Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pulau Cinta Terlarang

9 Januari 2025   00:01 Diperbarui: 8 Januari 2025   18:50 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Meta AI 

Belitung, 1920. Aroma gaharu dari kelenteng tua di sudut pecinan bercampur dengan lantunan azan Maghrib dari surau kampung nelayan. Di tengah pemandangan senja yang syahdu, Wu Liang berdiri di depan altar leluhur. Tangan tuanya gemetar saat membakar kertas sembahyang. “Para leluhur, ampunilah anakku. Ia telah melupakan jalan yang kalian ajarkan,” bisiknya dalam dialek Hakka.  

Di dermaga tua yang lapuk dimakan usia, Tian Wu memandang jauh ke laut. Di kejauhan, jung-jung dagang dengan layar berlambang naga bersandar anggun, membawa rempah dan sutra dari tanah leluhurnya. Namun hati Tian tidak diisi oleh kerinduan pada Tiongkok, melainkan oleh kenangan setahun lalu—ketika badai menyatukannya dengan seorang gadis yang mengubah segalanya.  

“A-Tian!” Sebuah suara lembut memecah lamunannya. Kong Su-mei, ibunya, berdiri di ujung dermaga. “Ayahmu mencarimu. Para tetua sudah berkumpul.”  

Tian mengangguk pelan. Dia tahu, pertemuan itu adalah sidang untuk menghakiminya—untuk membahas cintanya pada Ayu, putri Pak Mahmudin, juragan nelayan yang sering dipandang rendah oleh keluarga kaya di pecinan.  

***

Setahun sebelumnya.

Badai angin barat menggila di Selat Gelasa. Langit gelap seolah runtuh, angin menderu seperti raksasa mengamuk. Ombak setinggi rumah saling berlomba menghantam perahu-perahu kecil yang tak berdaya melawan amarah laut. Di tengah kekacauan itu, Tian Wu menggenggam erat kemudi sampan motornya, matanya tajam menembus hujan yang seperti tirai tebal. Suara mesin tua yang menderu-deru seakan melawan takdir, membawa Tian menerjang gelombang yang nyaris menelannya.  

“Tolong! Ya Allah, tolong!” Teriakan itu menghantam indera Tian seperti petir di telinga. Di kejauhan, bayangan perahu Pak Mahmudin terlihat miring, hampir tenggelam. Tiang layarnya patah, dan geladaknya penuh air. Tian memacu sampannya mendekat, meskipun setiap hembusan angin terasa seperti cambuk yang memukul tubuhnya.  

Di atas perahu yang terombang-ambing, Ayu menggenggam tiang yang nyaris rubuh, wajahnya pucat, rambutnya basah terjuntai di sekitar wajahnya yang penuh ketakutan. Di geladak, Pak Mahmudin tergeletak tak sadarkan diri, tubuhnya terhuyung setiap kali ombak mengguncang.  

“Ayu!” teriak Tian di tengah hiruk-pikuk badai. Perahunya bergoyang liar saat mendekati perahu Ayu, hampir terbalik karena hantaman gelombang. Ayu menoleh, matanya bertemu dengan Tian—sepasang mata yang membawa secercah harapan di tengah maut yang mengintai.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun