"Tak ada masa depan yang gemilang bagi sebuah negara yang membiarkan cita-cita putra-putrinya tertindih oleh tembok biaya pendidikan."
Mendapatkan pendidikan yang layak merupakan hak asasi setiap warga negara yang dijamin oleh undang-undang. Namun faktanya, akses menuju jenjang pendidikan tinggi masih menjadi barang mewah bagi sebagian masyarakat Indonesia. Ironis memang ketika kita mencermati profil pendidikan kita saat ini.
Dimulai dari jenjang sekolah menengah atas, banyak siswa yang berjuang keras selama semester 1 hingga 5 dengan satu tujuan mulia: lolos masuk ke jurusan idaman mereka melalui jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP).Â
Mereka menginvestasikan waktu, tenaga, bahkan biaya yang tidak sedikit untuk mengikuti bimbingan belajar demi meraih nilai-nilai gemilang. Tak jarang orangtua rela memeras keringat demi membiayai kursus-kursus tambahan bagi anak-anak mereka. Motivasi para siswa membara, impian untuk menggapai masa depan lewat pendidikan tinggi begitu kuat.
Namun sayang, impian itu seringkali sirna bahkan sebelum benar-benar bersemi. Bagaimana tidak, setelah berhasil diterima di program studi favoritnya, mereka justru terpaksa menghadapi kenyataan pahit: ketidakmampuan untuk membayar biaya kuliah atau Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang besarannya bisa mencapai puluhan juta rupiah per semester. Bagai tamparan telak yang menghempaskan asa, jerih payah bertahun-tahun seakan sia-sia belaka.
Masalahnya tentu bukan semata-mata pada mahalnya biaya pendidikan tinggi. Melainkan lebih kepada kesenjangan ekonomi yang masih menganga lebar di negeri ini.Â
Menurut data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2022 terdapat sekitar 26,5 juta penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan (kemiskinan.go.id, 2023).Â
Bagi kalangan menengah ke atas, membayar puluhan juta rupiah per semester mungkin bukan masalah besar. Namun bagi mereka yang berkutat dengan realitas kemiskinan dan harus berjibaku demi memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, jumlah tersebut bagaikan puncak gunung yang mustahil didaki.
Lebih miris lagi, kondisi ini kerap berujung pada pengambilan keputusan yang sangat disayangkan: memilih untuk meninggalkan bangku kuliah demi mengejar pekerjaan yang secara finansial lebih menjanjikan pada masa kini, kendati mungkin tidak sesuai dengan minat ataupun bakat seseorang.Â