat di akhir surat: "Jangan biarkan warung ini mati, Ver. Di sini, kisah kita dimulai."

"Kakekmu selalu yakin kau akan kembali," kata Pak Tua, tatapannya menerawang. "Setiap pagi, dia akan duduk di kursi ini, memandang ke arah jalan, berharap melihatmu pulang. 'Si Verdi itu,' katanya, 'dia mungkin pergi jauh, tapi hatinya tetap di sini.'"

Verdi mengerjapkan mata, menahan air mata yang mulai menggenang. Kenangan tentang kakeknya kembali membanjiri pikirannya---pria tua yang sabar mengajarinya menyangrai biji kopi, yang bisa membedakan kualitas biji hanya dari aromanya, yang selalu punya cerita untuk setiap cangkir yang disajikan.

"Mak cik dulu bilang, kopi di sini bisa menyembuhkan patah hati," sebuah suara lembut mengejutkan Verdi. Ia berbalik dan mendapati Lestari berdiri di ambang pintu, masih secantik yang ia ingat lima tahun lalu.

"Les..." Nama itu terasa asing di lidahnya setelah sekian lama. "Kukira kau sudah---"

"Pindah ke Singapura? Ya, tapi aku memilih pulang," Lestari tersenyum tipis. "Sepertimu."

Malam itu, di dermaga tempat mereka dulu sering menghabiskan waktu, Verdi dan Lestari duduk dalam diam yang nyaman. Suara ombak memecah kesunyian, membawa aroma laut yang familiar.

"Maaf aku pergi begitu saja," Verdi akhirnya berkata.

Lestari menggeleng pelan. "Kita masih muda waktu itu. Punya mimpi masing-masing."

"Dan sekarang?"

"Sekarang kita lebih dewasa," Lestari menatap laut. "Tahu bahwa kadang, rumah adalah tempat terbaik untuk bermimpi."

Hari-hari berlalu. Verdi mulai memahami ritme mengelola warung, mencoba meniru ketelatenan sang kakek. Setiap pagi, ia bangun sebelum subuh untuk menyangrai biji kopi---ritual yang dulu sering ia saksikan. Buku catatan tua milik kakeknya menjadi panduan, berisi tidak hanya resep kopi, tetapi juga kebijaksanaan hidup yang terselip di antara halamannya.

"Kopi itu seperti hidup," tulisan kakeknya berbunyi. "Terlalu cepat diseduh, pahitnya akan menguasai. Terlalu lama ditunggu, hangatnya akan hilang. Harus tahu waktu yang tepat."

Namun, kedamaian itu terusik suatu pagi ketika seorang pria berjas datang dengan tawaran yang menggiurkan. Bukan pertama kalinya pengembang mencoba membeli tanah di Manggar, tetapi kali ini tawarannya berbeda.

"Warung ini berada di lokasi strategis," kata pria itu sambil menyodorkan dokumen. "Kami ingin membangun kompleks perumahan mewah dan pusat perbelanjaan modern. Dengan uang ini, kau bisa membuka cafe modern di Jakarta. Bukankah itu impianmu?"

Verdi terdiam. Lima tahun lalu, tawaran ini pasti akan langsung ia terima. Cafe modern di Jakarta adalah mimpinya sejak kuliah. Tapi sekarang...

"Beri saya waktu untuk berpikir," jawabnya diplomatis.

Malam itu, Verdi tidak bisa tidur. Ia membuka kembali buku catatan kakeknya, mencari jawaban. Di satu halaman yang sudah menguning, ia menemukan tulisan yang belum pernah ia baca:

"Dulu, waktu krisis melanda dan semua orang kesulitan, warung ini tidak pernah menolak orang yang tak bisa bayar. Segelas kopi dan sepiring pisang goreng bisa membuat orang melupakan kesulitan mereka sejenak. Warung ini bukan sekadar tempat minum kopi, Ver. Ini tempat orang menemukan harapan."

Keesokan harinya, saat fajar belum sepenuhnya merekah, Verdi sudah berada di warung. Ia mengambil biji kopi pilihan dan mulai menyangrai, seperti yang diajarkan kakeknya. Aroma kopi yang menguar membawa kenangan: tawa para nelayan yang baru pulang melaut, bisik-bisik ibu-ibu yang bertukar cerita, suara kakeknya yang bersenandung sambil meracik kopi.

"Sudah putuskan?" tanya Lestari yang datang membawa pisang goreng, resep turun-temurun dari ibunya.

"Sudah," Verdi tersenyum. "Warung ini akan tetap di sini. Tapi..."

"Tapi?"

"Tapi kita akan membuatnya lebih baik. Bukan dengan mengubahnya menjadi cafe modern, tapi dengan mempertahankan jiwanya sambil beradaptasi dengan zaman."

Dalam bulan-bulan berikutnya, warung itu perlahan berubah. Dindingnya tetap dari kayu, tapi kini lebih terawat. Kursi rotannya diperbaiki, tapi tetap mempertahankan karakternya yang aus. Verdi menambahkan beberapa varian kopi baru, tapi tetap mempertahankan resep tradisional kakeknya sebagai andalan.

Setiap Sabtu malam, warung itu menjadi tempat anak-anak muda berkumpul mendengarkan pantun dan cerita rakyat dari Pak Tua dan para tetua lainnya. Lestari memulai kelas memasak pisang goreng dan kue tradisional untuk anak-anak setempat. Di dinding, foto-foto lawas kini berdampingan dengan karya fotografi para pengunjung muda yang mengabadikan keindahan Manggar.

"Kau tahu apa yang paling kusukai dari warung ini?" tanya Lestari suatu sore, saat mereka duduk di dermaga seperti dulu.

"Apa?"

"Bahwa di sini, waktu seolah bergerak dengan irama yang berbeda. Tidak terlalu cepat seperti di kota, tidak juga terlalu lambat. Seperti kopi yang pas seduhnya."

Setahun berlalu. Warung Kopi Tiga Generasi ---nama yang kini tertulis dengan rapi di papan kayu depan---tetap berdiri kokoh di sudut jalan Manggar. Para pelanggan lama tetap setia, sementara pengunjung baru mulai berdatangan, tertarik oleh cerita tentang warung kopi yang menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini.

Suatu pagi, Verdi berdiri di depan warung, memandang foto kakeknya yang tergantung di dinding. Aroma kopi memenuhi ruangan, membawa kehangatan yang sama seperti dulu. Di sampingnya, Lestari---yang kini menjadi istrinya---tersenyum sambil menata pisang goreng yang masih hangat.

"Selamat pagi, Manggar," bisik Verdi sambil membuka pintu warung. "Mari kita mulai hari ini dengan secangkir kopi dan sejuta cerita."

Di kejauhan, matahari mulai naik, menyinari laut yang berkilauan. Manggar mulai terbangun, dan Warung Kopi Tiga Generasi  siap menyambut hari baru---seperti yang telah dilakukannya selama tiga generasi, dan akan terus dilakukannya untuk generasi-generasi mendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun