Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kopi Dangdut

11 Januari 2025   00:01 Diperbarui: 10 Januari 2025   19:11 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pos Belitung

"Masih ingat cerita Pulau Punai, San?" tanya Pak Haji tiba-tiba, memecah keheningan.

A San tersentak dari lamunannya. Ia menoleh, senyumnya tersungging samar. "Yang katanya muncul dan menghilang itu?" Ia tertawa kecil, mengenang betapa cerita itu sering jadi bahan obrolan ringan dengan penumpang yang penasaran. "Sekarang turis lebih suka foto-foto di Pantai Serdang atau Nyiur Melambai. Pulau Punai mungkin hanya dongeng buat mereka."

Pak Haji tertawa pelan, meski tatapan matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam—kerinduan akan masa lalu yang tak bisa diulang. "Dulu, cerita Pulau Punai bukan sekadar dongeng. Para penambang sering bersumpah pernah melihatnya, seolah-olah pulau itu bagian dari misteri yang menjaga Manggar," ujarnya pelan, seperti berbicara kepada dirinya sendiri. "Tapi sekarang, siapa peduli? Semua sibuk dengan kamera, mencari pemandangan yang bisa dijual dalam gambar. Mereka lupa ada keindahan yang hanya bisa dirasakan, bukan dilihat."

A San terdiam. Kata-kata Pak Haji terasa seperti teguran yang lembut, mengingatkannya bahwa tak semua cerita masa lalu pantas dilupakan begitu saja. Bulan separuh di atas sana masih bersinar, seperti mata yang mengawasi, merekam perubahan Manggar dari waktu ke waktu.  

Tiba-tiba, pintu warung terbuka lebar, diiringi derit engsel yang hampir tenggelam oleh alunan dangdut dari radio tua. Seorang lelaki dengan pakaian kusut dan wajah yang tampak letih masuk, membawa ransel besar yang tampak berat. A San mengerutkan kening, mencoba mengenali sosok itu. Begitu pandangan mereka bertemu, matanya langsung membesar.  

"Rudi? Lama tak jumpa!" serunya, setengah tak percaya.  

Rudi tersenyum kecil, anggukan singkat menjadi sapaan pertama mereka setelah bertahun-tahun. Ia mendekati meja dan duduk, lalu memesan secangkir kopi dengan suara serak. "Ya, San. Baru balik dari Jakarta. Kota itu... sungguh melelahkan."  

Pak Haji yang sejak tadi memperhatikan dengan tenang langsung menyiapkan kopi untuk tamu yang tak disangka-sangka itu. "Kenapa pulang, Rud? Kau kan sudah sukses di sana," tanyanya sambil menyodorkan gelas kopi yang masih mengepul.  

Rudi hanya tertawa kecil, getir, seolah ada sesuatu yang ingin ia sembunyikan. "Sukses itu relatif, Pak Haji. Jakarta memang menawarkan banyak, tapi juga mengambil banyak. Kadang... saya rindu suasana seperti ini. Sesederhana warung kopi dan debur ombak."  

A San menatap Rudi dengan mata penuh tanya. Ingatannya kembali ke masa sekolah dulu. Rudi adalah murid paling pintar di kelas, selalu punya ambisi besar untuk meninggalkan Manggar dan "mencari kehidupan yang lebih baik" di ibu kota. Kini, di hadapannya, Rudi tampak seperti pria yang telah berperang dengan dirinya sendiri dan kalah dalam beberapa hal. Ada kerutan di wajahnya yang dulu mulus, dan sorot matanya yang dulu tajam kini tampak redup.  

"Kalau di sini, kau mau kerja apa?" tanya A San, sambil menyulut rokok dan meniupkan asap ke udara malam.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun