Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pulau Cinta Terlarang

9 Januari 2025   00:01 Diperbarui: 8 Januari 2025   18:50 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Meta AI 

Tian menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. Kata-kata Su-mei seperti menusuk langsung ke dalam hatinya. Ia tahu, tembok-tembok itu kini menjadi jurang besar antara dirinya dan Ayu.  

Di sisi lain pulau, rumah Ayu juga dipenuhi ketegangan. Pak Mahmudin duduk di kursi kayu tua di beranda, tatapannya terpaku pada hamparan laut yang tenang. Hembusan angin malam membawa aroma garam dan kenangan pahit dari badai yang hampir merenggut nyawanya.  

“Ayah masih ingat malam itu,” ujarnya pelan, suaranya berat seperti ombak yang menggulung. “Kalau bukan karena Tian, mungkin kita sudah jadi bangkai di dasar laut.”  

Ayu, yang duduk di sampingnya, menatap ayahnya dengan campuran rasa bersalah dan keteguhan. “Tapi, Yah,” ia menjawab pelan, namun suaranya penuh tekad, “kenapa itu tidak cukup untuk mengubah pandangan orang? Bukankah Tian telah membuktikan keberaniannya?”  

Pak Mahmudin menghela napas panjang, seolah mencoba menumpahkan beban di hatinya. “Nak, dunia tidak sesederhana itu. Ada batas-batas yang...”  

“Yang dibuat manusia sendiri,” potong Ayu cepat, nada suaranya penuh keberanian. “Kalau Kek Rahim dulu bisa menikah dengan Nenek Ming, kenapa sekarang semuanya jadi rumit? Bukankah mereka juga melawan batasan itu?”  

Pak Mahmudin menoleh, matanya bertemu dengan putrinya. Ia ingin menjawab, ingin memberikan penjelasan, tetapi kata-kata seolah tersangkut di tenggorokannya. Semua yang ada di benaknya adalah rasa takut—takut bahwa cinta ini akan membawa kehancuran bagi keluarganya. Ia hanya bisa terdiam, menatap laut yang kini terlihat begitu asing, seolah memantulkan bayangan dari keraguan di hatinya.  

***

Di pantai tersembunyi dekat Tanjung Kelayang, bayangan senja mulai memanjang. Tian dan Ayu duduk di bawah pohon ketapang tua, dahan-dahannya melindungi mereka dari mata-mata dunia. Suara ombak yang memecah di bebatuan bercampur dengan desau angin, menjadi saksi percakapan mereka yang penuh harap dan kecemasan.  

“Apa kita akan bernasib seperti Nenek Ming, Tian?” tanya Ayu dengan nada getir. Jemarinya memainkan kerang kecil yang baru saja dipungut dari pasir. “Terperangkap antara cinta dan kewajiban, tanpa bisa benar-benar memilih?”  

Tian memandang Ayu dengan tatapan yang dalam. Ia ingin menjawab, ingin meyakinkan Ayu bahwa cinta mereka akan menemukan jalan. Namun, sebelum kata-kata itu keluar, suara langkah kaki menghentak memecah keheningan.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun