Suaranya tetap tenang saat memberikan pengumuman, meski keringat mulai membasahi keningnya. Di saat-saat seperti ini, ia teringat akan kata-kata mendiang ayahnya.
"Nak, ketika kau berada di atas awan, ingatlah bahwa Allah lebih tinggi dari itu. Dia yang mengatur angin, Dia yang mengendalikan badai."
Tiba-tiba, warning light merah berkedip di panel instrumen, diikuti dengan bunyi alarm yang memekakkan telinga. Engine Parameter Display menunjukkan anomali serius pada mesin kanan -- suhu melampaui batas normal akibat tekanan cuaca ekstrem. Getaran tidak wajar mulai terasa dari sayap kanan pesawat. Jantung Firdaus berdegup kencang, keringat dingin mengalir di pelipisnya, tapi tangannya tetap stabil mengendalikan yoke. Lima belas tahun pengalaman telah melatih ototnya untuk tetap tenang dalam situasi kritis.
"Engine two is showing critical temperature levels, Captain," co-pilot melaporkan dengan suara tegang. "Oil pressure dropping rapidly."
Firdaus mengangguk, matanya bergerak cepat memeriksa setiap instrumen. Background generator sudah switch ke APU, tapi indikator tetap menunjukkan anomali. Di luar, kilat menyambar membelah kegelapan, seolah menambah dramatisnya situasi.
"Ya Allah, lindungilah kami," doanya dalam hati, sementara tangannya dengan cekatan menjalankan prosedur emergency. Bayangan wajah ketiga anaknya melintas di benaknya, membuat dadanya terasa sesak. Di saat seperti ini, suara serak ayahnya terngiang jelas, membacakan ayat yang kini menjadi pegangannya: "Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari kesalahan dirimu sendiri."
Firdaus menelan ludah, mulutnya terasa kering. Dengan perhitungan cermat, ia menganalisis situasi: ketinggian 28.000 kaki, jarak ke Bandara Juanda sekitar 180 nautical miles, cuaca buruk di sepanjang jalur penerbangan, dan satu mesin bermasalah. Keputusan harus diambil dalam hitungan detik. Melanjutkan penerbangan ke Balikpapan dengan satu mesin terlalu berisiko, sementara kembali ke Jakarta sudah tidak mungkin karena cuaca semakin memburuk di belakang mereka.
"We're diverting to Juanda," putusnya tegas. "First Officer, set new heading one-zero-five. Contact Juanda Approach."
Sementara co-pilot mengarahkan pesawat ke Surabaya, Firdaus mengambil mikrofon. Suaranya yang dalam dan tenang mengalir melalui public address system: "Ladies and gentlemen, this is your captain speaking. Due to a technical issue, we will be making an emergency landing at Juanda International Airport, Surabaya. Please remain calm and follow all crew instructions."
Selesai memberikan pengumuman kepada penumpang, ia menekan tombol radio. "Mayday, mayday, mayday. Garuda 504 requesting emergency landing at Juanda International Airport. Engine failure, request priority landing clearance and emergency services on standby."
Setiap detik terasa seperti keabadian. Firdaus memusatkan seluruh konsentrasinya pada instrumen penerbangan. Primary Flight Display menunjukkan angka-angka yang terus berubah, membutuhkan penyesuaian konstan pada ketinggian dan kecepatan. Bibirnya tak henti membaca doa -- ayat Kursi, shalawat, dan semua doa yang pernah ia hafalkan. Tangannya yang gemetar samar menggenggam erat yoke, merasakan setiap getaran dan perubahan pada pesawat seperti mengenali detak jantungnya sendiri.