Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan bahwa pada tahun 2021, sekitar 25% atau sekitar 1.014.000 mahasiswa di perguruan tinggi negeri mengundurkan diri dengan alasan utama ketidakmampuan membayar biaya kuliah (Kemdikbud, 2022).Â
Sungguh tragis ketika pendidikan yang semestinya menjadi kendaraan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, malah berubah menjadi penghalang yang membelenggu cita-cita pemuda bangsa.
Tentu saja pemerintah sendiri telah berupaya untuk mengatasi persoalan ini melalui sejumlah skema bantuan pendidikan seperti beasiswa bidikmisi dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah. Namun sayangnya, skema-skema tersebut masih belum mampu mengakomodasi seluruh mahasiswa yang terkendala secara finansial.Â
Pada tahun 2022, dari total 3,8 juta mahasiswa di PTN, hanya sekitar 420 ribu orang yang menerima bantuan bidikmisi (kemenkeu.go.id, 2023). Fakta bahwa masih ada banyak mahasiswa yang tercatat mengundurkan diri dari kampus dengan alasan ekonomi, menunjukkan bahwa upaya kita masih jauh dari memadai.
Oleh karenanya, sudah semestinya akses terhadap pendidikan tinggi menjadi prioritas utama bagi seluruh komponen bangsa. Pemerintah perlu mengalokasikan anggaran yang lebih besar untuk membantu para mahasiswa dalam hal pembiayaan kuliah, misalnya dengan menambah kuota penerima beasiswa bidikmisi atau memperluas cakupan program bantuan biaya pendidikan lainnya.Â
Selain itu, pemerintah juga dapat mendorong peran serta masyarakat dalam pembiayaan pendidikan melalui skema wakaf, zakat, ataupun dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari dunia usaha. Pada tahun 2020, potensi wakaf di Indonesia diperkirakan mencapai Rp 180 triliun per tahun, namun realisasinya baru sekitar Rp 419 miliar (BWI, 2021).
Sementara itu, dunia usaha dan industri juga diharapkan dapat mengambil peran lebih besar dengan memperbanyak program beasiswa maupun bentuk bantuan lainnya bagi para mahasiswa.Â
Kolaborasi antara perguruan tinggi dan perusahaan-perusahaan dapat ditingkatkan, sehingga mahasiswa tidak hanya mendapat subsidi biaya kuliah, tetapi juga kesempatan magang atau bahkan ikatan dinas yang menjamin lapangan kerja setelah lulus nanti. Pada 2022, baru sekitar 25% perusahaan di Indonesia yang memiliki program beasiswa CSR (BEI, 2023).
Yang tak kalah penting, lembaga pendidikan tinggi itu sendiri perlu melakukan reformasi dalam hal penetapan biaya kuliah sehingga lebih berkeadilan dan tidak memberatkan masyarakat.Â
Kebijakan penyesuaian UKT berdasarkan kemampuan ekonomi keluarga perlu dilaksanakan secara lebih transparan dan akuntabel. Perhitungan besaran UKT harus melibatkan unsur-unsur kemahasiswaan dan mendapat pengawasan ketat dari pihak eksternal, sehingga penentuan besaran biaya kuliah benar-benar mencerminkan realita ekonomi yang dihadapi mahasiswa.Â