Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kedua Sayap Malaikat

4 Januari 2025   08:21 Diperbarui: 4 Januari 2025   08:21 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Traveloka

Langit Jakarta menggelap lebih cepat sore itu. Awan-awan kelabu bergulung-gulung menyelimuti cakrawala, seolah menjadi pertanda akan datangnya badai yang tak terelakkan. Di ruang briefing Bandara Soekarno-Hatta, Kapten Firdaus menatap layar radar cuaca dengan dahi berkerut. Tangannya yang kokoh menggenggam erat surat peringatan dari maskapai yang baru diterimanya pagi tadi.

"Kapten, lima belas menit lagi boarding dimulai," suara co-pilot muda di sampingnya memecah keheningan.

Firdaus mengangguk pelan, jemarinya yang sedikit gemetar melipat surat itu dengan hati-hati. Kertas putih dengan kop surat resmi maskapai itu terasa begitu berat di tangannya. Ia memasukkan surat tersebut ke dalam saku seragam pilotnya yang biru tua, tepat di atas jantungnya yang berdebar tak karuan. Lima belas tahun mengudara telah mengukir berbagai kenangan di langit -- dari menerbangkan pesawat kecil untuk pelatihan hingga mengendalikan Boeing dan Airbus lintas benua. Namun kali ini, beban yang ia rasakan jauh lebih berat dari turbulensi terburuk yang pernah ia hadapi.

Matanya menerawang ke luar jendela ruang briefing, menatap pesawat-pesawat yang berjejer rapi di apron. Ia masih ingat jelas bagaimana dulu, setiap kali melihat pemandangan ini, hatinya akan berdesir penuh semangat. Kini, pemandangan yang sama membuatnya tercekik oleh kecemasan. Bukan karena awan gelap yang menggulung di kejauhan -- cuaca buruk sudah menjadi sahabat setiap pilot. Yang membuat dadanya sesak adalah kenyataan pahit yang tertulis dalam surat itu: maskapai berencana melakukan pengurangan jumlah pilot secara besar-besaran.

"Restrukturisasi organisasi untuk efisiensi operasional," begitu bunyi surat itu, menggunakan bahasa korporat yang dingin untuk menggambarkan nasib puluhan keluarga yang terancam kehilangan mata pencaharian. Firdaus mengusap wajahnya yang lelah, membayangkan wajah Zahra, istrinya, yang selalu setia mendukung karirnya sejak masih menjadi co-pilot. Bagaimana ia harus menjelaskan pada ketiga anaknya -- Aisyah yang baru masuk SMA, Ahmad yang akan ujian SMP, dan si kecil Fatima yang masih SD -- bahwa ayah mereka mungkin akan kehilangan pekerjaan?

Cicilan rumah masih tersisa tujuh tahun. Tabungan untuk pendidikan anak-anak baru terkumpul separuh jalan. Di usianya yang sudah menginjak 45 tahun, mencari pekerjaan baru sebagai pilot terasa seperti mimpi di siang bolong. Maskapai-maskapai lain juga sedang melakukan hal yang sama: memangkas biaya operasional dengan mengurangi karyawan. Dunia penerbangan sedang tidak bersahabat.

"Bismillahirrahmanirrahim," bisiknya lirih, mengusap wajahnya yang mulai menua. Di usianya yang menginjak 45 tahun, mencari pekerjaan baru bukanlah hal mudah. Apalagi dengan tiga anak yang masih sekolah dan cicilan rumah yang belum lunas.

Langkahnya mantap memasuki kokpit Boeing 737-800 yang akan membawanya ke Balikpapan. Ritual pre-flight check dilakukan dengan teliti seperti biasa. Namun kali ini, setiap doa yang dipanjatkannya terasa lebih dalam, lebih mendesak.

"Tower, Garuda 504 ready for push back," suaranya tenang melalui radio, menyembunyikan badai yang berkecamuk dalam hatinya.

Pesawat mulai bergerak perlahan meninggalkan gate, roda-rodanya berputar halus di atas permukaan taxiway yang basah oleh gerimis. Firdaus merasakan getaran familiar saat kedua mesin CFM56 mulai menderu, mengirimkan gelombang resonansi yang merambat ke seluruh rangka pesawat. Getaran yang sudah menjadi bagian dari hidupnya selama belasan tahun.

Dulu, di masa kecilnya di Bandung, ia sering berbaring di halaman rumah, menatap pesawat-pesawat yang melintasi langit dengan mata berbinar. Ayahnya, seorang teknisi pesawat di bandara Husein Sastranegara, selalu membawakan cerita-cerita tentang "burung besi" yang mengantarkan manusia menembus awan. Setiap getaran mesin pesawat selalu mengingatkannya pada momen pertama ia jatuh cinta dengan dunia penerbangan -- saat ayahnya mengizinkannya masuk ke hanggar untuk pertama kali di usia sembilan tahun.

"Suatu hari nanti, Daus akan menerbangkan yang seperti ini, Yah," katanya waktu itu, tangan kecilnya mengelus lambang Garuda di ekor pesawat yang sedang dalam perawatan.

Ayahnya tersenyum, mengacak rambutnya dengan sayang. "Bismillah, Nak. Allah tidak akan mengecewakan hambanya yang bersungguh-sungguh."

Getaran mesin yang sama yang dulu membuatnya tersenyum lebar setiap kali takeoff, yang membuatnya merasa seperti malaikat yang diberi kesempatan menari dengan awan-awan. Yang selalu mengingatkannya akan peluh dan air mata selama masa pendidikan di sekolah penerbangan, akan kebanggaan saat pertama kali mengenakan seragam pilot, akan takbir haru saat pertama kali menerbangkan pesawat sendiri.

Kini, getaran itu membawa rasa yang berbeda. Setiap deru mesin seolah bergema dengan ancaman PHK yang tertulis di surat peringatan. Setiap getaran mengirimkan gelombang kekhawatiran tentang tagihan sekolah yang harus dibayar, tentang cicilan rumah yang masih panjang, tentang masa depan yang mendadak jadi kabur seperti awan mendung di luar sana. Bahkan kokpit yang selama ini menjadi ruang paling nyaman baginya, kini terasa seperti ruang pengadilan yang siap menjatuhkan vonis.

"Checklist selesai, Kapten," suara co-pilot membuyarkan lamunannya. 

Firdaus menarik napas dalam-dalam, aroma familiar kokpit -- perpaduan antara plastik, logam, dan sistem pendingin udara -- membantunya kembali ke realita. Tangannya yang berpengalaman menggenggam throttle, merasakan denyut kehidupan pesawat melalui ujung jarinya. Mungkin masa depan tidak pasti, tapi saat ini, ada 189 nyawa yang menjadi tanggungjawabnya. Dan seperti kata ayahnya dulu, Allah tidak akan mengecewakan hambanya yang bersungguh-sungguh.

Takeoff berjalan lancar, namun begitu pesawat mencapai ketinggian jelajah, turbulensi mulai terasa. Awan cumulonimbus yang ditakuti pilot manapun menghadang di depan mata. Layar radar menampilkan warna merah yang mengancam.

"Kapten, cuaca semakin memburuk," co-pilot memberitahu hal yang sudah jelas terlihat.

Firdaus mengangguk. Tangannya yang berpengalaman mengarahkan pesawat mencari celah aman. Namun kali ini, langit seolah menguji kesabarannya. Turbulensi semakin kuat, membuat pesawat berguncang hebat.

"Ladies and gentlemen, this is your captain speaking. We are currently experiencing some turbulence. Please return to your seats and keep your seatbelts fastened."

Suaranya tetap tenang saat memberikan pengumuman, meski keringat mulai membasahi keningnya. Di saat-saat seperti ini, ia teringat akan kata-kata mendiang ayahnya.

"Nak, ketika kau berada di atas awan, ingatlah bahwa Allah lebih tinggi dari itu. Dia yang mengatur angin, Dia yang mengendalikan badai."

Tiba-tiba, warning light merah berkedip di panel instrumen, diikuti dengan bunyi alarm yang memekakkan telinga. Engine Parameter Display menunjukkan anomali serius pada mesin kanan -- suhu melampaui batas normal akibat tekanan cuaca ekstrem. Getaran tidak wajar mulai terasa dari sayap kanan pesawat. Jantung Firdaus berdegup kencang, keringat dingin mengalir di pelipisnya, tapi tangannya tetap stabil mengendalikan yoke. Lima belas tahun pengalaman telah melatih ototnya untuk tetap tenang dalam situasi kritis.

"Engine two is showing critical temperature levels, Captain," co-pilot melaporkan dengan suara tegang. "Oil pressure dropping rapidly."

Firdaus mengangguk, matanya bergerak cepat memeriksa setiap instrumen. Background generator sudah switch ke APU, tapi indikator tetap menunjukkan anomali. Di luar, kilat menyambar membelah kegelapan, seolah menambah dramatisnya situasi.

"Ya Allah, lindungilah kami," doanya dalam hati, sementara tangannya dengan cekatan menjalankan prosedur emergency. Bayangan wajah ketiga anaknya melintas di benaknya, membuat dadanya terasa sesak. Di saat seperti ini, suara serak ayahnya terngiang jelas, membacakan ayat yang kini menjadi pegangannya: "Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari kesalahan dirimu sendiri."

Firdaus menelan ludah, mulutnya terasa kering. Dengan perhitungan cermat, ia menganalisis situasi: ketinggian 28.000 kaki, jarak ke Bandara Juanda sekitar 180 nautical miles, cuaca buruk di sepanjang jalur penerbangan, dan satu mesin bermasalah. Keputusan harus diambil dalam hitungan detik. Melanjutkan penerbangan ke Balikpapan dengan satu mesin terlalu berisiko, sementara kembali ke Jakarta sudah tidak mungkin karena cuaca semakin memburuk di belakang mereka.

"We're diverting to Juanda," putusnya tegas. "First Officer, set new heading one-zero-five. Contact Juanda Approach."

Sementara co-pilot mengarahkan pesawat ke Surabaya, Firdaus mengambil mikrofon. Suaranya yang dalam dan tenang mengalir melalui public address system: "Ladies and gentlemen, this is your captain speaking. Due to a technical issue, we will be making an emergency landing at Juanda International Airport, Surabaya. Please remain calm and follow all crew instructions."

Selesai memberikan pengumuman kepada penumpang, ia menekan tombol radio. "Mayday, mayday, mayday. Garuda 504 requesting emergency landing at Juanda International Airport. Engine failure, request priority landing clearance and emergency services on standby."

Setiap detik terasa seperti keabadian. Firdaus memusatkan seluruh konsentrasinya pada instrumen penerbangan. Primary Flight Display menunjukkan angka-angka yang terus berubah, membutuhkan penyesuaian konstan pada ketinggian dan kecepatan. Bibirnya tak henti membaca doa -- ayat Kursi, shalawat, dan semua doa yang pernah ia hafalkan. Tangannya yang gemetar samar menggenggam erat yoke, merasakan setiap getaran dan perubahan pada pesawat seperti mengenali detak jantungnya sendiri.

Melalui interkom, ia bisa mendengar para pramugari memberikan instruksi keselamatan kepada penumpang. Suara tangis anak kecil sayup-sayup terdengar dari kabin, mengiris hatinya. Di belakangnya, 189 nyawa bergantung pada keputusan dan kemampuannya. 189 kisah yang mungkin akan berakhir atau berlanjut, tergantung pada bagaimana ia mengendalikan 'burung besi' ini dalam badai.

"Approach control responding, Captain. Runway 10 cleared for emergency landing. Wind 220 degrees at 15 knots. Emergency services standing by."

Landasan pacu sudah terlihat. Dengan keterampilan yang diasah selama bertahun-tahun dan keyakinan akan pertolongan Allah, Firdaus mengarahkan pesawat mendarat. Roda-roda pesawat menyentuh landasan dengan mulus, seolah dibimbing oleh tangan tak terlihat.

"Alhamdulillah," ucapnya lirih saat pesawat akhirnya berhenti dengan selamat. Air mata haru menggenang di pelupuk matanya.

Setelah semua penumpang turun dengan selamat, Firdaus duduk sendiri di kokpit, merenungkan kejadian hari ini. Ponselnya berdering - panggilan dari direktur operasional maskapai.

"Kapten Firdaus, tindakan anda hari ini menyelamatkan 189 nyawa. Keputusan landing darurat anda tepat dan eksekusinya sempurna. Kami bangga memiliki pilot seperti anda."

Firdaus tersenyum haru. Kabar selanjutnya lebih mengejutkan - rencana pengurangan pilot dibatalkan. Maskapai justru akan fokus pada peningkatan kualitas dan keselamatan penerbangan.

Malam itu, dalam perjalanan pulang ke Jakarta, Firdaus merenungkan bagaimana Allah menguji dan kemudian memberikan jalan keluar yang tak terduga. Seperti yang tertulis dalam Al-Quran: "Dan Kami akan uji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan."

Pengalaman ini mengajarkannya bahwa kepercayaan kepada Allah dan kemampuan profesional adalah dua sayap yang membawanya terbang - dua sayap yang diberikan sang Malaikat untuk mengarungi kehidupan.

Sejak hari itu, setiap kali Firdaus menerbangkan pesawat, ia selalu mengingat bahwa di atas awan tertinggi, Allah senantiasa menjaga. Dan ketika badai datang, ia tahu bahwa itu bukan untuk menghancurkan, tapi untuk menguatkan kedua sayapnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun