Malam itu, Verdi tidak bisa tidur. Ia membuka kembali buku catatan kakeknya, mencari jawaban. Di satu halaman yang sudah menguning, ia menemukan tulisan yang belum pernah ia baca:
"Dulu, waktu krisis melanda dan semua orang kesulitan, warung ini tidak pernah menolak orang yang tak bisa bayar. Segelas kopi dan sepiring pisang goreng bisa membuat orang melupakan kesulitan mereka sejenak. Warung ini bukan sekadar tempat minum kopi, Ver. Ini tempat orang menemukan harapan."
Keesokan harinya, saat fajar belum sepenuhnya merekah, Verdi sudah berada di warung. Ia mengambil biji kopi pilihan dan mulai menyangrai, seperti yang diajarkan kakeknya. Aroma kopi yang menguar membawa kenangan: tawa para nelayan yang baru pulang melaut, bisik-bisik ibu-ibu yang bertukar cerita, suara kakeknya yang bersenandung sambil meracik kopi.
"Sudah putuskan?" tanya Lestari yang datang membawa pisang goreng, resep turun-temurun dari ibunya.
"Sudah," Verdi tersenyum. "Warung ini akan tetap di sini. Tapi..."
"Tapi?"
"Tapi kita akan membuatnya lebih baik. Bukan dengan mengubahnya menjadi cafe modern, tapi dengan mempertahankan jiwanya sambil beradaptasi dengan zaman."
Dalam bulan-bulan berikutnya, warung itu perlahan berubah. Dindingnya tetap dari kayu, tapi kini lebih terawat. Kursi rotannya diperbaiki, tapi tetap mempertahankan karakternya yang aus. Verdi menambahkan beberapa varian kopi baru, tapi tetap mempertahankan resep tradisional kakeknya sebagai andalan.
Setiap Sabtu malam, warung itu menjadi tempat anak-anak muda berkumpul mendengarkan pantun dan cerita rakyat dari Pak Tua dan para tetua lainnya. Lestari memulai kelas memasak pisang goreng dan kue tradisional untuk anak-anak setempat. Di dinding, foto-foto lawas kini berdampingan dengan karya fotografi para pengunjung muda yang mengabadikan keindahan Manggar.
"Kau tahu apa yang paling kusukai dari warung ini?" tanya Lestari suatu sore, saat mereka duduk di dermaga seperti dulu.
"Apa?"