Aroma kopi robusta yang menguar dari warung tua itu membawa Verdi kembali ke masa kecilnya. Bangunan kayu sederhana dengan cat biru yang mulai memudar berdiri kokoh di sudut jalan Manggar, seperti saksi bisu perguliran waktu. Dinding-dindingnya yang ditempeli foto-foto lawas seolah berbisik, menceritakan kisah tiga generasi yang telah berlalu.
"Kau sudah pulang, Ver?" Suara serak Pak Tua membuyarkan lamunannya. Pelanggan setia itu duduk di kursi rotan kesayangannya, yang telah aus di bagian pinggirnya karena terlalu sering diduduki. Secangkir kopi hitam mengepul di hadapannya, memancarkan aroma khas sangrai tradisional.
"Sudah, Pak. Baru sampai tadi subuh," jawab Verdi, mendekati meja Pak Tua. Matanya menyapu sekeliling warung, mencoba mencari perubahan, tetapi semuanya tetap sama---bahkan hingga ke noda kopi yang membentuk pola samar di sudut dinding.
"Dulu bapakmu juga begitu," Pak Tua menyesap kopinya perlahan. "Pergi ke Jakarta untuk kuliah, tapi akhirnya memilih pulang. Sayangnya..." Pak Tua tidak melanjutkan kalimatnya. Mereka berdua tahu bagaimana kecelakaan laut lima belas tahun lalu telah merenggut nyawa kedua orang tua Verdi.
Kepergian kakeknya sebulan lalu membawa Verdi pulang ke Manggar. Surat wasiat sang kakek menjadi kejutan besar: warung kopi ini, dengan segala kenangan dan sejarahnya, kini menjadi miliknya. Namun yang lebih mengejutkan adalah sebaris kalimat di akhir surat: "Jangan biarkan warung ini mati, Ver. Di sini, kisah kita dimulai."
"Kakekmu selalu yakin kau akan kembali," kata Pak Tua, tatapannya menerawang. "Setiap pagi, dia akan duduk di kursi ini, memandang ke arah jalan, berharap melihatmu pulang. 'Si Verdi itu,' katanya, 'dia mungkin pergi jauh, tapi hatinya tetap di sini.'"
Verdi mengerjapkan mata, menahan air mata yang mulai menggenang. Kenangan tentang kakeknya kembali membanjiri pikirannya---pria tua yang sabar mengajarinya menyangrai biji kopi, yang bisa membedakan kualitas biji hanya dari aromanya, yang selalu punya cerita untuk setiap cangkir yang disajikan.
"Mak cik dulu bilang, kopi di sini bisa menyembuhkan patah hati," sebuah suara lembut mengejutkan Verdi. Ia berbalik dan mendapati Lestari berdiri di ambang pintu, masih secantik yang ia ingat lima tahun lalu.
"Les..." Nama itu terasa asing di lidahnya setelah sekian lama. "Kukira kau sudah---"
"Pindah ke Singapura? Ya, tapi aku memilih pulang," Lestari tersenyum tipis. "Sepertimu."