Narendra Bayu mengangkat tangannya dengan gerakan halus namun tegas. Dalam sekejap, orkestra kecilnya di Yogyakarta terdiam, seperti air yang mendadak membeku di tengah riaknya. Gema nada-nada terakhir dari Symphony No. 40 karya Mozart menggantung di udara, memenuhi ruang latihan gedung tua yang menjadi saksi kerja keras mereka. Gedung ini, dengan dinding-dinding tinggi dan lantai kayu yang berderit, telah menjadi rumah kedua bagi Narendra selama dua puluh lima tahun terakhir.
Di dinding ruangan, sebuah jam antik warisan ayahnya berdetak dengan presisi yang nyaris obsesif. Tepat pukul tujuh pagi. Hujan masih turun sejak subuh, menciptakan irama konstan yang menembus jendela-jendela tua gedung latihan. Narendra menatap anggota orkestra yang hadir tepat waktu---sesuatu yang langka terjadi di Yogyakarta saat hujan deras. Wajah-wajah muda itu menatapnya dengan penuh konsentrasi, menggenggam alat musik mereka seperti senjata yang siap dihunuskan.
Di antara mereka, Narendra melihat Anita, concertmaster-nya yang berbakat, dengan biola Stradivarius pemberian neneknya. Di sebelahnya, Bimo dengan cello yang selalu disetel ulang setiap pagi, dan Miranda yang tak pernah lepas dari klarinet kesayangannya. Mereka semua adalah keluarga yang dipilihnya sendiri, ditempa oleh ribuan jam latihan dan mimpi bersama.
"Mozart, Symphony No. 40 in G minor. Dari awal," ucapnya, mengangkat baton dengan keyakinan yang telah dibangun selama empat dekade bermusik. Setiap gerakan tangannya membawa kenangan akan ayahnya, seorang pemain biola yang menghabiskan hidupnya di orkestra-orkestra kecil Yogyakarta, mengajarkan bahwa musik bukan sekadar nada, tapi juga disiplin dan dedikasi.
Namun, di tengah gerakan kedua, saat violin section mengalunkan nada-nada minor dengan harmoni yang tertata, sebuah melodi asing merayap masuk dari luar. Awalnya samar, seperti bisikan angin, tetapi perlahan melodi itu semakin jelas, menembus harmoni Mozart yang sedang dimainkan. Narendra mengenali nuansa gamelan dalam melodi itu, sesuatu yang familiar sekaligus asing di telinganya yang terlatih dengan musik klasik Barat.
Narendra menghentikan orkestra dengan satu gerakan tegas. Tanpa kata-kata, ia melangkah menuju pintu, meninggalkan anggotanya dalam kebingungan. Udara pagi Yogyakarta yang lembap menyambutnya, membawa aroma tanah basah dan nostalgia yang tak bisa dijelaskan. Kakinya melangkah cepat melewati deretan angkringan yang baru membuka, mengikuti melodi yang semakin jelas.
Di emperan Stasiun Tugu yang berdiri tak jauh dari situ, seorang gadis remaja berdiri dengan biola tua di tangannya. Rambutnya yang basah menjuntai, sweater lusuhnya kebesaran. Yang menarik perhatian Narendra bukan hanya penampilannya yang kontras dengan lingkungan stasiun, tetapi cara gadis itu bermain---jemarinya menari di atas senar dengan teknik yang tidak teratur, melanggar semua aturan yang Narendra yakini selama ini.
"Siapa yang mengajarimu bermain seperti itu?" tanya Narendra, berusaha menyembunyikan kekagumannya.
Gadis itu membuka matanya perlahan, menampakkan sorot yang dalam dan tajam. "Waktu," jawabnya singkat. "Saya belajar dari suara kereta yang lewat, tetesan hujan, dan dengkuran ibu saya yang sakit. Setiap suara punya ceritanya sendiri, Pak. Biola ini," dia mengangkat instrumennya dengan hati-hati, "warisan dari ayah yang tidak pernah saya kenal. Kata ibu, dia pemain gamelan yang bermimpi menjadi violinis."
"Siapa namamu?"
"Kinanti."
Narendra mengamati biola tua di tangan gadis itu---cat yang mengelupas, senar yang sudah berkali-kali diganti, namun suaranya memiliki kehangatan yang aneh. "Mau berlatih di tempatku?" tawarnya, menunjuk ke arah gedung orkestra. "Kita bisa mengembangkan bakatmu."
Keesokan harinya, Kinanti datang terlambat lima belas menit. Biasanya, Narendra tidak mentolerir keterlambatan sekecil apapun, mengingat bagaimana ayahnya selalu mengatakan bahwa ketepatan waktu adalah bentuk penghormatan terhadap musik. Namun, ada sesuatu dalam cara gadis itu memandang dunia yang membuatnya memaklumi. Kinanti membawa tidak hanya biolanya, tetapi juga perspektif baru yang mengusik keteraturan Narendra.
"Maaf terlambat, Pak," ucapnya terengah. "Ibu harus saya antar ke klinik dulu. Sakitnya kambuh lagi."
Dalam sesi latihan pribadi mereka, Kinanti menunjukkan pendekatan yang sama sekali berbeda terhadap musik. Ketika diminta memainkan Bach, dia malah menciptakan melodi sendiri. "Pak, dengar," katanya sambil menunjuk jendela. "Hujan di seng bunyinya 'ting', di daun pisang 'plok'. Kalau digabung jadi seperti ini..." Dia mulai memainkan biolanya, menciptakan simfoni hujan yang tak pernah terpikirkan oleh Narendra.
"Kamu tidak bisa terus mengabaikan partitur," tegur Narendra suatu hari, sambil membolak-balik halaman Bach yang tergeletak di standar musik. "Musik klasik punya aturan, struktur. Seperti bahasa, ada tata bahasanya."
Kinanti tersenyum kecil, jemarinya masih membelai senar biola dengan lembut. "Pak, musik tidak dimulai dari kertas. Dia lahir dari kehidupan. Bach, Mozart---mereka juga mendengarkan dunia sebelum menulis notasi. Saya yakin Mozart pernah mendengarkan burung berkicau dan berpikir, 'Ah, ini bisa jadi bagian dari simfoni.'"
Narendra terdiam, teringat masa mudanya ketika ia pertama kali jatuh cinta pada musik. Saat itu, sebelum disiplin dan tradisi mengambil alih, ia juga sering bermimpi menciptakan melodi-melodi liar yang tak terbatas.
Kehadiran Kinanti mulai menimbulkan gejolak di orkestra. Beberapa pemain senior merasa tidak nyaman dengan perlakuan khusus yang diterimanya. Suatu pagi, Anita, pemain biola pertama, menemukan Kinanti tertidur di ruang latihan setelah semalaman merawat ibunya yang sakit.
"Pak Narendra!" protes Anita dengan nada tinggi. "Kami dimarahi jika terlambat semenit, tetapi dia boleh tidur di sini? Apa karena dia murid spesial Bapak? Ini tidak adil untuk kami yang sudah berlatih bertahun-tahun dengan disiplin!"
Sebelum Narendra sempat menjawab, Kinanti bangkit dan mengangkat biolanya. Matanya masih sembab karena kurang tidur, tapi tangannya bergerak dengan keyakinan yang mengagumkan. Tanpa kata-kata, dia mulai bermain. Melodi yang mengalir dari biolanya bukanlah Mozart atau Bach, melainkan sesuatu yang lebih dalam---perpaduan kerinduan Jawa dan kompleksitas Barat yang membuat semua yang hadir terdiam.
Anita, yang awalnya marah, perlahan menurunkan bahunya. Air mata menggenang di sudut matanya tanpa ia sadari. Miranda, si pemain klarinet, berbisik pelan, "Itu... seperti mendengar seseorang bercerita tentang hidupnya lewat musik."
Takdir membawa perubahan yang tak terduga ketika Anita mengalami kecelakaan seminggu sebelum konser tahunan. Mobilnya tergelincir di jalan basah, meninggalkan dia dengan tangan kanan dalam gips. Setelah pergulatan batin yang panjang, Narendra membuat keputusan yang mengejutkan semua orang: Kinanti akan menjadi concertmaster.
"Dia bahkan tidak bisa membaca partitur dengan benar!" protes beberapa anggota orkestra dalam rapat darurat. "Bagaimana dia bisa memimpin kami?"
"Tapi dia bisa mendengar musik yang tidak bisa kita dengar," jawab Narendra dengan keyakinan yang bahkan mengejutkan dirinya sendiri. "Kadang kita terlalu fokus membaca not hingga lupa mendengarkan musik itu sendiri."
Malam konser tiba di Gedung Sociteit Militair. Lampu-lampu kristal menerangi ruangan dengan cahaya keemasan yang lembut, menyapu wajah-wajah penonton yang memenuhi kursi. Para kritikus musik duduk di barisan depan, buku catatan siap di tangan. Kinanti berdiri di posisi concertmaster, mengenakan gaun putih sederhana pemberian anggota orkestra---sebuah simbol penerimaan yang tak terucap. Di tangannya, biola tua itu masih setia menemani, senarnya telah diganti baru oleh Narendra sendiri.
Sebelum konser dimulai, Kinanti menghampiri Anita yang duduk di kursi penonton dengan tangannya yang masih dalam gips. "Ini untuk Mbak," bisiknya, menyerahkan selembar kertas berisi not-not yang dia tulis sendiri---sebuah melodi sederhana tentang penyembuhan dan harapan.
Narendra mengangkat baton-nya, dan Symphony No. 40 mengalir dengan indah. Setiap nada dimainkan dengan presisi yang sempurna, membuktikan bahwa Kinanti bisa memimpin dengan caranya sendiri. Namun, kejutan sesungguhnya datang pada gerakan ketiga.
Ketika Kinanti mengambil solo panjangnya, awalnya dia mengikuti partitur dengan setia. Tetapi perlahan, dia mulai menyisipkan ornamen-ornamen melodi yang asing, mengingatkan pada lengking gamelan dan desah suling bambu. Narendra, yang telah belajar untuk percaya pada intuisi musikal Kinanti, menurunkan baton-nya, memberikan ruang bagi sesuatu yang lebih besar dari sekadar interpretasi.
Ajaibnya, orkestra tidak kacau. Satu per satu, pemain mulai menangkap gelombang baru yang diciptakan Kinanti. Pemain cello memadukan gaya gesekan mereka dengan ritme gamelan. Klarinet menemukan nada-nada slndro di antara harmoni Barat. Mereka semua menari dalam perpaduan Timur dan Barat yang tak terduga namun menggetarkan jiwa.
Di barisan penonton, seorang kritikus musik yang terkenal galak menangis terisak. "Ini... keajaiban," bisiknya, pena di tangannya terlupakan. Di sampingnya, profesor musik dari Jerman berbisik dengan suara bergetar, "Das ist kein Konzert... das ist eine Offenbarung." (Ini bukan sekadar konser... ini adalah sebuah wahyu.)
Setelah konser yang mengubah segalanya, Narendra kembali ke ruang latihan yang sepi. Jam antik itu masih berdetak, tetapi kini ia memandangnya dengan cara yang berbeda. Hujan masih turun di luar, seperti melodi yang tak pernah berhenti, mengingatkannya pada hari pertama ia bertemu Kinanti.
Kinanti kini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari orkestra, membawa perubahan yang awalnya ditakuti menjadi evolusi yang dinanti. Setiap anggota orkestra mulai menemukan suara pribadi mereka di antara notasi yang tertulis, menciptakan musik yang lebih hidup dan personal.
Narendra duduk di depan piano tua, jemarinya menyentuh tuts dengan lembut. Ia tersenyum, mengingat bagaimana seorang gadis dengan biola tua telah mengajarkannya bahwa musik, seperti waktu, tak bisa dipaksa tunduk pada aturan yang kaku. Bahwa keindahan sejati terletak pada keberanian untuk mendengarkan---tidak hanya nada-nada yang tertulis, tetapi juga bisikan hujan, detak waktu, dan degup kehidupan itu sendiri.
Di sudut ruangan, biola tua milik ayahnya yang selama ini hanya menjadi pajangan, kini tampak berbeda di matanya. Mungkin sudah waktunya alat musik itu bernyanyi lagi, dengan cara yang baru. Karena kadang, kita hanya perlu mendengarkan hujan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H