Ujian Nasional (UN) telah menjadi topik perdebatan yang tidak pernah surut dalam dunia pendidikan Indonesia. Setelah dihapus dan digantikan dengan Asesmen Nasional (AN) yang lebih berfokus pada evaluasi mutu pendidikan, kini muncul wacana untuk menghidupkan kembali UN, namun dalam format baru. Darmaningtyas, pemerhati pendidikan dari Perguruan Tamansiswa, mengusulkan UN kembali diadakan sebagai tolok ukur standar penerimaan peserta didik baru (PPDB) pada jalur prestasi. Namun, apakah gagasan ini relevan dan efektif dalam konteks pendidikan saat ini?
Konteks Kebijakan Pendidikan
Sistem penerimaan peserta didik baru saat ini memberikan ruang pada jalur prestasi akademik dan non-akademik. Namun, seperti yang disoroti Darmaningtyas, mekanisme ini memiliki banyak kelemahan. AN yang digunakan sebagai instrumen evaluasi mutu pendidikan dilakukan melalui sampling, sehingga tidak mencerminkan nilai individu siswa. Di sisi lain, nilai rapor siswa sering kali dianggap tidak konsisten, karena standar pemberian nilai dapat berbeda antara satu sekolah dengan sekolah lainnya. Hal ini membuka celah ketidakadilan, di mana guru dapat "mengobral" nilai agar siswanya lebih mudah diterima di sekolah negeri favorit. Â
Sementara itu, jalur prestasi non-akademik juga tidak sepenuhnya adil. Sertifikat lomba yang menjadi dasar penilaian mudah dimanipulasi atau tidak mencerminkan kemampuan siswa secara utuh. Dalam kondisi ini, standardisasi menjadi kebutuhan mendesak untuk menciptakan sistem yang lebih transparan dan adil.
Mengapa UN Diperlukan?
Kembalinya UN sebagai alat standardisasi dapat menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan ini. Dengan UN, siswa memiliki ukuran prestasi yang lebih seragam dan objektif di seluruh Indonesia. UN juga dapat menjadi instrumen evaluasi untuk memastikan bahwa setiap siswa telah memenuhi standar minimum kompetensi nasional. Hal ini penting untuk mengurangi disparitas kualitas pendidikan di berbagai daerah.
Sebagai tolok ukur jalur prestasi, UN memiliki beberapa keunggulan:Â Â
1. Transparansi dan Objektivitas Â
UN yang dirancang dengan baik dapat memberikan data yang akurat mengenai kemampuan akademik siswa. Karena tes ini dilakukan serentak dengan standar yang sama, hasilnya tidak dipengaruhi oleh kebijakan internal sekolah.
2. Motivasi Belajar Siswa
Keberadaan UN dapat memacu siswa untuk belajar lebih giat. Dengan adanya tolok ukur yang jelas, siswa memiliki tujuan yang konkret untuk dicapai.
3. Evaluasi Sistem PendidikanÂ
Selain untuk siswa, UN juga dapat menjadi alat evaluasi bagi sekolah dan pemerintah dalam menilai keberhasilan kurikulum serta kualitas pengajaran.
Kritik terhadap UN
Namun, mengembalikan UN tentu bukan tanpa tantangan. UN memiliki sejarah panjang sebagai sumber tekanan bagi siswa dan orang tua. UN di masa lalu sering kali menjadi momok yang menimbulkan stres karena dianggap sebagai penentu kelulusan. Beban ini bukan hanya bersifat mental, tetapi juga finansial, mengingat banyak keluarga yang harus mengeluarkan biaya tambahan untuk bimbingan belajar.
Karena itu, Darmaningtyas menegaskan bahwa UN versi baru tidak boleh menjadi penentu kelulusan. Fungsi UN harus difokuskan sebagai alat evaluasi prestasi siswa secara individual, tanpa memberikan dampak negatif yang berlebihan.
Format Baru UN
Jika UN akan dihidupkan kembali, beberapa perubahan penting perlu dilakukan agar sesuai dengan kebutuhan pendidikan saat ini:Â Â
1. Fokus pada Evaluasi KompetensiÂ
UN sebaiknya dirancang untuk mengukur kompetensi dasar, seperti literasi, numerasi, dan kemampuan berpikir kritis, sesuai dengan tujuan utama pendidikan. Ujian tidak lagi berfokus pada hafalan, tetapi pada penerapan konsep.
2. Bukan Penentu Kelulusan Â
UN harus dikeluarkan dari sistem penentu kelulusan. Hal ini akan mengurangi tekanan pada siswa dan memastikan bahwa fokus mereka adalah belajar, bukan sekadar mengejar nilai.
3. Pengintegrasian dengan Teknologi
Format UN dapat memanfaatkan teknologi digital untuk memastikan transparansi, efisiensi, dan kemudahan akses, terutama di daerah terpencil. Penggunaan teknologi juga dapat membantu mencegah kecurangan.
4. Evaluasi MultidimensiÂ
Selain aspek akademik, UN juga bisa mencakup aspek non-akademik, seperti kreativitas dan keterampilan sosial, sehingga mencerminkan potensi siswa secara lebih holistik.
5. Pemberian Dukungan Psikologis Â
Penting untuk memberikan pendampingan psikologis kepada siswa agar mereka tidak merasa tertekan oleh keberadaan UN. Pendekatan ini akan menciptakan pengalaman belajar yang lebih positif.
Alternatif Solusi
Jika UN dirasa masih kontroversial, pemerintah dapat mengeksplorasi alternatif lain untuk meningkatkan keadilan dalam jalur prestasi PPDB. Misalnya, dengan memperketat verifikasi nilai rapor dan sertifikat prestasi, atau menggunakan metode asesmen yang lebih individual, seperti tes berbasis proyek (project-based assessment).
Kesimpulan
Wacana menghidupkan kembali UN sebagai standar prestasi pendidikan memunculkan pro dan kontra. Di satu sisi, UN dapat memberikan standardisasi yang dibutuhkan dalam sistem pendidikan kita. Namun, di sisi lain, pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa UN dapat menjadi sumber tekanan bagi siswa dan orang tua.
UN versi baru harus dirancang dengan hati-hati agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Fokusnya harus pada evaluasi kompetensi, bukan pada seleksi atau penentuan kelulusan. Dengan demikian, UN dapat menjadi alat yang efektif untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih adil, transparan, dan berkualitas.
Pendidikan adalah fondasi masa depan bangsa. Setiap kebijakan yang diambil harus mengutamakan kepentingan siswa sebagai pusat dari proses pembelajaran. Jika UN dapat mendukung tujuan tersebut, maka menghidupkannya kembali patut dipertimbangkan, tentu dengan adaptasi sesuai perkembangan zaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H