Anita, yang awalnya marah, perlahan menurunkan bahunya. Air mata menggenang di sudut matanya tanpa ia sadari. Miranda, si pemain klarinet, berbisik pelan, "Itu... seperti mendengar seseorang bercerita tentang hidupnya lewat musik."
Takdir membawa perubahan yang tak terduga ketika Anita mengalami kecelakaan seminggu sebelum konser tahunan. Mobilnya tergelincir di jalan basah, meninggalkan dia dengan tangan kanan dalam gips. Setelah pergulatan batin yang panjang, Narendra membuat keputusan yang mengejutkan semua orang: Kinanti akan menjadi concertmaster.
"Dia bahkan tidak bisa membaca partitur dengan benar!" protes beberapa anggota orkestra dalam rapat darurat. "Bagaimana dia bisa memimpin kami?"
"Tapi dia bisa mendengar musik yang tidak bisa kita dengar," jawab Narendra dengan keyakinan yang bahkan mengejutkan dirinya sendiri. "Kadang kita terlalu fokus membaca not hingga lupa mendengarkan musik itu sendiri."
Malam konser tiba di Gedung Sociteit Militair. Lampu-lampu kristal menerangi ruangan dengan cahaya keemasan yang lembut, menyapu wajah-wajah penonton yang memenuhi kursi. Para kritikus musik duduk di barisan depan, buku catatan siap di tangan. Kinanti berdiri di posisi concertmaster, mengenakan gaun putih sederhana pemberian anggota orkestra---sebuah simbol penerimaan yang tak terucap. Di tangannya, biola tua itu masih setia menemani, senarnya telah diganti baru oleh Narendra sendiri.
Sebelum konser dimulai, Kinanti menghampiri Anita yang duduk di kursi penonton dengan tangannya yang masih dalam gips. "Ini untuk Mbak," bisiknya, menyerahkan selembar kertas berisi not-not yang dia tulis sendiri---sebuah melodi sederhana tentang penyembuhan dan harapan.
Narendra mengangkat baton-nya, dan Symphony No. 40 mengalir dengan indah. Setiap nada dimainkan dengan presisi yang sempurna, membuktikan bahwa Kinanti bisa memimpin dengan caranya sendiri. Namun, kejutan sesungguhnya datang pada gerakan ketiga.
Ketika Kinanti mengambil solo panjangnya, awalnya dia mengikuti partitur dengan setia. Tetapi perlahan, dia mulai menyisipkan ornamen-ornamen melodi yang asing, mengingatkan pada lengking gamelan dan desah suling bambu. Narendra, yang telah belajar untuk percaya pada intuisi musikal Kinanti, menurunkan baton-nya, memberikan ruang bagi sesuatu yang lebih besar dari sekadar interpretasi.
Ajaibnya, orkestra tidak kacau. Satu per satu, pemain mulai menangkap gelombang baru yang diciptakan Kinanti. Pemain cello memadukan gaya gesekan mereka dengan ritme gamelan. Klarinet menemukan nada-nada slndro di antara harmoni Barat. Mereka semua menari dalam perpaduan Timur dan Barat yang tak terduga namun menggetarkan jiwa.
Di barisan penonton, seorang kritikus musik yang terkenal galak menangis terisak. "Ini... keajaiban," bisiknya, pena di tangannya terlupakan. Di sampingnya, profesor musik dari Jerman berbisik dengan suara bergetar, "Das ist kein Konzert... das ist eine Offenbarung." (Ini bukan sekadar konser... ini adalah sebuah wahyu.)
Setelah konser yang mengubah segalanya, Narendra kembali ke ruang latihan yang sepi. Jam antik itu masih berdetak, tetapi kini ia memandangnya dengan cara yang berbeda. Hujan masih turun di luar, seperti melodi yang tak pernah berhenti, mengingatkannya pada hari pertama ia bertemu Kinanti.