"Tapi kalau kita tidak mencoba, bagaimana kita tahu?" balas Rudi. "Saya tahu banyak hal tentang dunia usaha. Mungkin kita bisa bekerja sama."Â Â
A San merenung. Ia merasa tantangan itu besar, tetapi ada sesuatu dalam nada suara Rudi yang membangkitkan semangatnya. Â
Malam semakin larut. Pengunjung warung satu per satu pamit pulang. Tetapi A San, Rudi, dan Pak Haji tetap duduk, membahas rencana mereka untuk masa depan Manggar. Â
"San," kata Pak Haji sambil membereskan gelas-gelas kotor, "kadang, perubahan itu tidak bisa dihindari. Tapi kita bisa memilih bagaimana kita beradaptasi. Jangan hanya jadi penonton."Â Â
A San mengangguk. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada harapan. Mungkin Manggar tidak lagi sama seperti dulu, tetapi itu bukan berarti ia tidak bisa menjadi bagian dari masa depan kota ini. Â
Sebelum pulang, Rudi menggenggam bahu A San. "Saya akan bantu, San. Kita mulai dari hal kecil. Tapi kita harus percaya bahwa perubahan itu mungkin."Â Â
A San tersenyum. Malam itu, ia menyalakan motornya dengan hati yang penuh tekad. Ia tahu, perjalanan ini tidak akan mudah. Tetapi dengan dukungan teman-teman lamanya, ia merasa mampu melangkah. Â
Di kejauhan, lampu sorot masih setia menerangi, seperti mata yang mengawasi perubahan Manggar dari masa ke masa. Suara azan subuh mulai terdengar dari Masjid Jamik, menandai awal hari baru. A San melaju di jalanan sepi, membawa mimpi baru yang perlahan mulai mengambil bentuk. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H