Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kedua Sayap Malaikat

4 Januari 2025   08:21 Diperbarui: 4 Januari 2025   08:21 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Traveloka

Dulu, di masa kecilnya di Bandung, ia sering berbaring di halaman rumah, menatap pesawat-pesawat yang melintasi langit dengan mata berbinar. Ayahnya, seorang teknisi pesawat di bandara Husein Sastranegara, selalu membawakan cerita-cerita tentang "burung besi" yang mengantarkan manusia menembus awan. Setiap getaran mesin pesawat selalu mengingatkannya pada momen pertama ia jatuh cinta dengan dunia penerbangan -- saat ayahnya mengizinkannya masuk ke hanggar untuk pertama kali di usia sembilan tahun.

"Suatu hari nanti, Daus akan menerbangkan yang seperti ini, Yah," katanya waktu itu, tangan kecilnya mengelus lambang Garuda di ekor pesawat yang sedang dalam perawatan.

Ayahnya tersenyum, mengacak rambutnya dengan sayang. "Bismillah, Nak. Allah tidak akan mengecewakan hambanya yang bersungguh-sungguh."

Getaran mesin yang sama yang dulu membuatnya tersenyum lebar setiap kali takeoff, yang membuatnya merasa seperti malaikat yang diberi kesempatan menari dengan awan-awan. Yang selalu mengingatkannya akan peluh dan air mata selama masa pendidikan di sekolah penerbangan, akan kebanggaan saat pertama kali mengenakan seragam pilot, akan takbir haru saat pertama kali menerbangkan pesawat sendiri.

Kini, getaran itu membawa rasa yang berbeda. Setiap deru mesin seolah bergema dengan ancaman PHK yang tertulis di surat peringatan. Setiap getaran mengirimkan gelombang kekhawatiran tentang tagihan sekolah yang harus dibayar, tentang cicilan rumah yang masih panjang, tentang masa depan yang mendadak jadi kabur seperti awan mendung di luar sana. Bahkan kokpit yang selama ini menjadi ruang paling nyaman baginya, kini terasa seperti ruang pengadilan yang siap menjatuhkan vonis.

"Checklist selesai, Kapten," suara co-pilot membuyarkan lamunannya. 

Firdaus menarik napas dalam-dalam, aroma familiar kokpit -- perpaduan antara plastik, logam, dan sistem pendingin udara -- membantunya kembali ke realita. Tangannya yang berpengalaman menggenggam throttle, merasakan denyut kehidupan pesawat melalui ujung jarinya. Mungkin masa depan tidak pasti, tapi saat ini, ada 189 nyawa yang menjadi tanggungjawabnya. Dan seperti kata ayahnya dulu, Allah tidak akan mengecewakan hambanya yang bersungguh-sungguh.

Takeoff berjalan lancar, namun begitu pesawat mencapai ketinggian jelajah, turbulensi mulai terasa. Awan cumulonimbus yang ditakuti pilot manapun menghadang di depan mata. Layar radar menampilkan warna merah yang mengancam.

"Kapten, cuaca semakin memburuk," co-pilot memberitahu hal yang sudah jelas terlihat.

Firdaus mengangguk. Tangannya yang berpengalaman mengarahkan pesawat mencari celah aman. Namun kali ini, langit seolah menguji kesabarannya. Turbulensi semakin kuat, membuat pesawat berguncang hebat.

"Ladies and gentlemen, this is your captain speaking. We are currently experiencing some turbulence. Please return to your seats and keep your seatbelts fastened."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun