Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dari Jendela Kamar Losmen

3 Januari 2025   00:01 Diperbarui: 2 Januari 2025   21:30 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: dokumen pribadi

Senja mulai turun di kota kecil itu. Dari jendela kamar losmenku di lantai tiga, aku bisa melihat bagaimana cahaya keemasan membungkus kota dalam gradasi yang menakjubkan. Menara-menara masjid menjulang di antara rumah-rumah, seolah menjadi penanda bahwa di bawah sana, kehidupan mengalir dalam irama yang berbeda dari hiruk-pikuk Jakarta yang kutinggalkan.

Namaku Aria, mahasiswa semester tujuh yang memutuskan untuk menghabiskan liburan semester dengan cara yang tidak biasa. Alih-alih pulang ke rumah atau berlibur ke tempat-tempat populer, aku memilih menyepi di losmen sederhana ini. Bukan karena aku sedang patah hati atau mencari pencerahan spiritual—setidaknya, begitu yang kukira awalnya.

Dari ketinggian ini, kota membentang seperti diorama kehidupan yang bergerak. Di sisi kiri, Perumahan Green Valley Heights menjulang dengan gaya mediterania-nya yang seragam. Lexus putih dan BMW hitam berjejer di garasi-garasi dengan pintu otomatis. Taman-taman mininya terawat sempurna dengan rumput jepang dan pond ikan koi. Setiap pukul empat sore, sprinkler otomatis menyemprot rerumputan, sementara pembantu-pembantu rumah tangga menyapu dedaunan yang jatuh di halaman.

Di sisi kanan, kampung merayap naik kontur bukit dengan gang-gang sempit berkelok. Rumah-rumah berdinding setengah bata setengah papan saling menempel seperti sarang lebah. Jemuran warna-warni melintang di atas gang, berkibar diterpa angin sore. Anak-anak berseluncur dengan kardus bekas di tanah yang miring, sementara ibu-ibu mengobrol di depan warung sederhana yang terkenal dengan gorengan hangatnya. Aroma tempe mendoan dan bakwan jagung mengambang di udara, bercampur dengan asap tipis dari tungku arang di sudut-sudut gang.

Kedua dunia ini dibelah oleh jalan raya yang baru diperlebar tahun lalu. Trotoarnya yang lebar di sisi perumahan elite nyaris kosong, sementara di sisi kampung dipenuhi pedagang kaki lima—dari penjual cilok hingga tukang tambal ban. Seolah jalan raya ini bukan sekadar pemisah wilayah, tapi juga pembatas dua realitas yang berjalan beriringan tanpa pernah benar-benar bertemu.

Suara azan Maghrib mulai berkumandang, pertama dari masjid besar di kompleks perumahan, kemudian bersahut-sahutan dengan mushola-mushola kecil di perkampungan. Ada sesuatu yang membuatku tertegun. Di bawah sana, di sebuah mushola yang atapnya sudah agak melengkung, aku melihat seorang pemuda menggiring anak-anak masuk dengan sabar.

"Itu Ustad Harun ," suara Bu Siti, pemilik losmen, mengejutkanku. Ia meletakkan secangkir teh hangat di meja dekat jendela. "Mahasiswa S2 yang mengajar mengaji gratis. Setiap hari naik turun bukit mengantarkan makanan untuk biaya kuliahnya."

Aku mengangguk pelan, mataku masih mengikuti sosok yang kini sedang membagikan Al-Quran pada anak-anak. Ada yang berbeda dari cara ia berinteraksi dengan murid-muridnya. Setiap anak disambut dengan senyuman yang sama hangatnya, tak peduli mereka datang dengan sendal jepit atau sepatu mahal.

Hari-hari berikutnya, aku menemukan diriku semakin tertarik mengamati kehidupan di sekitar mushola itu. Setiap sore, Ustad Harun tiba dengan motor bututnya yang berderum keras. Jaket kurir masih melekat di tubuhnya ketika ia mulai menyiapkan mushola. Anak-anak berdatangan—ada yang masih berseragam sekolah, ada yang sudah berganti baju rumah, bahkan ada yang masih dengan seragam SD yang sudah lusuh.

Pukul empat sore, deru halus Mercedes GLS hitam mengusik ketenangan di depan mushola. Roda-roda besarnya berhenti di atas genangan air hujan, mencipratkan sedikit lumpur ke tembok mushola yang sudah mengelupas catnya. Raziq, bocah 12 tahun dengan kaus Polo Ralph Lauren dan sepatu Nike Air Jordan turun dengan wajah tertekuk. Ransel Supreme-nya ia seret di tanah, seolah memprotes. Di belakangnya, sang ibu anggun dalam balutan gamis Zara cream dan hijab Hermès turun dengan lebih hati-hati, berusaha menghindari genangan dengan wedges-nya yang mahal.

"Mah, please deh... ngapain sih ngaji di tempat begini?" Raziq merengut, suaranya yang melengking memecah kesyahduan azan Ashar yang baru saja selesai. Matanya melirik sinis ke arah sandal-sandal jepit bekas yang berjejer tidak rapi di depan mushola. "Di rumah kan bisa panggil Ustaz Hasan yang biasa ngajar anak-anak ekspatriat. Atau di Islamic Center yang ada AC-nya."

"Sabar, sayang," sang ibu membenahi hijabnya yang tertiup angin. "Papa kan sudah bilang, kamu perlu belajar berbaur. Nggak selamanya kamu bisa hidup di bubble kita aja. Lagi pula, Ustad Harun ini lulusan dari Madina, lho."

Dari kejauhan, Ustad Harun menghampiri dengan langkah tenang. Sarung kotak-kotaknya sederhana, sama seperti kemeja putihnya yang meski bersih namun sudah terlihat memudar di bagian kerah. Tapi senyumnya—ya Allah, senyum itu memancarkan kehangatan yang tak bisa dibeli dengan uang.

"Assalamualaikum, Raziq," ia membungkuk sedikit, menyapa si anak terlebih dahulu. "Suka main game? Kebetulan minggu lalu saya baru dapat kiriman game edukasi tajwid dari Madina. Mau coba?"

Raziq mengerjap, tidak menyangka akan disambut dengan tawaran yang menarik minatnya. Di sampingnya, Dani—anak penjual sayur keliling yang mengenakan kaus lusuh dan sendal jepit—nyengir lebar.

"Ustad Harun pinter banget main game, Ziq," Dani menyahut spontan. "Kemarin aku kalah terus main game tajwidnya!"

Untuk pertama kalinya sore itu, ujung bibir Raziq berkedut menahan senyum. Ustad Harun mengajak keduanya masuk, tangannya dengan natural merangkul bahu mereka berdua—tak ada beda antara kaus mahal dan kaus lusuh di matanya. Setiap anak adalah mutiara yang sama berkilaunya, hanya menunggu untuk diasah dengan kelembutan dan kesabaran.

Sore itu, hujan turun cukup deras. Dari jendelaku, aku melihat bagaimana air merembes dari beberapa titik di atap mushola yang bocor. Anak-anak bergeser, mencari tempat yang kering, tapi tidak ada yang pulang. Ustad Harun tetap mengajar, sesekali menggeser ember untuk menampung tetesan air.

Hatiku mencelos. Berapa kali aku mengeluh tentang fasilitas kampus yang kurang nyaman? Berapa kali aku merasa terbebani dengan tugas-tugas kuliah, sementara di bawah sana, seorang mahasiswa S2 mengajar dengan ikhlas sambil berjuang membiayai kuliahnya sendiri?

Entah dorongan apa yang membuat kakiku menuruni tangga losmen yang berderit itu. Setiap langkah terasa berat sekaligus ringan. Hujan baru saja reda, meninggalkan aroma petrichor yang khas—perpaduan tanah basah dan dedaunan segar yang selalu mengingatkanku pada kampung halaman. Kubiarkan sendal jepit putihku mencipak di genangan air, sesuatu yang tak pernah kulakukan sejak masa kecil dulu.

Ustaz Harun sedang menggulung tikar plastik bermotif batik yang sudah memudar. Mushola tampak lebih tenang setelah anak-anak pulang, hanya tersisa suara gemericik air dari ember-ember penampung yang diletakkan di sudut-sudut yang bocor. Ada keindahan yang aneh dalam kesederhanaan ini—sesuatu yang tak bisa kutemukan di masjid-masjid mewah dengan kubah megah dan AC dingin.

"Assalamualaikum," sapaku ragu, suaraku sedikit bergetar. Entah karena gugup atau karena udara yang mendingin setelah hujan.

"Waalaikumsalam warahmatullah," Ustaz Harun berbalik, menampakkan senyum yang telah kuamati berhari-hari dari jendela kamarku. Dari dekat, aku bisa melihat kerutan halus di sudut matanya—tanda bahwa senyum itu telah terlatih oleh waktu dan pengalaman. "Ahh... penghuni kamar atas yang suka merenung di jendela itu ya?" 

Aku tertegun. Ternyata dia juga memperhatikan.

"Sa-saya... kalau boleh, saya ingin membantu," kataku sambil menunduk, tiba-tiba merasa malu karena selama ini hanya mengamati dari jauh.

"Alhamdulillah," jawabnya hangat. "Kebetulan sekali. Ini ada beberapa Al-Quran yang sampulnya perlu diperbaiki. Mas Aria bisa bantu saya sekalian ngobrol?"

Sejak sore itu, mushola ini seolah menjadi magnet yang menarikku turun setiap hari. Kadang aku datang lebih awal, menyapu lantai yang selalu berdebu karena jendela yang tak berkaca. Kadang membantu menata Al-Quran dan Iqro' yang sudah menguning, atau sekadar mengisi galon air minum yang selalu cepat kosong di musim kemarau ini.

Yang paling menarik adalah mengamati dari dekat bagaimana Ustaz Harun berinteraksi dengan anak-anak. Raziq yang dulu selalu cemberut, kini jadi yang paling rajin datang, bahkan sering membawakan jajanan untuk dibagi-bagi. Dani yang pemalu, perlahan mulai berani memimpin doa, suaranya yang lembut membacakan ayat-ayat dengan tartil yang menggetarkan hati.

"Rejeki itu bukan cuma uang, Mas Aria," kata Ustaz Harun suatu sore, sambil membereskan kertas-kertas hasil ujian mengaji anak-anak. Keringat menetes dari dahinya yang berkilau tertempa cahaya lampu neon yang berkedip-kedip. "Lihat anak-anak ini. Mereka datang dengan mata berbinar, pulang dengan senyum mengembang. Setiap huruf yang mereka pelajari, setiap doa yang mereka lafalkan dengan terbata-bata—itu rejeki yang tak ternilai. Subhanallah... mereka mengajariku lebih banyak tentang keikhlasan daripada semua buku yang kubaca di kampus."

Aku terdiam, membiarkan kata-katanya meresap. Selama ini kukira liburan semester ini hanya akan menjadi pelarian—dari kebisingan Jakarta, dari tuntutan orangtua, dari ekspektasi yang kadang mencekik. Tapi Allah ternyata punya rencana lain. Dari ketinggian losmenku, Dia membawaku turun untuk menemukan jawaban atas pertanyaan yang bahkan belum sempat kuajukan. Tentang kesederhanaan yang membahagiakan, tentang berbagi yang membebaskan, dan tentang bagaimana sebuah mushola tua dengan atap bocor bisa menjadi universitas kehidupan yang lebih berharga dari kampus-kampus elite dengan gedung pencakar langit.

Liburan semester hampir berakhir. Besok aku harus kembali ke Jakarta, kembali ke rutinitas kuliah dan hiruk-pikuk ibu kota. Tapi kali ini, aku membawa pulang sesuatu yang berbeda. Dari jendela kamar losmenku di lantai tiga, aku memandangi kota untuk terakhir kalinya. Lampu-lampu mulai menyala satu per satu, mengingatkanku pada lentera-lentera kecil yang menerangi hati anak-anak di mushola itu.

Suara azan Maghrib kembali berkumandang. Di bawah sana, Ustad Harun pasti sedang menyambut murid-muridnya dengan senyum yang sama. Aku tersenyum. Kadang, kita perlu melihat dari ketinggian untuk memahami bahwa kebahagiaan justru ditemukan ketika kita turun dan membaur dengan kehidupan.

"Terima kasih," bisikku pelan, entah pada siapa. Mungkin pada kota kecil ini, pada Ustad Harun , pada anak-anak itu, atau pada Allah yang telah memanduku menemukan makna yang tak pernah kucari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun