"Bahwa di sini, waktu seolah bergerak dengan irama yang berbeda. Tidak terlalu cepat seperti di kota, tidak juga terlalu lambat. Seperti kopi yang pas seduhnya."
Setahun berlalu. Warung Kopi Tiga Generasi ---nama yang kini tertulis dengan rapi di papan kayu depan---tetap berdiri kokoh di sudut jalan Manggar. Para pelanggan lama tetap setia, sementara pengunjung baru mulai berdatangan, tertarik oleh cerita tentang warung kopi yang menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini.
Suatu pagi, Verdi berdiri di depan warung, memandang foto kakeknya yang tergantung di dinding. Aroma kopi memenuhi ruangan, membawa kehangatan yang sama seperti dulu. Di sampingnya, Lestari---yang kini menjadi istrinya---tersenyum sambil menata pisang goreng yang masih hangat.
"Selamat pagi, Manggar," bisik Verdi sambil membuka pintu warung. "Mari kita mulai hari ini dengan secangkir kopi dan sejuta cerita."
Di kejauhan, matahari mulai naik, menyinari laut yang berkilauan. Manggar mulai terbangun, dan Warung Kopi Tiga Generasi siap menyambut hari baru---seperti yang telah dilakukannya selama tiga generasi, dan akan terus dilakukannya untuk generasi-generasi mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H