Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kopi Dangdut

11 Januari 2025   00:01 Diperbarui: 10 Januari 2025   19:11 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pos Belitung

Lampu-lampu warung kopi Pak Haji berkedip lemah, bersaing dengan cahaya lampu sorot di kejauhan pelabuhan Manggar. Di sudut warung yang menghadap ke Jalan Sudirman, sebuah radio tua mengalunkan lagu dangdut Rhoma Irama, suaranya berbaur dengan debur ombak Laut Cina Selatan yang tak pernah lelah menghantam bibir pantai.  

A San memarkir motor Honda GL Pro-nya yang mulai renta di depan warung, tepat di bawah papan "Warkop Pak Haji" yang catnya mengelupas dimakan waktu. Jaket jeans lusuhnya masih menyimpan jejak debu jalanan Manggar yang ia susuri seharian mengojek. Ia menyeruput kopi khas Manggar perlahan, rasa pahitnya menohok lidah, seperti meneguk sejarah masa kejayaan tambang timah yang kini tinggal kenangan.  

"Bagaimana hasil hari ini, San?" tanya Pak Haji sambil mengelap meja kayu dengan telaten. Lelaki tua itu masih setia mengenakan peci putih dan baju koko bersih, wajahnya menyimpan ketenangan seorang sesepuh yang telah menyaksikan berbagai perubahan Manggar.  

"Alhamdulillah lumayan, Pak Haji," jawab A San dengan senyum tipis. "Tapi makin sulit cari penumpang. Turis-turis sekarang lebih suka sewa mobil. Yang naik ojek paling cuma yang mau ke gang-gang sempit Pasar Manggar atau jalan setapak menuju pantai."  

"Zaman berubah, San," Pak Haji menghela napas panjang. "Dulu tambang timah jadi napas kota ini. Sekarang Manggar jadi kota wisata. Tapi apa semua orang kebagian rezeki?"  

A San mengaduk kopinya yang mulai mendingin, pandangannya menerawang ke luar warung. Pikiran tentang jalanan Manggar yang ia susuri setiap hari mengalir seperti alunan lagu dangdut dari radio tua di pojok ruangan. Sebagai tukang ojek yang sering merangkap pemandu wisata dadakan, ia tahu persis setiap sudut kota ini. Gang-gang sempit di Pasar Manggar, bekas kolong tambang yang sekarang berubah jadi danau dengan air berwarna biru kehijauan, hingga pantai-pantai tersembunyi yang seperti rahasia kecil kota ini, belum sempat disentuh oleh tangan-tangan developer yang haus keuntungan.

"Tadi ada bule dari Prancis," ujar A San, mencoba mengusir suasana murung yang menggantung di antara mereka. Ia meletakkan sendok kecilnya, senyum tipis tersungging di wajahnya. "Dia minta diantar ke danau bekas tambang. Katanya pemandangannya surreal, mirip lokasi syuting film Hollywood."

Pak Haji menghentikan gerakannya mengelap meja. Ia tertawa kecil, tetapi matanya menyiratkan kelelahan. "Orang kota memang pandai mencari keindahan di tempat yang tak terduga," katanya, lalu melipat kain lapnya dengan rapi. "Tapi apa mereka tahu? Di balik keindahan itu ada cerita pilu. Berapa banyak keluarga yang kehilangan mata pencarian saat tambang-tambang itu tutup? Berapa banyak anak-anak penambang yang terpaksa putus sekolah?"

A San terdiam, mencoba menelan kenyataan pahit yang baru saja diutarakan Pak Haji. Ia ingat bagaimana ayahnya dulu pulang dari tambang dengan wajah lelah tetapi penuh kebanggaan, membawa cerita tentang bongkahan timah yang mereka temukan. Sekarang, cerita itu hanya tinggal kenangan. Danau yang dikagumi turis itu dulunya adalah tempat ayahnya bekerja keras, tempat yang kini menyimpan sisa-sisa harapan yang tenggelam di dasarnya.

Di luar, bulan separuh menggantung rendah, cahayanya memantulkan kilau temaram pada atap-atap rumah panggung khas Belitung yang masih setia berdiri meski diapit oleh ruko-ruko modern. Angin malam membawa aroma laut dan sisa-sisa nostalgia dari masa yang tak lagi sama. A San memandang langit dengan pikiran yang melayang. Kata-kata almarhum ayahnya, seorang penambang timah yang keras tetapi penuh kasih, terngiang kembali dalam ingatannya. *"Manggar akan selalu berubah, San. Tapi jangan pernah lupakan tempatmu berdiri."* Kata-kata itu terasa seperti mantra, membimbingnya di tengah derasnya arus perubahan.

"Masih ingat cerita Pulau Punai, San?" tanya Pak Haji tiba-tiba, memecah keheningan.

A San tersentak dari lamunannya. Ia menoleh, senyumnya tersungging samar. "Yang katanya muncul dan menghilang itu?" Ia tertawa kecil, mengenang betapa cerita itu sering jadi bahan obrolan ringan dengan penumpang yang penasaran. "Sekarang turis lebih suka foto-foto di Pantai Serdang atau Nyiur Melambai. Pulau Punai mungkin hanya dongeng buat mereka."

Pak Haji tertawa pelan, meski tatapan matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam—kerinduan akan masa lalu yang tak bisa diulang. "Dulu, cerita Pulau Punai bukan sekadar dongeng. Para penambang sering bersumpah pernah melihatnya, seolah-olah pulau itu bagian dari misteri yang menjaga Manggar," ujarnya pelan, seperti berbicara kepada dirinya sendiri. "Tapi sekarang, siapa peduli? Semua sibuk dengan kamera, mencari pemandangan yang bisa dijual dalam gambar. Mereka lupa ada keindahan yang hanya bisa dirasakan, bukan dilihat."

A San terdiam. Kata-kata Pak Haji terasa seperti teguran yang lembut, mengingatkannya bahwa tak semua cerita masa lalu pantas dilupakan begitu saja. Bulan separuh di atas sana masih bersinar, seperti mata yang mengawasi, merekam perubahan Manggar dari waktu ke waktu.  

Tiba-tiba, pintu warung terbuka lebar, diiringi derit engsel yang hampir tenggelam oleh alunan dangdut dari radio tua. Seorang lelaki dengan pakaian kusut dan wajah yang tampak letih masuk, membawa ransel besar yang tampak berat. A San mengerutkan kening, mencoba mengenali sosok itu. Begitu pandangan mereka bertemu, matanya langsung membesar.  

"Rudi? Lama tak jumpa!" serunya, setengah tak percaya.  

Rudi tersenyum kecil, anggukan singkat menjadi sapaan pertama mereka setelah bertahun-tahun. Ia mendekati meja dan duduk, lalu memesan secangkir kopi dengan suara serak. "Ya, San. Baru balik dari Jakarta. Kota itu... sungguh melelahkan."  

Pak Haji yang sejak tadi memperhatikan dengan tenang langsung menyiapkan kopi untuk tamu yang tak disangka-sangka itu. "Kenapa pulang, Rud? Kau kan sudah sukses di sana," tanyanya sambil menyodorkan gelas kopi yang masih mengepul.  

Rudi hanya tertawa kecil, getir, seolah ada sesuatu yang ingin ia sembunyikan. "Sukses itu relatif, Pak Haji. Jakarta memang menawarkan banyak, tapi juga mengambil banyak. Kadang... saya rindu suasana seperti ini. Sesederhana warung kopi dan debur ombak."  

A San menatap Rudi dengan mata penuh tanya. Ingatannya kembali ke masa sekolah dulu. Rudi adalah murid paling pintar di kelas, selalu punya ambisi besar untuk meninggalkan Manggar dan "mencari kehidupan yang lebih baik" di ibu kota. Kini, di hadapannya, Rudi tampak seperti pria yang telah berperang dengan dirinya sendiri dan kalah dalam beberapa hal. Ada kerutan di wajahnya yang dulu mulus, dan sorot matanya yang dulu tajam kini tampak redup.  

"Kalau di sini, kau mau kerja apa?" tanya A San, sambil menyulut rokok dan meniupkan asap ke udara malam.  

Rudi menatap kopi di depannya, jari-jarinya mengetuk-ketuk gelas seolah sedang mencari kata-kata. "Saya belum tahu, San," jawabnya akhirnya, suaranya pelan tapi tegas. "Tapi saya ingin mulai sesuatu di sini. Membangun apa yang dulu saya tinggalkan. Mungkin... saya sudah terlalu lama mengabaikan tempat ini."  

Pak Haji duduk di kursi di depan mereka, wajahnya tenang namun penuh makna. "Kembali itu bukan perkara mudah, Rud. Tapi kalau kau punya niat, Manggar ini masih punya banyak peluang. Selalu ada cara untuk hidup di tanah sendiri."  

Rudi menatap Pak Haji, lalu A San, dengan senyum tipis yang perlahan muncul di wajah letihnya. "Mungkin itu yang saya cari. Sesuatu yang nyata. Bukan sekadar mengejar mimpi di atas aspal yang terus berlari."  

A San tersenyum, memadamkan rokoknya di asbak. "Kalau butuh bantuan, bilang saja. Manggar mungkin sudah berubah, tapi orang-orangnya masih tetap sama. Kita saling membantu."  

Malam itu, di warung kopi kecil di sudut Manggar, sebuah persahabatan lama kembali terjalin. Dan di antara dendang dangdut dari radio tua, aroma kopi, dan debur ombak, Rudi merasa untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia menemukan tempat untuk memulai kembali.

Perkataan Rudi membuat A San tertegun. Ia mulai membayangkan berbagai kemungkinan. Apakah ada cara untuk membangun Manggar tanpa meninggalkan jati dirinya?  

Radio tua di sudut warung kembali mengalunkan lagu dangdut. Kali ini, "Benci Tapi Rindu". Lagu itu membawa A San kembali ke masa remaja, ketika ia dan Rudi sering duduk di pantai, berbicara tentang mimpi-mimpi besar mereka.  

"Kalian masih ingat masa itu?" tanya Pak Haji sambil tersenyum. "Kalian dulu sering berdebat soal siapa yang akan sukses lebih dulu."  

A San dan Rudi tertawa kecil. Namun, di balik tawa itu, ada perasaan getir. Dunia telah berubah, begitu pula mereka.  

"Saya dengar ada program pemerintah untuk mengembangkan wisata lokal," kata Rudi tiba-tiba. "Kenapa kita tidak ikut terlibat? Manggar ini punya banyak potensi."  

A San mengerutkan kening. "Program seperti itu biasanya hanya menguntungkan mereka yang punya modal besar."  

"Tapi kalau kita tidak mencoba, bagaimana kita tahu?" balas Rudi. "Saya tahu banyak hal tentang dunia usaha. Mungkin kita bisa bekerja sama."  

A San merenung. Ia merasa tantangan itu besar, tetapi ada sesuatu dalam nada suara Rudi yang membangkitkan semangatnya.  

Malam semakin larut. Pengunjung warung satu per satu pamit pulang. Tetapi A San, Rudi, dan Pak Haji tetap duduk, membahas rencana mereka untuk masa depan Manggar.  

"San," kata Pak Haji sambil membereskan gelas-gelas kotor, "kadang, perubahan itu tidak bisa dihindari. Tapi kita bisa memilih bagaimana kita beradaptasi. Jangan hanya jadi penonton."  

A San mengangguk. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada harapan. Mungkin Manggar tidak lagi sama seperti dulu, tetapi itu bukan berarti ia tidak bisa menjadi bagian dari masa depan kota ini.  

Sebelum pulang, Rudi menggenggam bahu A San. "Saya akan bantu, San. Kita mulai dari hal kecil. Tapi kita harus percaya bahwa perubahan itu mungkin."  

A San tersenyum. Malam itu, ia menyalakan motornya dengan hati yang penuh tekad. Ia tahu, perjalanan ini tidak akan mudah. Tetapi dengan dukungan teman-teman lamanya, ia merasa mampu melangkah.  

Di kejauhan, lampu sorot masih setia menerangi, seperti mata yang mengawasi perubahan Manggar dari masa ke masa. Suara azan subuh mulai terdengar dari Masjid Jamik, menandai awal hari baru. A San melaju di jalanan sepi, membawa mimpi baru yang perlahan mulai mengambil bentuk.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun