Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Perjuangan Melawan UKT, Keterjangkauan Pendidikan Tinggi Masih Jadi Mimpi

19 Mei 2024   16:41 Diperbarui: 22 Mei 2024   03:05 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi-- Dana pendidikan. (Shutterstock via Kompas.com)

"Tak ada masa depan yang gemilang bagi sebuah negara yang membiarkan cita-cita putra-putrinya tertindih oleh tembok biaya pendidikan."

Mendapatkan pendidikan yang layak merupakan hak asasi setiap warga negara yang dijamin oleh undang-undang. Namun faktanya, akses menuju jenjang pendidikan tinggi masih menjadi barang mewah bagi sebagian masyarakat Indonesia. Ironis memang ketika kita mencermati profil pendidikan kita saat ini.

Dimulai dari jenjang sekolah menengah atas, banyak siswa yang berjuang keras selama semester 1 hingga 5 dengan satu tujuan mulia: lolos masuk ke jurusan idaman mereka melalui jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP). 

Mereka menginvestasikan waktu, tenaga, bahkan biaya yang tidak sedikit untuk mengikuti bimbingan belajar demi meraih nilai-nilai gemilang. Tak jarang orangtua rela memeras keringat demi membiayai kursus-kursus tambahan bagi anak-anak mereka. Motivasi para siswa membara, impian untuk menggapai masa depan lewat pendidikan tinggi begitu kuat.

Namun sayang, impian itu seringkali sirna bahkan sebelum benar-benar bersemi. Bagaimana tidak, setelah berhasil diterima di program studi favoritnya, mereka justru terpaksa menghadapi kenyataan pahit: ketidakmampuan untuk membayar biaya kuliah atau Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang besarannya bisa mencapai puluhan juta rupiah per semester. Bagai tamparan telak yang menghempaskan asa, jerih payah bertahun-tahun seakan sia-sia belaka.

Masalahnya tentu bukan semata-mata pada mahalnya biaya pendidikan tinggi. Melainkan lebih kepada kesenjangan ekonomi yang masih menganga lebar di negeri ini. 

Menurut data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2022 terdapat sekitar 26,5 juta penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan (kemiskinan.go.id, 2023). 

Bagi kalangan menengah ke atas, membayar puluhan juta rupiah per semester mungkin bukan masalah besar. Namun bagi mereka yang berkutat dengan realitas kemiskinan dan harus berjibaku demi memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, jumlah tersebut bagaikan puncak gunung yang mustahil didaki.

Lebih miris lagi, kondisi ini kerap berujung pada pengambilan keputusan yang sangat disayangkan: memilih untuk meninggalkan bangku kuliah demi mengejar pekerjaan yang secara finansial lebih menjanjikan pada masa kini, kendati mungkin tidak sesuai dengan minat ataupun bakat seseorang. 

Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan bahwa pada tahun 2021, sekitar 25% atau sekitar 1.014.000 mahasiswa di perguruan tinggi negeri mengundurkan diri dengan alasan utama ketidakmampuan membayar biaya kuliah (Kemdikbud, 2022). 

Sungguh tragis ketika pendidikan yang semestinya menjadi kendaraan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, malah berubah menjadi penghalang yang membelenggu cita-cita pemuda bangsa.

Dokumen Tempo 
Dokumen Tempo 

Tentu saja pemerintah sendiri telah berupaya untuk mengatasi persoalan ini melalui sejumlah skema bantuan pendidikan seperti beasiswa bidikmisi dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah. Namun sayangnya, skema-skema tersebut masih belum mampu mengakomodasi seluruh mahasiswa yang terkendala secara finansial. 

Pada tahun 2022, dari total 3,8 juta mahasiswa di PTN, hanya sekitar 420 ribu orang yang menerima bantuan bidikmisi (kemenkeu.go.id, 2023). Fakta bahwa masih ada banyak mahasiswa yang tercatat mengundurkan diri dari kampus dengan alasan ekonomi, menunjukkan bahwa upaya kita masih jauh dari memadai.

Oleh karenanya, sudah semestinya akses terhadap pendidikan tinggi menjadi prioritas utama bagi seluruh komponen bangsa. Pemerintah perlu mengalokasikan anggaran yang lebih besar untuk membantu para mahasiswa dalam hal pembiayaan kuliah, misalnya dengan menambah kuota penerima beasiswa bidikmisi atau memperluas cakupan program bantuan biaya pendidikan lainnya. 

Selain itu, pemerintah juga dapat mendorong peran serta masyarakat dalam pembiayaan pendidikan melalui skema wakaf, zakat, ataupun dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari dunia usaha. Pada tahun 2020, potensi wakaf di Indonesia diperkirakan mencapai Rp 180 triliun per tahun, namun realisasinya baru sekitar Rp 419 miliar (BWI, 2021).

Sementara itu, dunia usaha dan industri juga diharapkan dapat mengambil peran lebih besar dengan memperbanyak program beasiswa maupun bentuk bantuan lainnya bagi para mahasiswa. 

Kolaborasi antara perguruan tinggi dan perusahaan-perusahaan dapat ditingkatkan, sehingga mahasiswa tidak hanya mendapat subsidi biaya kuliah, tetapi juga kesempatan magang atau bahkan ikatan dinas yang menjamin lapangan kerja setelah lulus nanti. Pada 2022, baru sekitar 25% perusahaan di Indonesia yang memiliki program beasiswa CSR (BEI, 2023).

Yang tak kalah penting, lembaga pendidikan tinggi itu sendiri perlu melakukan reformasi dalam hal penetapan biaya kuliah sehingga lebih berkeadilan dan tidak memberatkan masyarakat. 

Kebijakan penyesuaian UKT berdasarkan kemampuan ekonomi keluarga perlu dilaksanakan secara lebih transparan dan akuntabel. Perhitungan besaran UKT harus melibatkan unsur-unsur kemahasiswaan dan mendapat pengawasan ketat dari pihak eksternal, sehingga penentuan besaran biaya kuliah benar-benar mencerminkan realita ekonomi yang dihadapi mahasiswa. 

Perguruan tinggi negeri juga diharapkan dapat lebih mengoptimalkan dana bantuan operasional yang diterima dari pemerintah, sehingga porsi pungutan kepada mahasiswa dapat diminimalisir. 

Pada tahun 2022, pemerintah telah mengalokasikan Rp 53,9 triliun untuk anggaran bantuan operasional PTN (kemenkeu.go.id, 2022). Selain itu, perlu ada peningkatan tata kelola keuangan yang baik di lingkungan kampus untuk memastikan seluruh pemasukan digunakan secara efektif dan efisien untuk kepentingan pelayanan pendidikan, bukan untuk hal-hal yang tidak produktif.

Pada akhirnya, kita semua perlu mengintrospeksi bahwa pendidikan bukanlah barang mewah yang hanya bisa dinikmati kaum berada. Pendidikan adalah hak seluruh warga negara tanpa terkecuali sebagaimana dijamin dalam Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945. 

Adalah kewajiban kita bersama untuk menjamin hak tersebut dapat dipenuhi. Sebab hanya dengan pendidikan yang merata dan berkualitas, kita dapat membangun sumber daya manusia Indonesia yang unggul dan berdaya saing, yang pada akhirnya akan membawa kemajuan bagi seluruh bangsa. 

Masa depan Indonesia bergantung pada seberapa besar komitmen kita untuk mewujudkan pemerataan akses pendidikan tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun