Dari kegelapan yang mulai menyelimuti pantai, Wu Liang muncul dengan sorot mata tajam. Wajahnya merah, tidak hanya karena teriknya hari, tetapi oleh kemarahan yang membara di dadanya. Beberapa tetua kampung—baik dari komunitas Tionghoa maupun pribumi—berdiri di belakangnya, wajah mereka menyiratkan gabungan antara rasa kecewa dan kebingungan.
“Ini yang kau lakukan di belakangku?” desis Wu Liang, suaranya menggelegar seperti badai yang menerjang pantai. “Mencoreng nama keluarga dengan gadis kampung ini?!”
Tian berdiri, mencoba menjembatani jarak dengan ayahnya. “Ayah, dengarkan aku. Ini bukan tentang asal-usul, ini tentang...”
“Diam!” Wu Liang memotong dengan suara lantang, tangannya gemetar oleh emosi. “Kau bukan lagi anakku! Kau telah menghancurkan apa yang kami bangun selama generasi!”
Wu Liang kemudian menoleh ke arah Ayu, matanya menyipit penuh ancaman. “Dan kau, gadis nelayan, jauhi anakku! Jika tidak, aku bersumpah semua nelayan di kampungmu akan kehilangan pekerjaan. Keluargamu akan menanggung akibatnya!”
Ayu terisak pelan, dadanya bergemuruh antara marah dan takut. Tian melangkah maju, menggenggam tangan Ayu dengan erat, seolah menyalurkan keberanian lewat sentuhan mereka.
“Ayah boleh memutuskan hubungan dengan darahku, tapi tidak dengan hatiku,” Tian berkata tegas, suaranya bergetar oleh tekad. Ia menoleh pada Ayu, menatapnya penuh keyakinan. “Aku tidak akan meninggalkanmu. Apa pun yang terjadi, kita akan melawan ini bersama.”
Wu Liang menatap mereka dengan rasa jijik yang mendalam, lalu berbalik tanpa berkata apa-apa lagi, langkahnya bergema berat di atas pasir. Angin membawa suara desahan Ayu yang mencoba menyembunyikan tangis, sementara Tian tetap berdiri tegak, memeluk Ayu dengan penuh keberanian. Di balik ombak yang menggulung, bintang-bintang mulai bermunculan di langit, seolah-olah turut menyaksikan perjuangan cinta mereka.
***
Musim berganti. Tian yang kini diusir dari rumah, tinggal di gudang kopra milik seorang pedagang tua. Ia bekerja menurunkan hasil tangkapan di dermaga pada siang hari, dan malamnya mengajar anak-anak kampung membaca.
Ayu menghadapi cemoohan masyarakat. Ia mendirikan kelompok pengajian untuk anak-anak nelayan, mengajarkan toleransi dan nilai-nilai persaudaraan.