Mohon tunggu...
syahmardi yacob
syahmardi yacob Mohon Tunggu... Dosen - Guru Besar Manajemen Pemasaran Universitas Jambi

Prof. Dr. Syahmardi Yacob, Guru Besar Manajemen Pemasaran di Universitas Jambi, memiliki passion yang mendalam dalam dunia akademik dan penelitian, khususnya di bidang strategi pemasaran, pemasaran pariwisata, pemasaran ritel, politik pemasaran, serta pemasaran di sektor pendidikan tinggi. Selain itu, beliau juga seorang penulis aktif yang tertarik menyajikan wawasan pemasaran strategis melalui tulisan beberapa media online di grup jawa pos Kepribadian beliau yang penuh semangat dan dedikasi tercermin dalam hobinya yang beragam, seperti menulis, membaca, dan bermain tenis. Menulis menjadi sarana untuk menyampaikan ide-ide segar dan relevan di dunia pemasaran, baik dari perspektif teoritis maupun aplikatif. Gaya beliau yang fokus, informatif, dan tajam dalam menganalisis isu-isu pemasaran menjadikan tulisannya memiliki nilai tambah yang kuat, khususnya dalam memberikan pencerahan dan solusi praktis di ranah pemasaran Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

World Class University: Masihkah Revelan di Era Transformasi Pendidikan?

17 November 2024   19:33 Diperbarui: 17 November 2024   19:43 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dalam beberapa dekade terakhir, konsep World Class University (WCU) telah menjadi dambaan banyak perguruan tinggi di Indonesia. Label ini sering kali dianggap sebagai simbol keunggulan dan legitimasi institusi pendidikan tinggi di kancah global, menempatkan universitas-universitas tersebut sejajar dengan institusi terkemuka dunia. Bagi banyak pemangku kebijakan, WCU dianggap sebagai tolok ukur kemajuan dan daya saing bangsa di era globalisasi, sehingga mendorong berbagai kebijakan strategis untuk mengejar posisi dalam peringkat internasional. Namun, seiring dengan perubahan lanskap pendidikan nasional—diwarnai oleh tantangan lokal, tuntutan penguatan riset terapan, dan kebutuhan menghasilkan lulusan yang relevan dengan perkembangan teknologi—konsep ini mulai menghadapi kritik. Terlebih lagi, di era Menteri Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi (DikTi Sain Tek) Kabinet Merah Putih, fokus kebijakan tampaknya mengalami pergeseran yang signifikan. Hal ini memunculkan pertanyaan mendasar: apakah WCU masih relevan sebagai tujuan utama perguruan tinggi di Indonesia, ataukah kita memerlukan paradigma baru yang lebih kontekstual dan inklusif?

Paradigma WCU dan Realitas Indonesia

Konsep World Class University (WCU) berakar pada penilaian berbasis peringkat global, seperti QS World University Rankings dan THE World University Rankings. Indikator-indikator utama dalam peringkat ini meliputi jumlah sitasi penelitian, proporsi mahasiswa internasional, rasio dosen terhadap mahasiswa, hingga reputasi akademik di tingkat global. Sebagai contoh, QS World University Rankings 2023 menempatkan kriteria academic reputation dan faculty/student ratio sebagai bobot terbesar dalam penilaian mereka, masing-masing sebesar 40% dan 20%. Hal ini menciptakan standar yang cenderung menguntungkan perguruan tinggi di negara maju yang memiliki ekosistem riset mapan, sumber daya melimpah, dan daya tarik internasional yang kuat.

Namun, realitas perguruan tinggi di Indonesia menunjukkan kesenjangan signifikan terhadap parameter ini. Menurut data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), anggaran pendidikan tinggi di Indonesia pada tahun 2022 hanya sekitar 0,23% dari PDB, jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara maju seperti Amerika Serikat (2,7%) atau Korea Selatan (4,3%). Distribusi sumber daya juga menjadi tantangan besar, di mana sebagian besar alokasi anggaran dan fasilitas riset terkonsentrasi pada beberapa universitas negeri terkemuka, seperti Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Perguruan tinggi di daerah masih menghadapi kesenjangan dalam akses pendanaan, fasilitas, dan tenaga pengajar berkualitas.

Selain itu, ekosistem riset di Indonesia masih jauh tertinggal. Laporan Scimago Journal and Country Rank 2023 menunjukkan bahwa kontribusi Indonesia dalam publikasi ilmiah global hanya 0,9%, dengan banyak penelitian berfokus pada ranah lokal yang jarang mendapatkan pengakuan di jurnal bereputasi tinggi. Rasio jumlah penelitian per dosen di Indonesia juga relatif rendah, di mana pada tahun 2021, rata-rata dosen Indonesia hanya menghasilkan 0,02 artikel ilmiah yang dipublikasikan dalam jurnal internasional per tahun.

Di era Menteri Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi (DikTi Sain Tek) Kabinet Merah Putih, pendekatan kebijakan tampaknya mengalami pergeseran. Fokus tidak lagi sepenuhnya pada mengejar status WCU, melainkan pada penguatan inovasi teknologi dan pendidikan vokasi. Menteri telah menekankan pentingnya relevansi pendidikan tinggi dengan kebutuhan lokal dan nasional. Dalam sebuah wawancara, ia menyatakan bahwa, "Perguruan tinggi harus menjadi penggerak utama transformasi industri dan penopang pembangunan berkelanjutan, bukan sekadar mengejar peringkat global." (Kompas, 2023).

Strategi ini mencerminkan kebutuhan mendesak untuk menghasilkan lulusan yang mampu menjawab tantangan lokal, seperti pengentasan ketimpangan ekonomi dan penguatan daya saing industri dalam negeri. Misalnya, program Kampus Merdeka yang diinisiasi pemerintah bertujuan memberikan fleksibilitas bagi mahasiswa untuk terjun langsung ke dunia industri, mempersiapkan mereka menghadapi revolusi industri 4.0 dan 5.0. Pendekatan ini, meskipun tidak sejalan dengan parameter WCU, menciptakan dampak langsung bagi masyarakat dan pembangunan nasional.

Dengan demikian, meskipun WCU tetap relevan sebagai alat pengakuan internasional, strategi pendidikan tinggi Indonesia di era Kabinet Merah Putih tampaknya lebih difokuskan pada relevansi lokal dan transformasi kebutuhan industri, sebuah pendekatan yang lebih realistis dan kontekstual untuk kondisi Indonesia saat ini.

Tantangan dan Kebutuhan Kontekstual

Penting untuk dicatat bahwa mengejar status World Class University (WCU) sering kali menuntut pengorbanan besar. Perguruan tinggi yang terlalu fokus pada indikator global, seperti jumlah publikasi internasional, sitasi, dan kolaborasi global, cenderung mengabaikan tantangan domestik. Fokus berlebihan pada pencapaian indikator ini dapat mengurangi perhatian terhadap kebutuhan lokal yang mendesak, seperti relevansi penelitian terhadap permasalahan bangsa, penyelesaian isu-isu sosial, dan pemerataan akses pendidikan.

Dalam konteks Indonesia, keberhasilan pendidikan tinggi tidak hanya diukur dari reputasi internasional, tetapi juga dari kontribusinya terhadap pengembangan masyarakat dan pemberdayaan ekonomi. Laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2022 menunjukkan bahwa tingkat partisipasi pendidikan tinggi di Indonesia masih rendah, hanya sekitar 31% dari populasi usia perguruan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pemerataan akses pendidikan tinggi masih menjadi tantangan signifikan, terutama di daerah-daerah terpencil. Jika perguruan tinggi terlalu fokus pada peringkat global, risiko terabaikannya upaya peningkatan aksesibilitas menjadi semakin besar.

Sebagai contoh, Finlandia dan Jerman telah mengambil pendekatan berbeda dalam pengembangan pendidikan tinggi mereka. Finlandia, meskipun tidak secara konsisten berada di peringkat teratas WCU, dikenal dengan sistem pendidikan yang berorientasi pada inovasi dan keberlanjutan sosial. Pemerintah Finlandia mengintegrasikan pendidikan tinggi ke dalam strategi pembangunan nasional dengan memberikan akses pendidikan gratis dan memprioritaskan penelitian yang relevan dengan kebutuhan domestik. Menurut laporan OECD (2021), keberhasilan Finlandia dalam sistem pendidikan tinggi tercermin dari kontribusinya terhadap pengentasan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja berbasis inovasi lokal.

Jerman, dengan sistem dual education-nya, juga menunjukkan keberhasilan dalam menghubungkan pendidikan tinggi dengan kebutuhan industri domestik. Perguruan tinggi di Jerman lebih menekankan relevansi kurikulum dengan kebutuhan pasar tenaga kerja, daripada sekadar mengejar status global. Pendekatan ini didukung oleh laporan DAAD (German Academic Exchange Service) 2023, yang mencatat bahwa sekitar 60% lulusan pendidikan tinggi Jerman langsung terserap ke dalam lapangan kerja yang relevan dengan bidang studi mereka. Kebijakan ini memberikan dampak nyata pada pertumbuhan ekonomi nasional sekaligus menjaga daya saing internasional.

Indonesia dapat belajar dari pendekatan ini dengan menyesuaikan strategi pendidikan tinggi agar lebih relevan dengan kebutuhan lokal tanpa kehilangan daya saing global. Fokus pada relevansi penelitian terhadap isu-isu nasional, seperti ketahanan pangan, energi terbarukan, dan transformasi digital, dapat memberikan kontribusi langsung terhadap pembangunan bangsa. Program Kampus Merdeka yang dicanangkan pemerintah telah menunjukkan langkah awal yang baik dengan mendorong mahasiswa untuk terlibat dalam proyek nyata di masyarakat dan industri, meskipun implementasinya masih membutuhkan penguatan.

Dalam jangka panjang, keberhasilan pendidikan tinggi Indonesia akan lebih bermakna jika mampu menjawab tantangan domestik sambil tetap menjaga kehadiran dalam kancah internasional. Mengejar status WCU seharusnya menjadi bagian dari strategi yang lebih besar, bukan tujuan akhir. Hal ini mencerminkan bahwa perguruan tinggi tidak hanya menjadi simbol prestise global, tetapi juga pilar penting dalam membangun kesejahteraan dan keberlanjutan bangsa.

Arah Baru Kebijakan Pendidikan Tinggi di Era Menteri Satrio Brojonegoro

Setelah dilantik sebagai Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (DikTi Sain Tek) pada Oktober 2024, Prof. Satrio Brojonegoro membawa visi strategis baru untuk pendidikan tinggi Indonesia. Beliau berkomitmen melanjutkan kebijakan-kebijakan unggulan sebelumnya, seperti Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), dengan fokus pada evaluasi dan penyempurnaan agar lebih relevan dengan kebutuhan bangsa. Pendekatan yang inklusif, adaptif, dan berbasis hasil nyata menjadi ciri utama arah baru kebijakan pendidikan tinggi di era kepemimpinannya.

1. Pendidikan Tinggi sebagai Penggerak Inovasi Nasional

Salah satu pilar utama kebijakan Menteri Satrio adalah menempatkan pendidikan tinggi sebagai pusat inovasi yang mampu menjawab tantangan nasional. Beliau menegaskan pentingnya riset terapan yang berdampak langsung pada masyarakat. "Pendidikan tinggi tidak hanya berfungsi sebagai institusi akademik, tetapi juga harus menjadi solusi bagi permasalahan bangsa, mulai dari ketahanan pangan hingga transformasi digital," ujar beliau dalam pidatonya (Kompas, 2024).

Untuk mewujudkan visi ini, program Matching Fund diperkuat sebagai wadah kolaborasi antara perguruan tinggi dan industri. Hingga 2023, program ini telah mendukung lebih dari 700 proyek inovasi di sektor-sektor strategis seperti energi terbarukan, teknologi pertanian, dan kesehatan. Di bawah kepemimpinan Menteri Satrio, skema ini diperluas dengan tambahan pendanaan untuk mendorong pengembangan teknologi berbasis lokal.

2. Penekanan pada Relevansi Lokal dalam Pembangunan Bangsa

Menteri Satrio juga menegaskan bahwa pendidikan tinggi harus relevan dengan kebutuhan lokal. Kebijakan ini mencakup penguatan program-program yang mendukung pembangunan di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Beliau percaya bahwa pemerataan pendidikan tinggi adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang inklusif dan mengurangi kesenjangan regional.

Langkah strategisnya termasuk pendirian perguruan tinggi baru di wilayah 3T dan penguatan politeknik sebagai pusat pendidikan vokasi. Politeknik difokuskan untuk menghasilkan lulusan yang siap kerja di sektor-sektor seperti manufaktur, agrikultur, dan teknologi, yang relevan dengan potensi ekonomi lokal.

3. Penguatan Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM)

Program MBKM tetap menjadi salah satu prioritas di era Menteri Satrio. Namun, kebijakan ini dirancang untuk menjadi lebih fleksibel dan terintegrasi dengan kebutuhan industri. Beliau menekankan bahwa mahasiswa harus mendapatkan pengalaman belajar yang lebih relevan, seperti magang industri, penelitian kolaboratif, atau proyek pengabdian masyarakat.

Laporan Kemendikbudristek 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 400.000 mahasiswa telah berpartisipasi dalam MBKM, dengan hasil yang signifikan: 85% peserta melaporkan peningkatan keterampilan kerja, sementara 70% dari mereka mendapatkan akses langsung ke peluang karier. Di bawah kepemimpinan Menteri Satrio, program ini terus disempurnakan untuk memastikan dampaknya terhadap kesiapan kerja mahasiswa semakin optimal.

4. Menyeimbangkan Aspirasi Global dengan Kebutuhan Domestik

Di era Menteri Satrio, cita-cita untuk mencapai status World Class University (WCU) tidak ditinggalkan, tetapi ditempatkan dalam kerangka yang lebih relevan dengan kebutuhan bangsa. Beliau berpendapat bahwa pengakuan internasional harus menjadi hasil dari kontribusi nyata pendidikan tinggi terhadap pembangunan nasional, bukan tujuan utama. "Kita harus memastikan pendidikan tinggi kita tidak hanya kompetitif di tingkat global, tetapi juga memberikan dampak langsung pada masyarakat," katanya.

Sebagai bagian dari strategi ini, pemerintah mendorong riset-riset yang fokus pada isu-isu domestik seperti energi bersih, ketahanan pangan, dan mitigasi perubahan iklim. Hal ini bertujuan menjadikan perguruan tinggi sebagai aktor utama dalam pembangunan berkelanjutan.

5. Teknologi Digital dan Transformasi Pendidikan

Menteri Satrio juga menekankan pentingnya teknologi digital dalam mempercepat transformasi pendidikan tinggi. Pembelajaran berbasis digital, platform daring untuk riset kolaboratif, dan pengembangan inovasi berbasis kecerdasan buatan (AI) menjadi bagian integral dari kebijakan ini. Langkah ini dirancang untuk meningkatkan efisiensi dan jangkauan pendidikan tinggi, terutama di wilayah-wilayah yang sulit dijangkau.

6. Visi Keberlanjutan dan Transformasi Ekonomi

Dalam jangka panjang, Menteri Satrio percaya bahwa pendidikan tinggi harus menjadi motor utama transformasi ekonomi berbasis teknologi. Fokus pada inovasi dan pengembangan tenaga kerja terampil yang sesuai dengan kebutuhan industri menjadi prioritas. Hal ini didukung oleh penguatan program vokasi dan politeknik yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di era revolusi industri 4.0 dan 5.0.

 Arah baru kebijakan pendidikan tinggi di era Menteri Satrio Brojonegoro mencerminkan visi yang holistik dan strategis. Pendidikan tinggi tidak lagi hanya berfungsi sebagai institusi akademik, tetapi juga sebagai penggerak inovasi, pembangunan lokal, dan transformasi ekonomi. Melalui pendekatan yang mengedepankan relevansi lokal, riset terapan, dan penguatan program inklusif seperti MBKM, Indonesia diharapkan dapat menciptakan ekosistem pendidikan tinggi yang adaptif, responsif, dan berdampak nyata bagi masyarakat. Strategi ini menjadikan pendidikan tinggi Indonesia sebagai kekuatan utama dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan daya saing global.

Relevansi WCU di Masa Kini: Perspektif Baru untuk Perguruan Tinggi Indonesia

 Dalam era globalisasi, status World Class University (WCU) tetap memiliki daya tarik yang signifikan, terutama dalam membangun reputasi akademik, menarik mitra internasional, dan menciptakan jejaring kolaborasi global. Perguruan tinggi yang berhasil mencapai status ini biasanya lebih mudah mengakses peluang pendanaan riset, menarik mahasiswa dan dosen dari berbagai negara, serta meningkatkan pengaruh akademik di kancah internasional. Namun, dalam konteks Indonesia, perguruan tinggi perlu mempertimbangkan apakah upaya mengejar WCU sepenuhnya selaras dengan misi nasional untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

WCU dan Tantangan Perguruan Tinggi di Indonesia

Mengejar status WCU sering kali membutuhkan pengalihan sumber daya yang signifikan untuk memenuhi indikator internasional, seperti jumlah sitasi, kolaborasi global, dan rasio dosen-mahasiswa internasional. Dalam laporan Times Higher Education (2023), indikator utama WCU lebih menguntungkan universitas di negara maju dengan pendanaan riset yang melimpah dan akses ke jejaring internasional yang luas. Di sisi lain, menurut laporan Kemendikbudristek (2022), hanya sekitar 0,23% dari PDB Indonesia yang dialokasikan untuk pendidikan tinggi, jauh di bawah rata-rata global, yang membatasi kemampuan perguruan tinggi Indonesia untuk berkompetisi di level ini.

Namun, mengejar WCU tidak harus bertentangan dengan kebutuhan lokal. Status WCU dapat menjadi relevan jika dimaknai sebagai hasil dari kualitas pendidikan tinggi yang berorientasi pada dampak nyata terhadap masyarakat. Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Satrio Brojonegoro, menyatakan, "Pendidikan tinggi Indonesia harus mengedepankan solusi bagi tantangan bangsa. Pengakuan global akan datang sebagai akibat dari kualitas dan dampak lokal yang terintegrasi." (Kompas, 2024).

Menjadikan Pendidikan dan Inovasi sebagai Prioritas

Menjadikan kualitas pendidikan dan inovasi teknologi sebagai prioritas utama memungkinkan perguruan tinggi menciptakan dampak nyata bagi pembangunan nasional sambil tetap berkontribusi pada agenda global. Misalnya, Universitas Gadjah Mada (UGM) telah meluncurkan platform pembelajaran terbuka yang mendukung pembangunan berkelanjutan melalui pendidikan berkelanjutan. Program ini tidak hanya meningkatkan akses pendidikan berkualitas bagi masyarakat luas, tetapi juga menunjukkan bagaimana institusi pendidikan dapat memadukan relevansi lokal dengan pengakuan global. (UGM, 2023)

Demikian pula, Universitas Padjadjaran (Unpad) fokus pada program penelitian yang terkait dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Salah satu inisiatif mereka mencakup penelitian di bidang ketahanan pangan dan kesehatan masyarakat, yang secara langsung berkontribusi pada pembangunan nasional sambil tetap mendukung agenda global SDGs. Pendekatan ini menunjukkan bahwa perguruan tinggi dapat mengintegrasikan prioritas global ke dalam konteks lokal. (SDG Center Unpad, 2023)

Mengukur Relevansi WCU Melalui Kontribusi Berkelanjutan

Relevansi WCU tidak lagi harus diukur melalui posisi dalam peringkat internasional semata, tetapi melalui kontribusi nyata terhadap pembangunan berkelanjutan yang sejalan dengan kebutuhan bangsa. Menurut laporan OECD (2023), perguruan tinggi yang berorientasi pada dampak lokal, seperti pengembangan tenaga kerja berbasis teknologi atau inovasi di sektor agrikultur, memiliki peluang lebih besar untuk memperoleh pengakuan global karena relevansi dan dampak penelitian mereka terhadap tantangan dunia yang lebih luas.

Universitas yang mampu memadukan kualitas akademik dengan dampak nyata cenderung mendapatkan reputasi positif, baik di tingkat lokal maupun global. Sebagai contoh, pendekatan Universitas Teknologi Nanyang (NTU) di Singapura mengintegrasikan riset terapan yang relevan dengan kebutuhan nasional sekaligus memanfaatkan jejaring global untuk memperkuat dampaknya. Model ini dapat menjadi inspirasi bagi perguruan tinggi Indonesia.

Status WCU masih memiliki relevansi di masa kini, tetapi harus diletakkan dalam perspektif yang lebih kontekstual. Perguruan tinggi di Indonesia tidak hanya perlu mengejar pengakuan global melalui peringkat, tetapi juga menunjukkan dampak nyata terhadap pembangunan bangsa. Dengan memprioritaskan pendidikan berkualitas, riset yang relevan, dan inovasi teknologi, perguruan tinggi dapat menciptakan ekosistem pendidikan tinggi yang tidak hanya kompetitif secara global, tetapi juga berkontribusi pada keberlanjutan lokal.

Strategi ini tidak hanya akan mendukung misi nasional, tetapi juga memastikan bahwa perguruan tinggi Indonesia menjadi aktor utama dalam pembangunan global yang berbasis pada dampak lokal yang nyata.

Kesimpulan

Konsep World Class University (WCU) tetap memiliki daya tarik sebagai simbol pengakuan global dan indikator reputasi akademik. Namun, di tengah tantangan pendidikan tinggi Indonesia, seperti ketimpangan akses, minimnya pendanaan riset, dan kebutuhan untuk menghasilkan lulusan yang relevan dengan tuntutan nasional, urgensi WCU perlu ditempatkan dalam perspektif yang lebih relevan dan kontekstual.

Di era transformasi pendidikan yang dipimpin oleh Menteri Satrio Brojonegoro, kebijakan pendidikan tinggi menunjukkan pergeseran yang strategis. Fokus tidak lagi sekadar mengejar status WCU, tetapi menempatkannya sebagai dampak dari kualitas pendidikan tinggi yang inovatif, relevan, dan berdampak nyata bagi masyarakat. Perguruan tinggi di Indonesia diarahkan untuk berkontribusi pada pembangunan nasional melalui riset terapan, penguatan kolaborasi dengan industri, serta pengembangan teknologi berbasis lokal.

Relevansi WCU di masa kini tidak harus diukur melalui posisi dalam peringkat global semata, melainkan melalui kontribusi perguruan tinggi terhadap pembangunan berkelanjutan. Strategi seperti Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) dan riset berbasis Sustainable Development Goals (SDGs) menunjukkan bahwa perguruan tinggi Indonesia dapat tetap kompetitif di tingkat global sambil memenuhi kebutuhan domestik.

Dengan memprioritaskan pendidikan berkualitas, inovasi teknologi, dan dampak sosial, perguruan tinggi di Indonesia dapat menjadi pilar utama pembangunan nasional sekaligus memperoleh pengakuan internasional secara organik. WCU tetap relevan, tetapi sebagai alat, bukan tujuan akhir. Perguruan tinggi Indonesia harus menjadi motor transformasi sosial, ekonomi, dan teknologi yang adaptif terhadap tantangan lokal sekaligus kompetitif di panggung global.

Di era transformasi pendidikan, pengakuan global harus menjadi konsekuensi dari keberhasilan perguruan tinggi dalam membangun bangsa, bukan sekadar ambisi untuk mengejar peringkat. Dengan pendekatan ini, pendidikan tinggi Indonesia tidak hanya akan relevan, tetapi juga menjadi kekuatan strategis bagi masa depan yang berkelanjutan.

Sumber Rujukan

DAAD. (2023). German universities and sustainable development goals. Bonn: German Academic Exchange Service.

Finnish Ministry of Education. (2021). Higher education and innovation for sustainable development. Helsinki: Ministry of Education Finland.

Kemendikbudristek. (2022). Laporan statistik pendidikan tinggi. Jakarta: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

Kemendikbudristek. (2023). Program matching fund dan Merdeka Belajar Kampus Merdeka. Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi.

OECD. (2023). The role of higher education in sustainable development. Paris: OECD Publishing.

QS World University Rankings. (2023). Global university rankings report. Retrieved from https://www.qs.com

Satrio, B. (2024). Pidato sertijab Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. Retrieved from Kompas: https://www.kompas.com

SDG Center Universitas Padjadjaran. (2023). Peran perguruan tinggi dalam pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Bandung: SDG Center Unpad. Retrieved from https://sdgcenter.unpad.ac.id

Times Higher Education. (2023). The impact of world class universities on global education. Retrieved from https://www.timeshighereducation.com

Universitas Gadjah Mada. (2023). Platform pembelajaran berkelanjutan untuk mendukung SDGs. Yogyakarta: UGM Press. Retrieved from https://www.ugm.ac.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun