"Kinanti."
Narendra mengamati biola tua di tangan gadis itu---cat yang mengelupas, senar yang sudah berkali-kali diganti, namun suaranya memiliki kehangatan yang aneh. "Mau berlatih di tempatku?" tawarnya, menunjuk ke arah gedung orkestra. "Kita bisa mengembangkan bakatmu."
Keesokan harinya, Kinanti datang terlambat lima belas menit. Biasanya, Narendra tidak mentolerir keterlambatan sekecil apapun, mengingat bagaimana ayahnya selalu mengatakan bahwa ketepatan waktu adalah bentuk penghormatan terhadap musik. Namun, ada sesuatu dalam cara gadis itu memandang dunia yang membuatnya memaklumi. Kinanti membawa tidak hanya biolanya, tetapi juga perspektif baru yang mengusik keteraturan Narendra.
"Maaf terlambat, Pak," ucapnya terengah. "Ibu harus saya antar ke klinik dulu. Sakitnya kambuh lagi."
Dalam sesi latihan pribadi mereka, Kinanti menunjukkan pendekatan yang sama sekali berbeda terhadap musik. Ketika diminta memainkan Bach, dia malah menciptakan melodi sendiri. "Pak, dengar," katanya sambil menunjuk jendela. "Hujan di seng bunyinya 'ting', di daun pisang 'plok'. Kalau digabung jadi seperti ini..." Dia mulai memainkan biolanya, menciptakan simfoni hujan yang tak pernah terpikirkan oleh Narendra.
"Kamu tidak bisa terus mengabaikan partitur," tegur Narendra suatu hari, sambil membolak-balik halaman Bach yang tergeletak di standar musik. "Musik klasik punya aturan, struktur. Seperti bahasa, ada tata bahasanya."
Kinanti tersenyum kecil, jemarinya masih membelai senar biola dengan lembut. "Pak, musik tidak dimulai dari kertas. Dia lahir dari kehidupan. Bach, Mozart---mereka juga mendengarkan dunia sebelum menulis notasi. Saya yakin Mozart pernah mendengarkan burung berkicau dan berpikir, 'Ah, ini bisa jadi bagian dari simfoni.'"
Narendra terdiam, teringat masa mudanya ketika ia pertama kali jatuh cinta pada musik. Saat itu, sebelum disiplin dan tradisi mengambil alih, ia juga sering bermimpi menciptakan melodi-melodi liar yang tak terbatas.
Kehadiran Kinanti mulai menimbulkan gejolak di orkestra. Beberapa pemain senior merasa tidak nyaman dengan perlakuan khusus yang diterimanya. Suatu pagi, Anita, pemain biola pertama, menemukan Kinanti tertidur di ruang latihan setelah semalaman merawat ibunya yang sakit.
"Pak Narendra!" protes Anita dengan nada tinggi. "Kami dimarahi jika terlambat semenit, tetapi dia boleh tidur di sini? Apa karena dia murid spesial Bapak? Ini tidak adil untuk kami yang sudah berlatih bertahun-tahun dengan disiplin!"
Sebelum Narendra sempat menjawab, Kinanti bangkit dan mengangkat biolanya. Matanya masih sembab karena kurang tidur, tapi tangannya bergerak dengan keyakinan yang mengagumkan. Tanpa kata-kata, dia mulai bermain. Melodi yang mengalir dari biolanya bukanlah Mozart atau Bach, melainkan sesuatu yang lebih dalam---perpaduan kerinduan Jawa dan kompleksitas Barat yang membuat semua yang hadir terdiam.