"Assalamualaikum," sapaku ragu, suaraku sedikit bergetar. Entah karena gugup atau karena udara yang mendingin setelah hujan.
"Waalaikumsalam warahmatullah," Ustaz Harun berbalik, menampakkan senyum yang telah kuamati berhari-hari dari jendela kamarku. Dari dekat, aku bisa melihat kerutan halus di sudut matanya—tanda bahwa senyum itu telah terlatih oleh waktu dan pengalaman. "Ahh... penghuni kamar atas yang suka merenung di jendela itu ya?"Â
Aku tertegun. Ternyata dia juga memperhatikan.
"Sa-saya... kalau boleh, saya ingin membantu," kataku sambil menunduk, tiba-tiba merasa malu karena selama ini hanya mengamati dari jauh.
"Alhamdulillah," jawabnya hangat. "Kebetulan sekali. Ini ada beberapa Al-Quran yang sampulnya perlu diperbaiki. Mas Aria bisa bantu saya sekalian ngobrol?"
Sejak sore itu, mushola ini seolah menjadi magnet yang menarikku turun setiap hari. Kadang aku datang lebih awal, menyapu lantai yang selalu berdebu karena jendela yang tak berkaca. Kadang membantu menata Al-Quran dan Iqro' yang sudah menguning, atau sekadar mengisi galon air minum yang selalu cepat kosong di musim kemarau ini.
Yang paling menarik adalah mengamati dari dekat bagaimana Ustaz Harun berinteraksi dengan anak-anak. Raziq yang dulu selalu cemberut, kini jadi yang paling rajin datang, bahkan sering membawakan jajanan untuk dibagi-bagi. Dani yang pemalu, perlahan mulai berani memimpin doa, suaranya yang lembut membacakan ayat-ayat dengan tartil yang menggetarkan hati.
"Rejeki itu bukan cuma uang, Mas Aria," kata Ustaz Harun suatu sore, sambil membereskan kertas-kertas hasil ujian mengaji anak-anak. Keringat menetes dari dahinya yang berkilau tertempa cahaya lampu neon yang berkedip-kedip. "Lihat anak-anak ini. Mereka datang dengan mata berbinar, pulang dengan senyum mengembang. Setiap huruf yang mereka pelajari, setiap doa yang mereka lafalkan dengan terbata-bata—itu rejeki yang tak ternilai. Subhanallah... mereka mengajariku lebih banyak tentang keikhlasan daripada semua buku yang kubaca di kampus."
Aku terdiam, membiarkan kata-katanya meresap. Selama ini kukira liburan semester ini hanya akan menjadi pelarian—dari kebisingan Jakarta, dari tuntutan orangtua, dari ekspektasi yang kadang mencekik. Tapi Allah ternyata punya rencana lain. Dari ketinggian losmenku, Dia membawaku turun untuk menemukan jawaban atas pertanyaan yang bahkan belum sempat kuajukan. Tentang kesederhanaan yang membahagiakan, tentang berbagi yang membebaskan, dan tentang bagaimana sebuah mushola tua dengan atap bocor bisa menjadi universitas kehidupan yang lebih berharga dari kampus-kampus elite dengan gedung pencakar langit.
Liburan semester hampir berakhir. Besok aku harus kembali ke Jakarta, kembali ke rutinitas kuliah dan hiruk-pikuk ibu kota. Tapi kali ini, aku membawa pulang sesuatu yang berbeda. Dari jendela kamar losmenku di lantai tiga, aku memandangi kota untuk terakhir kalinya. Lampu-lampu mulai menyala satu per satu, mengingatkanku pada lentera-lentera kecil yang menerangi hati anak-anak di mushola itu.
Suara azan Maghrib kembali berkumandang. Di bawah sana, Ustad Harun pasti sedang menyambut murid-muridnya dengan senyum yang sama. Aku tersenyum. Kadang, kita perlu melihat dari ketinggian untuk memahami bahwa kebahagiaan justru ditemukan ketika kita turun dan membaur dengan kehidupan.