“Loncat ke sini! Cepat!” teriak Tian sambil mengulurkan tangan, tubuhnya hampir terhempas ke laut.
“Aku tak bisa meninggalkan Ayah!” balas Ayu, suaranya serak melawan angin.
Tian menggeram, lalu melompat ke perahu mereka, meskipun ombak seolah ingin menelannya. Kakinya terpeleset, tapi dia berhasil meraih tiang layar yang patah untuk menstabilkan dirinya. Dengan gerakan cepat, dia memeriksa Pak Mahmudin, memastikan napas pria itu masih ada, sebelum kembali menatap Ayu.
“Pegang tanganku!” teriak Tian lagi, lebih keras. Tangannya terulur, basah dan penuh luka karena tali-tali kasar yang dia genggam sebelumnya. Ayu ragu sejenak, lalu melompat ke arahnya. Jemari mereka bertemu—dingin, basah, tetapi kokoh.
Ombak raksasa menghantam tepat saat Tian menarik Ayu ke pelukannya, membuat mereka terhuyung. Dalam sekejap itu, mata jelagai Ayu bertemu mata sipit Tian, penuh rasa takut, terkejut, dan... sesuatu yang lebih dalam. Dunia seakan berhenti sejenak di tengah badai, menyisakan hanya mereka berdua dan percikan perasaan yang tak terungkapkan.
“Jangan lepaskan,” bisik Tian, nyaris tak terdengar di tengah deru badai. Ayu mengangguk, menggenggam tangannya erat. Bersama-sama, mereka melawan kekuatan laut yang berusaha memisahkan mereka.
***
Di rumah keluarga Wu, suasana tegang melingkupi ruang tamu bergaya tradisional Tiongkok. Di tengah meja kayu jati, teko teh Oolong mengepul lembut. Kong Su-mei, dengan gerakan tenang, menuang teh ke dalam cangkir porselen bermotif naga biru, peninggalan leluhur. Namun, ketenangan itu tidak mampu menutupi kegelisahan di wajahnya.
“Kau tahu kenapa leluhur kita memilih Belitung, A-Tian?” tanyanya, suaranya lembut namun sarat makna.
Tian, duduk di seberang meja, mengerutkan kening. “Karena timah?” jawabnya ragu, mencoba menebak apa yang ada di benak ibunya.
Su-mei tersenyum tipis, lalu menatap lukisan tua di dinding—gambar kapal layar besar yang berlabuh di dermaga. “Lebih dari itu. Leluhur kita percaya tanah ini adalah tempat yang penuh harapan. Di sini, di antara saudara-saudara pribumi, mereka melihat peluang untuk hidup berdampingan. Tapi waktu telah merubah banyak hal...” Suaranya merendah, hampir berbisik. “Tembok-tembok yang tak terlihat mulai dibangun. Status, kekayaan, gengsi... Semua itu memisahkan kita, bukan hanya secara budaya, tetapi juga hati.”