"Mah, please deh... ngapain sih ngaji di tempat begini?" Raziq merengut, suaranya yang melengking memecah kesyahduan azan Ashar yang baru saja selesai. Matanya melirik sinis ke arah sandal-sandal jepit bekas yang berjejer tidak rapi di depan mushola. "Di rumah kan bisa panggil Ustaz Hasan yang biasa ngajar anak-anak ekspatriat. Atau di Islamic Center yang ada AC-nya."
"Sabar, sayang," sang ibu membenahi hijabnya yang tertiup angin. "Papa kan sudah bilang, kamu perlu belajar berbaur. Nggak selamanya kamu bisa hidup di bubble kita aja. Lagi pula, Ustad Harun ini lulusan dari Madina, lho."
Dari kejauhan, Ustad Harun menghampiri dengan langkah tenang. Sarung kotak-kotaknya sederhana, sama seperti kemeja putihnya yang meski bersih namun sudah terlihat memudar di bagian kerah. Tapi senyumnya—ya Allah, senyum itu memancarkan kehangatan yang tak bisa dibeli dengan uang.
"Assalamualaikum, Raziq," ia membungkuk sedikit, menyapa si anak terlebih dahulu. "Suka main game? Kebetulan minggu lalu saya baru dapat kiriman game edukasi tajwid dari Madina. Mau coba?"
Raziq mengerjap, tidak menyangka akan disambut dengan tawaran yang menarik minatnya. Di sampingnya, Dani—anak penjual sayur keliling yang mengenakan kaus lusuh dan sendal jepit—nyengir lebar.
"Ustad Harun pinter banget main game, Ziq," Dani menyahut spontan. "Kemarin aku kalah terus main game tajwidnya!"
Untuk pertama kalinya sore itu, ujung bibir Raziq berkedut menahan senyum. Ustad Harun mengajak keduanya masuk, tangannya dengan natural merangkul bahu mereka berdua—tak ada beda antara kaus mahal dan kaus lusuh di matanya. Setiap anak adalah mutiara yang sama berkilaunya, hanya menunggu untuk diasah dengan kelembutan dan kesabaran.
Sore itu, hujan turun cukup deras. Dari jendelaku, aku melihat bagaimana air merembes dari beberapa titik di atap mushola yang bocor. Anak-anak bergeser, mencari tempat yang kering, tapi tidak ada yang pulang. Ustad Harun tetap mengajar, sesekali menggeser ember untuk menampung tetesan air.
Hatiku mencelos. Berapa kali aku mengeluh tentang fasilitas kampus yang kurang nyaman? Berapa kali aku merasa terbebani dengan tugas-tugas kuliah, sementara di bawah sana, seorang mahasiswa S2 mengajar dengan ikhlas sambil berjuang membiayai kuliahnya sendiri?
Entah dorongan apa yang membuat kakiku menuruni tangga losmen yang berderit itu. Setiap langkah terasa berat sekaligus ringan. Hujan baru saja reda, meninggalkan aroma petrichor yang khas—perpaduan tanah basah dan dedaunan segar yang selalu mengingatkanku pada kampung halaman. Kubiarkan sendal jepit putihku mencipak di genangan air, sesuatu yang tak pernah kulakukan sejak masa kecil dulu.
Ustaz Harun sedang menggulung tikar plastik bermotif batik yang sudah memudar. Mushola tampak lebih tenang setelah anak-anak pulang, hanya tersisa suara gemericik air dari ember-ember penampung yang diletakkan di sudut-sudut yang bocor. Ada keindahan yang aneh dalam kesederhanaan ini—sesuatu yang tak bisa kutemukan di masjid-masjid mewah dengan kubah megah dan AC dingin.